Tiga
tahun terakhir, tercatat terus tumbuh, demikian kinerja perekonomian Provinsi
Jambi (mengacu data BPS). Perekonomian Jambi perlahan melaju, tipis-tipis
(untuk mengatakan tidak cukup signifikan) dikisaran 4 persen, yaitu 4,21 persen
pada 2015 menjadi 4,37 persen di 2016 dan 4,64 persen tahun 2017 sebagaimana
dirilis dalam Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jambi beberapa hari yang
lalu. Dikatakan sebagai suatu indikator atas sebuah kinerja, tentulah mengindikasikan
apa dan siapa yang bekerja. Tiga besar sektor ekonomi yang tumbuh signifikan
jika dilihat dari sisi produksi adalah “Akomodasi
& Penyediaan makan/minum; Konstruksi; serta Informasi & Komunikasi”.
Meskipun tumbuh tinggi, dari ketiga kategori tersebut hanya sektor Konstruksi yang memiliki andil
signifikan (0,5 persen) sebagai sumber pertumbuhan (source of growth), itu pun masih lebih rendah dibandingkan andil
sektor Pertanian (1,45 persen) dan
sektor Pertambangan (0,9 persen).
Kinerja
sektor primer yang masih memiliki andil besar dalam perekonomian menjadikan
struktur ekonomi Jambi cenderung lamban bertransformasi. Sektor Industri yang
diharapkan menjadi mesin pertumbuhan (engine
of growth) gagal mengambil peran dan terindikasi sebagai gejala de-industrialisasi negatif. Penyerapan
tenaga kerja dari tiga sektor berandil besar diatas belum mampu memanfaatkan
bonus demografi sebagai akibat tidak adanya link
and match antara pangsa kerja dan keahlian yang terlahir dari pola
pendidikan yang ada. Tidak terserapnya usia produktif dalam pasar kerja akan
semakin membebani, baik secara sosial maupun ekonomi. Pertanian mungkin masih merupakan sektor yang sangat mudah untuk
dimasuki oleh pekerja, namun keengganan atas dasar gengsi menjadikan sektor ini
semakin tidak menarik bagi anak muda negeri ini. Sementara sektor Pertambangan lebih bersifat padat modal
ketimbang padat karya. Dimana pemerintah ? Kenapa seolah perekonomian berjalan
“autopilot” ?
Dianalogikan
sebagai sebuah kepemilikan atas lahan produktif, dalam ekonomi yang bersifat subsisten; tumbuh yang diharapkan
bukanlah sekedar tumbuh. Kalaulah hanya sekedar tumbuh, rumput dan semak akan
segera tumbuh menjadi belukar dilahan tersebut. Bulir biji yang diterbangkan
angin dan burung yang melayang lalu jatuh, pun bisa tumbuh menjadi perdu dan
pepohonan. Sebagai pemilik lahan, sudah semestinya memanfaatkan dan
memfungsikannya sesuai kebutuhan. Jika beras yang dibutuhkan sebagai bahan
pangan tentu padi yang ditanam, jika pakaian masih diperlukan maka biji kapas
yang ditabur, dan beberapa pokok pohon akan dibiarkan merindang untuk
selanjutnya dijadikan papan, dan seterusnya, dan seterusnya. Tumbuh dan
berguna, demikian seharusnya. Bukankah rumput juga berguna ? Mungkin berguna
jika saja bisa dijadikan pakan ternak. Demikian halnya sektor tersier yang
tumbuh dengan cepat, apakah berguna ? Tentu saja berguna untuk mengimbangi
sektor sekunder. Tapi ketika ternyata sektor sekunder itu tidak tumbuh, apa
yang sebenarnya terjadi ?
Perekonomian
dari sisi pengeluaran pada periode yang sama masih memperlihatkan andil Konsumsi rumahtangga (1,96 persen)
mendominasi sumber pertumbuhan, melampaui andil Pembentukan Modal Tetap Bruto (1,71 persen) maupun Ekspor Neto (1,09 persen). Produk sektor
Pertanian dan sektor Pertambangan yang berperan besar dalam pertumbuhan, lebih
banyak keluar sebagai komoditas ekspor dalam bentuk mentah karena tidak bisa
diserap oleh sektor industri. Pengeluaran Konsumsi rumahtangga yang terus
tumbuh menuntut penyediaan barang dan jasa, hal ini menciptakan tumbuhnya nilai
Impor dan menggerus nilai ekspor
neto. Rantai perdagangan dan persaingan pasar menyebabkan stabilitas harga
barang dan jasa sulit dikendalikan. Nilai Tukar Petani ikut tergerus karena
biaya yang harus dibayar untuk kebutuhan rumahtangga petani semakin tidak bisa
diimbangi oleh penerimaan dari penjualan produk pertanian.
Provinsi
Jambi bukanlah sebuah “lahan” yang sempit, masih luas dan cukup banyak cara
untuk berinovasi. Bukan masanya untuk bertahan dalam ekonomi subsisten.
Keterbukaan merupakan sebuah keniscayaan. Namun demikian, negeri ini ada yang
punya. Berbagai elemen ada disana. Bersinergi merupakan solusi yang sepatutnya
disikapi. Pemerintah maupun swasta, harus punya peran saling mengisi.
Menjadikan kinerja perekonomian terus tumbuh positif, mampu menyediakan
kebutuhan warganya, mempekerjakan tenaga produktif sesuai keahlian, serta
perlahan meningkatkan daya saing, itu setidaknya menjadi misi bersama seluruh
elemen. Jika sekarang, Provinsi Jambi hanya memberikan kontribusi 6,38 persen
dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kawasan Sumatera dengan
nominal sekitar 191 trilyun rupiah, bukan tidak mungkin kedepan akan mampu
memainkan peranan lebih bagi kawasan. Hal ini mengingat posisi strategis secara
geografis yang sangat menguntungkan, terletak ditengah-tengah kawasan dan lebih
kearah sisi pantai timur.
Pertanian
yang mengadopsi teknologi akan menarik minat generasi muda untuk terlibat
didalamnya. Kesan kumuh dalam sektor tradisional ini perlu dikikis sehingga
kekhawatiran akan hilangnya petani dari indikasi semakin menuanya rata-rata
usia petani tidak lagi membayangi. Kedaulatan pangan menjadi alasan untuk tetap
mempertahankan andil sektor Pertanian
sebagai salah satu sumber pertumbuhan. Meskipun strategi merekayasa struktur
perekonomian harus mengarah pada terjadinya transformasi kearah sektor sekunder
dan berlanjut ke tersier namun mempertahankan sektor primer, terutama pertanian
sampai level tertentu harus tetap menjadi perhatian.
Peran
sektor Pertambangan dalam pembentukan
nilai tambah (value added)
perekonomian Provinsi Jambi memang tidak bisa diabaikan. Bahkan fakta sejarah
membuktikan bahwa lebih dari satu setengah abad, isi perut bumi daerah ini
telah lama dikeluarkan dalam bentuk minyak bumi dan mineral lainnya.
Keberlanjutannya-lah yang patut diantisipasi mengingat potensi cadangannya akan
terus mengalami deplisi. Tidak demi segelintir penikmat, jika sektor ini harus
dipertahankan. Kemaslahatan umat patut dinomorsatukan, kerusakan lingkungan
yang terjadi harus mampu ditutupi oleh nominal hasil yang didapat dan bernilai
positif secara green economy.
Penemuan energi terbarukan perlahan akan menjadikan sektor ini tidak perlu
dipertahankan dalam struktur perekonomian.
Berbagai
teori pertumbuhan ekonomi menyebutkan sektor Industri Pengolahan sebagai sektor sekunder yang bisa menjadi mesin
pertumbuhan. Kemampuannya menggandakan nilai tambah berbagai sektor yang
bersentuhan baik langsung maupun tidak langsung memberi dampak positif dalam
perekonomian. Matriks pengganda dalam Tabel
Input Output selalu bisa memperlihatkan bagaimana sektor Industri
pengolahan menjadi sektor kunci perekonomian suatu wilayah. Sebagai contoh, industri
pengolahan CPO yang banyak terdapat di Jambi menyerap produksi TBS kelapa
sawit, sementara produk olahan lanjutannya dalam bentuk minyak goreng akan
dikonsumsi oleh rumahtangga. Ilustrasi itu menggambarkan rantai dampak
pengganda salah satu sektor industri pengolahan. Bahwa dibalik produksi TBS ada
lebih banyak lagi sektor terdampak dibelakangnya (bibit, industri pupuk,
transportasi, infrastruktur, dsb) dan minyak goreng ternyata bukan hanya
dikonsumsi rumahtangga, bahkan industri lain juga tercipta, ini adalah sebuah
contoh multiplier effect yang bisa
dihasilkan oleh sebuah sektor industri pengolahan.
Industrialisasi
menjadi bahasan penting kedepan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
tidak hanya sekedar tumbuh. Industri yang menyerap produk pertanian dan
memanfaatkan hasil sektor pertambangan sebagai bahan baku dan penolong patut
diprioritaskan untuk dikembangkan. Ketika industri
menjadi pilihan strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka
penyediaan tenaga kerja siap pakai menjadi suatu keharusan. Jasa pendidikan
menjadi wajib diarahkan pada tuntutan pangsa kerja. Butuh waktu untuk melihat
hasil kerja ini berbuah manis, bahkan mungkin ketika generasi telah berganti
baru bisa dinikmati. Tapi jika tidak dimulai, tidak lah mungkin akan tercapai.
Tidak cukup hanya dengan kerja keras, butuh kerja yang cerdas untuk tuntas.
publish @jambi_independet 8 feb 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar