Bukan semata-mata
pernyataan, namun sebuah hasil riset Pusat Penelitian Kependudukan pada Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mensinyalir ancaman kepunahan petani. Presiden
pun sempat mengungkapkan kerisauannya tentang banyaknya alumni program studi pertanian
justru tidak bekerja dibidang pertanian, sebagaimana disampaikan pada acara
Dies Natalis sebuah perguruan tinggi pertanian terbesar di negeri ini (Institut
Pertanian Bogor). Pertanian secara umum mencakup setidaknya enam sub sektor,
yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan. Masyarakat awam mengenal mereka yang berkutat dilapangan pekerjaan sub
sektor tersebut sebagai petani, dan nelayan sebagai sebutan khusus bagi para
pencari ikan diperairan umum. Kepunahan yang dirisaukan antara lain ketika
ternyata hasil riset menemukan bahwa rata-rata usia sebagian besar petani
berumur diatas 45 tahun, sementara kaum muda yang bersedia melanjutkan usaha
tani keluarga hanya sekitar 3 persen. Memang, hasil riset hanyalah sebuah
ukuran yang disebut statistik, berasal dari sampel dan bukan parameter
populasi.
Tidak menariknya sektor
pertanian untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga mungkin
disebabkan oleh tidak adanya jaminan kesejahteraan. Walaupun hasil Sensus
Pertanian terakhir mencatatkan Jambi sebagai sebuah provinsi dengan peningkatan
jumlah rumah tangga pertanian yang cukup signifikan dalam sepuluh tahun
terakhir, namun Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai proxy indikator tingkat kesejahteraan masih mengkhawatirkan bagi
petani. Daya tukar (term of trade)
dari produk pertanian yang dihasilkan terhadap barang/jasa yang dibutuhkan
untuk produksi, termasuk yang harus dikonsumsi petani terus tergerus. Fenomena
yang terjadi di provinsi ini seperti sebuah paradox,
tidak menjanjikan kesejahteraan tetapi jumlahnya malah meningkat.
Telaah lanjutan dari
fenomena ini menemukan bahwa sejatinya peningkatan jumlah rumahtangga pertanian
hanya terjadi pada sub sektor perkebunan, diikuti alih fungsi lahan pertanian
tanaman pangan menjadi lahan perkebunan. NTP subsektor perkebunan tercatat
memang selalu lebih tinggi dibanding subsektor pertanian lain (Berita Resmi
Statistik, BPS). Rata-rata luas lahan yang dimiliki rumah tangga pertanian di
Provinsi Jambi sebesar 2,3 hektar tapi masih terdapat sekitar 15 persen rumah
tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Petani di
Provinsi Jambi yang masih mau bertahan hidup dengan mengandalkan pertanian sebagai
sumber pendapatan utama tentulah para petani kebun dan bukan petani di sub
sektor pertanian lainnya. Kalaupun ada petani di subsektor lain yang masih
bertahan, mungkin mereka juga memiliki kebun, atau berbagai sumber pendapatan
lain diluar pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup, ataupun petani gurem
yang terpaksa bertahan.
Begitu berpengaruhnya
sub sektor perkebunan di dalam sektor pertanian di provinsi Jambi juga terlihat
dari korelasi yang kuat antara NTP dan NTPR (nilai tukar petani perkebunan rakyat).
Nilai koofisien korelasinya sangat tinggi (0,99) mendekati sempurna, berbeda
dengan korelasi NTP terhadap nilai tukar petani di berbagai sub sektor lain
yang nyaris tidak memiliki hubungan korelasi sama sekali. Sayangnya, pemasaran
produk akhir komoditi perkebunan utama provinsi Jambi masih sangat dipengaruhi
permintaan luar daerah, bahkan luar negeri, sehingga kondisi ekonomi daerah
tujuan ekspor akan sangat memengaruhi perekonomian petani provinsi Jambi.
Data Sensus Pertanian
2013 menyebutkan bahwa 25 persen petani di provinsi Jambi berusia diatas 54
tahun (sekarang?). Jika demikian patutkah kita risau akan kemungkinan kepunahan
petani ? Kepunahan petani yang manakah yang lebih merisaukan ? Negara manapun
tentu akan lebih risau jika logistik pangan nya bermasalah. Seberapapun maju
sebuah negara tetap akan mempertahankan kedaulatan pangan, bukan sekedar
ketahanan pangan. Petani tanaman pangan yang beralih menjadi petani pe-kebun
untuk mendapat pendapatan yang lebih baik, pun tetap butuh pangan. Kebanyakan
petani harusnya lebih memilih ber-ekspansi ketimbang total beralih komoditi,
dengan tetap mempertahankan komoditi tanaman pangan. Peran pemerintah untuk
mengedepankan program lahan pangan berkelanjutan sangat menentukan kondisi
kedaulatan pangan suatu daerah.
Series data NTP untuk
subsektor tanaman pangan dan hortikultura menggambarkan kedua kelompok petani
ini jauh dari kata dijamin untuk tidak beralih profesi. Dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir, terlihat begitu sulit menyetarakan indeks yang diterima
(It) dengan indeks yang harus dibayar (Ib). Sesekali setara dalam nilai indeks
(NTP=100), tapi kemudian kembali menukik. Sepertinya petani dikedua subsektor
ini, antara lain petani padi, petani palawija, dan petani hortikultura perlahan
akan ikut terancam punah.
Berbagai program
pemerintah untuk membuat petani mau bertahan belum memperlihatkan hasil yang
berkelanjutan. Sebuah program yang berfokus pada peningkatan produksi komoditas
tertentu (padi, jagung, kedelai) awalnya cukup berhasil, namun ketika kemudian
muncul program peningkatan produksi untuk komoditas lain (bawang, cabai)
produksi komoditas sebelumnya kembali anjlok dan komoditas program baru-lah
yang meningkat. Sebagian besar petani beralih ke program yang baru dan
meninggalkan yang lama, bukan karena latah melainkan sesungguhnya petani maupun
lahan yang digunakan kedua program itu adalah sama (substitusi). Keterbatasan
jumlah petani dan luasan lahan menjadikan berbagai program saling menggantikan
dan bukan saling melengkapi. Petani yang semakin menua, lahan yang semakin
terbatas membuat kedaulatan pangan mulai terancam. Kekhawatiran petani akan
ketahanan pangan rumah tangga sudah cukup sering kita dengar, karena mereka
semakin tidak mampu meningkatkan nilai tukar petani. Rumah tangga non pertanian
mungkin belum begitu khawatir tentang ketahanan pangan karena mereka merasa
mampu menukar pendapatannya dengan barang/jasa yang (masih) tersedia di pasar.
Jikalau nanti petani (pangan) benar-benar punah, betapapun tingginya pendapatan
kita, apalah gunanya jika pangan tidak lagi tersedia di pasar. Mensejahterakan
petani bukanlah sekedar untuk ketahanan pangan, melainkan demi suatu kedaulatan
pangan. Petani punah, yang lain “punah ranah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar