Betapa repotnya
negara mengurusi berita “hoax” akhir akhir ini. Media yang paling sulit untuk
bisa dikendalikan dalam masifnya penyebaran “hoax” adalah media sosial. Para
penyebar (sumber awal) berita hoax berupaya membentuk ataupun menggiring opini
masyarakat secara lebih luas dengan sangat tendensius. Masing-masing berita
hoax memiliki arah tujuan pembentukan opini dengan motif tertentu. Yang paling
sering mengemuka adalah tujuan politis tentunya, walaupun banyak juga tertuju
pada pembentukan opini lain. Sumber awal sebuah berita hoax lah yang paham
betul apa dan kearah mana sebenarnya sebuah opini akan diarahkan oleh suatu
yang disebar, sementara penyebar penyebar berikut (re-share) kebanyakan
tidak paham secara utuh maksud tersebut.
Menulis opini disebuah
media cetak, pun sebenarnya hendak bermaksud membentuk dan menggiring opini
pembaca. Dampaknya sangat bergantung pada gaya dan konten dari tulisan
tersebut. Tulisan yang didasarkan pada data dan informasi yang terpercaya tentu
akan memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini di ujung tulisan. Data dan
informasi bisa jadi berasal dari penulis sendiri, atau institusi maupun berupa
kajian literature. Jika penulis menggunakan data dan informasi hasil observasi
sendiri tentu tingkat kepercayaan pembaca akan sangat bergantung pada
kapabilitas sipenulis pada pokok bahasan yang ditulisnya menurut ukuran pembaca
secara subjektif. Penggunaan data yang berasal dari sumber lain diluar si
penulis lebih sering di gunakan. Ini tentunya diharapkan dapat lebih meyakinkan
pembaca ketika disebutkan bahwa sumber informasi dari bahan tulisan adalah
institusi terpercaya.
Jelang Pilkada,
jelang PEMILU dan jelang Pilpres; perang opini pun terjadi didasarkan data
sebagai amunisi. Data yang sama bahkan dari sumber informasi yang sama
terkadang berupaya menggiring opini kearah yang berseberangan. Kenapa bisa
begitu ? Data bisa mencerdaskan bangsa, tapi juga bisa digunakan untuk
mem-bodohi adak bangsa. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sebuah institusi
penghasil data yang sudah terlanjur dilabeli sebagai pelopor data statistik
terpercaya di negeri ini sering dijadikan sebagai sumber data oleh beberapa
penyebar opini. Seolah mirip MUI yang berhak dan dipercaya melabeli produk
halal, ketika sebuah data disebutkan berasal dari BPS maka label valid pun
seakan melabeli data tersebut. Padahal ada juga konsumen yang tidak
memerhatikan apakah ada label halal MUI pada suatu produk sebelum
dikonsumsinya.
Beberapa opini
yang termuat di media cetak lokal maupun nasional se-nusantara dipenuhi oleh
tulisan yang menggunakan data BPS dan bahkan ditulis oleh “orang dalam” BPS.
Label “halal” seolah menjamin tulisan tersebut hampir pasti dimuat oleh
redaksi. Kali ini BPS berhasil memotivasi “orang dalam” nya untuk
mendiseminasikan output institusinya ke publik melalui media cetak. Kolom opini
pun jadi ajang perlombaan tampil para penulis baru dari BPS. Yang menarik untuk
dicermati adalah apakah ada tendensi dari tulisan mereka ? Niat mencerdaskan
bangsa tentu ya, tapi menggiring opini, sepertinya tidak. Sebagai orang dalam
dari sebuah institusi penghasil data, mereka sebenarnya lebih memahami proses
bagaimana data itu dihasilkan, tidak pada menggiring opini dengan data
tersebut. Ketika tanpa sengaja atau pun disengaja ternyata tulisan mereka mampu
menggiring opini pembaca, tentu lebih pada kemampuan atau maksud pribadi
masing-masing penulis dan bukan pada kapabilitasnya sebagai warga BPS. Satu hal
lagi yang bisa dipastikan adalah tulisan opini tersebut tentu bukan hoax.
Lantas jika tulisan itu dimunculkan dalam kolom opini oleh redaksi media cetak,
mungkin redaksi bermaksud memancing pembaca lain untuk beropini setelah membaca
tulisan tersebut.
Menjelang Hari
Statistik Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 26 September,
setidaknya mengingatkan kita pada pentingnya meningkatkan literasi statistik di
kalangan masyarakat luas. Setidaknya ini bisa menangkal bahaya laten
penggiringan opini akibat pemberitaan hoax yang cenderung semakin masif. Data
yang mencerdaskan bangsa, tentu berawal dari kerja statistik yang terukur,
mulai dari proses pengumpulan, pengolahan, penyajian maupun analisanya. Proses
tersebut patut didukung oleh kaidah dan metodologi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kaidah ilmiah menuntut kejujuran walaupun
tidak juga bisa luput dari kesalahan. Mereka yang berkutat dibidang statistik
atau bisa disebut sebagai seorang statistisi sangat paham bagaimana cara
menangkal hoax dengan pencarian fakta dan data yang benar. Namun terkadang,
mencari benang merah antara “pintalan interpretasi” berbagai data yang berserak
menjadi kendala bagi seorang statistisi murni.
Akademisi dengan
berbagai kajian keilmuan yang lain diluar statistik lah yang diharapkan mampu
menghasilkan pintalan benang merah tersebut, lalu secara bersama menenun nya
menjadi “kain analisis” dalam sebuah forum kajian. Apakah kelak kain itu
bermotif tertentu sangatlah bergantung pada objektifitas dan fokus kajian.
Sekali lagi dituntut keseriusan me-literasi statistik dalam rangka mencerdaskan
bangsa. Jikalau subjektivitas kembali melandasi tenunan “kain analisis” yang
dipublis dimuka umum, apatah bedanya dengan hoax. Ini mungkin yang bisa disebut
melacur kan keilmuan, dan semua jenis pelacuran sangatlah menjijikkan. Lantas
sesiapa yang kemudian menggunakan kain tersebut menjadi pakaian berjahit akan
tampak menjijikkan pula, walau model nya dirancang desainer terkenal sekalipun.
Kapas yang
berkualitas, dipintal menjadi benang, dirajut menjadi kain, dijahit menjadi
pakaian, didesain secara apik, serasi dipakai dibadan, tampil anggun dimuka
umum, dipandang elok oleh khalayak. Data berkualitas, interpretasi tepat,
analisa mendalam, kebijakan tepat dan terukur, program aksi menyentuh,
birokrasi visioner dan bermartabat. Milenial terkadang tidak paham majas
hyperbola, budaya timur yang membedakan kita dengan barat. Perlu berulang
membaca untuk memahaminya. Tidak cukup dengan “skimming”. Pasat jalan
karena ditempuh, hafal kaji karena diulang.
Semua berawal dari
pencatatan. Catatan yang sesuai dengan realita. Catatan yang merangkum semua.
Catatan yang bersih. Catatan yang lengkap. Catatan tentang Kita, tentang semua
catatan yang kita punya. Tentang Indonesia, karena Kita lah Indonesia. Sensus
Penduduk 2020; Mencatat Indonesia. Dirgahayu perstatistikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar