Statistik sebagai
suatu ilmu biasa disebut statistika, setidaknya didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana melakukan proses pengumpulan data, pengolahan, penyajian
dan analisanya. Kata statistik sendiri merujuk pada ukuran-ukuran yang
didapatkan dari sebagian populasi (sampel) biasanya digunakan untuk melakukan
pendugaan (estimate) parameter. Sebagai cabang ilmu matematika, tidak banyak
orang yang berusaha menyenangi ilmu ini, walupun sejatinya tidak ada yang bisa
lepas dari keilmuan ini. Statistika hadir dalam berbagai kegiatan sehari hari
tanpa disadari.
Ketika emak
memasak gulai tempoyak misalnya, tidakkah kita ingat betapa beraninya si emak
menarik kesimpulan tentang jaminan rasa yang mantap hanya dengan mencicipi
sebagian kecil tetes kuah gulai saja. Kuah gulai yang diteteskan di telapak
tangan, disentuh dengan ujung jari kemudian dicecap seujung lidah, wow … pas
katanya. Itu statistik, tidak perlu mencicipi bermangkok gulai untuk memastikan
rasa yang pas. Yakin akan kelengkapan bumbu, durasi memasak, suhu api tungku,
adukan yang merata, dan sebagainya, telah menjamin teknik pengambilan sampel
acak akan tetap menghasilkan rasa yang relatif sama dan pas.
Metodologi yang
teruji setidaknya akan memberikan jaminan kualitas data statistik yang baik,
setidaknya berkaca dari keberanian si Emak memastikan rasa gulai tempoyak, itu
lah “the power of Emak emak” dan semua percaya akan rasanya yang memang
“maknyus”.
Sebagai sebuah
organisasi, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengusung visi menjadi “pelopor data statistik terpercaya untuk
semua” memiliki tanggung jawab untuk berupaya memuaskan semua pihak akan
data yang terpercaya. Sebagai institusi pemerintah maka BPS mengutamakan
institusi pemerintah lain sebagai konsumen utama yang lebih dulu percaya akan
kualitas data BPS. Sepertinya untuk poin ini, BPS sudah cukup berhasil
mendapatkannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan lembaga kepresidenan yang
dengan tegas mengatakan bahwa satu
satunya data yang dipakai menjadi acuan adalah data BPS. Namun apakah
“semua” sudah percaya ?
Tahun politik
telah membawa “produk” lembaga ini menjadi bahan baku perdebatan antar kubu
yang berseberangan. Bagai bubuk mesiu yang siap disulut, atau bola panas yang
menggelinding liar; dua gajah bertarung, akankah pelanduk yang mati ditengah
keduanya ? Ketika sebuah karya yang dihasilkan dipertanyakan oleh publik
tentang validitasnya, (sebagai contoh kasus viralnya penurunan angka kemiskinan),
maka sebagai suatu organisasi setidaknya segenap unsur akan merasa terusik.
Keterusikan tidak harus menjadikan gerah dan merasa dipersalahkan. Bukankah
semua telah dilakukan sesuai SOP ? Berpikir jernih mungkin akan membawa lembaga
ini kembali melihat kedalam diri, dan bukan sebuah aib untuk mengatakan mungkin
ada kekurangan atau suatu kesalahan dalam berbagai sisi. Anggaplah ini sebagai
suatu ujian untuk mempertahankan kepercayaan konsumen akan apa yang selama ini
dihasilkan organisasi.
Meskipun tidak
semua data harus disajikan oleh lembaga ini, namun mempelopori berbagai elemen
yang terkait dengan kegiatan pengumpulan
dan penyajian data berkualitas baik oleh perorangan maupun institusi menjadi
visi besar BPS. Peningkatan kualitas data akan memunculkan tingkat kepercayaan
konsumen pada sebuah institusi seperti BPS. Kejujuran ilmiah telah membawa
organisasi BPS menjadi sebuah lembaga penyedia data yang terpercaya dinegeri
ini. Membawa sebuah kajian ilmiah kedalam ranah politik (dengan tendensius)
tentu tidak akan bertemu ujung pangkalnya. Jika dikembalikan ke visi organisasi
, maka memang tidak hanya untuk pemerintah saja kepercayaan itu harus di dapat.
Semua penikmat karya BPS pun harus percaya, atau setidaknya dipelopori untuk
percaya. Media sosial yang begitu masif mengabarkan sesuatu terkadang
memposisikan sebuah berita terombang ambing tak bertepi.
Mendiseminasikan
hasil dalam bentuk publikasi diberbagai media, termasuk media sosial terbukti
berhasil mengedepankan BPS sebagai sebuah organisasi penyedia data yang sering
diacu. Independensi BPS dimata dunia pun termasuk diakui, bahkan oleh
lembaga-lembaga dibawah naungan United
Nation (UN). Berbagai institusi justru mengacu data BPS sebagai alat untuk
mendukung analisa atas bermacam kepentingan. Statistik sebagai sebuah
indikator memang hanyalah alat, dan baru
dapat dibunyikan dengan cabang keilmuwan yang lain. Seorang filsuf bahkan
berkata bahwa ilmu dipengaruhi kekuasan pada zamannya, maka jika ada yang
menganjurkan untuk “how to lie with
statistic ?” bisa jadi itu atas kepentingan tertentu dan bisa jadi atas
pengaruh (ambisi) kekuasaan.
Jejaring kerja BPS
yang menyebar keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dengan komando vertikal dari pusat sampai dengan tingkat kecamatan (Koordinator
Statistik Kecamatan) ditambah tenaga kontrak (Mitra Statistik) yang direkrut
saat pelaksanaan sensus/survei tertentu memungkinkan terjaganya keterbandingan
data antar wilayah. Keterbandingan data antar wilayah menjadi lebih bermakna
ketika kualitas data pun memiliki kesamaan level akurasi maupun tingkat
kekinian-nya (up to date). Jikalah
pelayanan prima merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi yang paling
sering didengungkan oleh berbagai institusi pemerintah, maka BPS memandang
perlu untuk menambahkan upaya peningkatan kualitas data sebagai satu lagi
tujuan reformasi birokrasi di dalam institusi tersebut.
Salah satu nilai
inti (core values) BPS adalah
“Amanah”, sebuah nilai yang patut dicermati dengan sangat hati-hati. Menjadikan
sebuah organisasi terpercaya bukanlah perkara mudah, bahkan kalaupun sudah
meraih kepercayaan tinggi pun, jauh lenih sulit untuk mempertahankannya.
Kejujuran ilmiah menjadi dasar utama untuk tetap dipercaya bagi sebuah
organisasi penyedia data seperti BPS. Suatu kesalahan mungkin saja dilakukan
dalam sebuah proses pada serangkai kegiatan BPS, namun kebohongan tidak boleh
terjadi. Ini yang akan membentuk paradigma tingkat kepercayaan terhadap
organisasi. Ditarik kedalam dimensi ibadah sebagai seorang warga negara
berideologi Pancasila, serangkaian kegiatan yang mengusung amanah sepatutnya
dilakukan dengan penuh ketulusan.
Profesional,
Integritas dan Amanah (core values
BPS) semestinya bukan nilai-nilai yang berdiri sendiri dan atau harus diberi
skala prioritas tertentu. Semua harus berjalan paralel dan sinergis menuju visi
organisasi. Apalah jadinya seseorang yang professional tapi tidak amanah berada
dalam suatu organisasi ? atau sebaliknya amanah tapi tidak profesional, atau
mungkin profesional tapi integritasnya diragukan ? Kepemilikan nilai-nilai inti
BPS oleh segenap unsur organisasi BPS baik di pusat maupun di daerah mestinya
memang berjalan paralel. Tidak boleh ada unsur yang tidak professional, tidak
berintegritas dan tidak amanah. Merasa satu tubuh dari sabang sampai Merauke,
pun Miangas sampai Pulau Rote memberi energi tambahan untuk membangun
organisasi yang berkemampuan sama, berpeluang sama untuk dipercaya oleh “SEMUA”.
The power of emak
emak, belakangan semakin viral menyusul kenekatan emak emak jaman now
berpolitik. Insan statistik semestinya meneladani emak emak dalam membumikan
statistik, tidak dengan kerumitan perhitungan matematisnya, melainkan dengan
ke-simple-lan penggambaran nya. Keep it so simple. Maka statistik akan senikmat
gulai tempoyak, bikinan emak.
Menjelang gelaran
rutin sepuluh tahunan, Sensus Penduduk yang akan dihelat pada tahun 2020, BPS
menggaungkan sebuah “narasi besar”. Indonesia yang sama kita cintai, bukan
hanya pulau pulaunya, pun bukan sekedar gambar diatas peta. Indonesia adalah
sebuah cerita, yang ditulis berbagai suku bangsa sebagai kalimat, dan setiap
penduduk sebagai hurufnya. Tugas BPS adalah mengabadikan, mencatat itu semua,
sebagai bekal untuk kemajuan negara, yang sama sama kita cintai (@provetic).
SP2020, Mencatat Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar