Jumat, 20 Februari 2015

Petani : Miskin Multi Dimensi

Pengusahaan tanaman perkebunan kian menjadi primadona sektor pertanian di Provinsi Jambi. Hasil sensus pertanian terakhir menyebutkan 68,95 persen rumah tangga pertanian masih mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor perkebunan. Sementara 13,60 persen rumah tangga pertanian justru mengandalkan sumber pendapatan dari non pertanian dan sisanya (di bawah 10 persen) ditopang pertanian lain selain perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi menyebutkan terdapat beberapa jenis tanaman perkebunan unggulan. Tanaman tersebut antara lain adalah karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kayu manis, pinang dan nilam termasuk juga teh yang dikelola oleh PTPN-VI. Dari sisi luas areal, tanaman yang mengalami peningkatan adalah kelapa sawit dan karet, sedangkan tanaman unggulan lainnya cenderung mengalami penyusutan.
Jika dilihat dari sisi luasan areal tanaman menghasilkan (TM), kelapa sawit adalah tanaman perkebunan unggulan yang luas areal TM-nya terus bertambah. Pertambahan luas areal TM juga terjadi pada tanaman karet yang menunjukkan adanya kegiatan peremajaan. Fluktuasi terjadi pada pertambahan luas areal TM kelapa, kayu manis maupun kopi. Kopi menunjukkan kecenderungan menurun, sementara kayu manis dan  kelapa cenderung meningkat. Sementara jika dilihat dari sisi produksi, kelapa sawit, kopi dan kayu manis merupakan tiga jenis tanaman yang mengalami pertumbuhan produksi cukup pesat. Kontribusi subsektor perkebunan dalam pembentukan nilai tambah bruto sektor pertanian meningkat dari 39,88 persen di tahun 2003 menjadi lebih dari 55,25 persen pada tahun 2013.
Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi mendapatkan upah sebagai balas jasa. Meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB masih merupakan yang terbesar namun penumpukan tenaga kerja yang terjadi mencerminkan tingkat produktivitasnya yang relatif rendah. Sektor pertanian yang sudah semakin kecil peranan relatifnya dalam pembentukan PDRB masih harus menampung sebagian besar tenaga kerja. Kondisi ini kemungkinan justru dipicu oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang menjadikannya fleksibel sebagai penampung tenaga kerja yang kurang mampu bersaing untuk masuk ke dalam pasar kerja di sektor lain.  Pertanian menampung sebagian besar angkatan kerja yang bekerja. Lebih dari 50 persen angkatan kerja, bekerja diberbagai subsektor dalam sektor pertanian. Karakteristik sektor pertanian yang sangat mudah untuk dimasuki oleh pekerja menjadikannya sebagai wadah terbesar tenaga kerja. Tidak mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi,  tidak butuh keahlian khusus, responsif terhadap gender dan menyediakan kapasitas besar, merupakan faktor penyebab sektor pertanian masih menjadi andalan penggerak perekonomian.
Pendapatan dari sektor pertanian harus mencukupi kebutuhan hidup petani, sehingga keberlangsungan produksi pertanian dapat dipertahankan. Apabila pendapatan yang diterima rumah tangga usaha pertanian jauh dari yang mereka harapkan maka akan ada kemungkinan mereka mencari sumber pendapatan dari sektor lain yang mengakibatkan terhentinya produksi dan menurunnya pertumbuhan pertanian. 
Tingkat kecukupan pendapatan rumah tangga usaha pertanian di provinsi Jambi dari hasil Survey Pendapatan Petani berada di level yang bagus, hal tersebut dapat dilihat dari angka tingkat kecukupan yang mencapai lebih dari 50 persen. 73,24 persen rumah tangga usaha pertanian berada pada level cukup, 18,42 persen di level kurang (rumah tangga usaha pertanian merasa kurang apabila mereka menggantungkan sumber pendapatan dari pertanian saja), sedangkan sisanya masuk kategori lebih dari cukup. Petani seringkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang identik dengan kemiskinan. 
Kemiskinan telah dipahami sebagai salah satu persoalaan mendasar yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah di setiap negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan akan sangat bergantung kepada berbagai aspek, salah satunya adalah data kemiskinan yang akurat serta mampu memfasilitasi perbandingan antar waktu dan wilayah. Begitu luasnya dimensi kemiskinan, namun terbukti sulit sekali mengembangkan pengukuran yang dapat menangkap multidimensionalitas ini.
Perkembangan pengukuran kemiskinan sebenarnya mulai mengalami pergeseran yang cukup berarti, hal ini ditandai dengan adanya analisis Human Development Report (HDR) yang dikembangkan oleh United National Development Program (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI). Sejak tahun 2010, UNDP dan OPHI menyepakati sebuah inisiasi pengukuran kemiskinan baru melalui Indeks Kemiskinan Multidimensi (multidimensional poverty index) yang dimuat dalam HDR 2010. Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) melihat struktur kemiskinan lebih luas, bukan sekedar pendapatan atau konsumsi tapi mendefiniskan secara multidimensi seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup. (IKM) mengukur kekurangan (deprivation) setiap individu ke dalam 3 dimensi yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup.
Rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi yang terkategori miskin multidimensi mencapai 15,59 persen diikuti 22,55 persen rentan untuk menjadi miskin multidimensi. Khusus di subsektor perkebunan yang katanya menjadi andalan pertanian Jambi, terdapat 15,44 persen rumah tangga tergolong miskin multidimensi dan 22,94 persen rentan miskin. Rumah tangga pertanian yang mengandalkan subsektor pertanian lain selain perkebunan dipastikan mengalami kerentanan lebih tinggi untuk menjadi miskin multidimensi. Demikian hasil survey yang dilakukan BPS dalam rangkaian kegiatan Sensus Pertanian.
Kerentanan suatu rumah tangga pertanian menjadi semakin mengkhawatirkan jika melihat Nilai Tukar Petani (NTP) yang tidak terlalu menjanjikan. Sebagai sebuah ratio antara suatu nilai yang “diterima” dengan yang harus “dibayar” oleh petani maka setidaknya bernilai diatas 100 dalam skala indeks. Meskipun bukan sebuah indikator yang tepat untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan petani, NTP yang cenderung rendah (dibawah nilai100: lihat Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi Jambi) akan menggerus proporsi rumahtangga pertanian dengan tingkat kecukupan pendapatan yang berada di level cukup baik. Jika ini terus berlanjut maka bukan tidak mugkin rumah tangga yang rentan miskin akan menjadi rumah tangga pertanian miskin secara multi dimensi. 
Kapasitas adopsi teknologi oleh petani yang relatif rendah (baik secara teknis maupun terlebih lagi secara ekonomi) merupakan ganjalan yang paling sering dihadapi dalam proses difusi teknologi. Kegiatan budidaya pertanian adalah kegiatan bisnis. Petani harus dilihat sebagai pebisnis. Keuntungan finansial merupakan unsur yang efektif memotivasi petani untuk meningkatkan kinerja. Dengan demikian maka pengelolaan agroekosistem pertanian hanya akan berhasil jika kesejahteraan petani merupakan bagian utama dari skenario besarnya.
Walaupun beberapa pihak menyatakan kita telah mencapai kembali status swasembada pangan, namun kesejahteraan petani tanaman pangan pokok tidak menjadi lebih baik. Keberlanjutan upaya pencapaian swasembada pangan akan sangat rapuh jika pengabaian upaya menyejahterakan petani tetap berlanjut. Gejala ini sudah mulai menampakkan diri misalnya minat tenaga kerja untuk berkiprah di sub sektor tanaman pangan semakin menurun. Minat lulusan sekolah menengah atas untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di bidang ilmu pertanian juga semakin merosot. Maknanya dalam jangka panjang akan sulit mencari para aktor pelaku produksi pertanian, tanaman pangan khususnya. 
dimuat dalam OPINI harian Jambi Independent, Senin 16 February 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...