Kamis, 12 Oktober 2017

Tumbuh Timpang Perkotaan

Kajian dan berbagai penelitian berdimensi regional, terutama mengenai regional equality dan spatial distribution of resources, akan selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara kepulauan seperti Indonesia. Ketertinggalan suatu wilayah dibandingkan wilayah lain biasanya dilihat dari sisi ketersediaan infrastruktur perkotaan. Sebuah kementerian bahkan menyebut kekuranglengkapan infrastruktur (perkotaan) sebagai sebuah indikator ketertinggalan suatu wilayah (desa). Maka bermunculanlah proyek pembangunan yang mengatasnamakan pengentasan desa tertinggal dengan serangkaian pendampingan. Urbanisasi sebagai sebuah masalah klasik perkotaan, sepertinya pun belum mampu diatasi. Alih-alih mengurangi, arus urbanisasi cenderung meningkat dan membawa serangkaian masalah sosial lainnya. Geliat perekonomian menampakkan laju yang signifikan dan membuat wilayah perkotaan semakin terlihat gemerlap dan terdengar hingar bingar.
Perkotaan muncul sebagai pusat pertumbuhan baru diberbagai belahan dan pelosok negeri, demikian pula halnya di Provinsi Jambi. Kinerja perekonomian yang tergolong tinggi dalam koridor ekonomi wilayah Sumatera, bahkan pernah menjadi yang tertinggi se-Sumatera, membersitkan pendar cahaya gemerlap cikal bakal perkotaan-perkotaan baru. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan inflasi yang cukup terkendali menjadikan indikator kemiskinan maupun tingkat pengangguran berada pada kategori moderat. Sebuah kondisi yang bisa melenakan pengambil kebijakan. Keberanian untuk mengambil terobosan kebijakan dan tidak cepat puas atas kondisi ini, menuntut kajian lebih dalam.
Pemerintah (pembuat kebijakan dan perencana pembangunan) pada masa lalu (mungkin sampai kini masih), memfokuskan pembangunan ekonomi melalui strategi pertumbuhan ekonomi yakni usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Mereka sangat percaya hal itu akan menghasilkan apa yang disebut trickle down effects atau dampak merembes ke bawah yang akan berdampak pada terpecahkannya masalah-masalah makro ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Pengeluaran merupakan proxy dari pendapatan yang sering digunakan dalam berbagai kajian tentang ketimpangan.
Indikator ketimpangan pengeluaran penduduk yang terakhir dirilis oleh BPS pun menyebutkan bahwa ketimpangan di Provinsi Jambi cenderung menurun dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,335 (maret 2017). Hal ini senada dengan indikator ketimpangan Bank Dunia (persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah) sebesar 20,72 persen atau terkategori ketimpangan rendah (diatas 17 persen).  Jika sebelumnya dikatakan bahwa kinerja ekonomi provinsi ini melaju lebih cepat dibanding provinsi lain diwilayah Sumatera, maka tidak demikian halnya dengan ketimpangan.
Data terakhir menyebutkan bahwa ketimpangan di provinsi Jambi hanya terlihat lebih baik daripada Bengkulu dan Sumatera Selatan tetapi tidaklah lebih baik dibandingkan 7 provinsi lain di Sumatera. Meskipun keterbandingan ini bersifat relatif, namun setidaknya ini menjadikan pemantik semangat untuk tidak terlena dalam sebuah kondisi. Ketimpangan perkotaan berbeda nyata dengan ketimpangan pedesaan, hal ini hampir terjadi pada semua wilayah. Namun untuk provinsi Jambi, kondisi perbedaan ini lebih terlihat nyata dibandingkan provinsi lain di wilayah Sumatera. Gini Ratio perkotaan tercatat sebesar 0,384 sedangkan di pedesaan hanya sebesar 0,284 atau berbeda 100 basis poin. Perbedaan ini merupakan yang tertinggi di Sumatera, provinsi lain hanya memiliki perbedaan pada kisaran 50-80 basis poin.
Perbedaan ketimpangan pengeluaran penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi Jambi menjadi sebuah fenomena yang menuntut justifikasi. Ketika sebuah wilayah mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat ternyata ketimpangan perkotaan menjadi signifikan dibandingkan pedesaan. “Perdagangan” dan “Lembaga Keuangan” belakangan memang sering disebut sebagai sektor yang cukup berperan dalam pembentukan nilai tambah PDRB disamping sektor “Pertambangan” jika dilihat dari sisi produksi (production approach). PDRB sisi pengeluaran (expenditure approach) terbukti masih ditopang oleh komponen “Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga” (C) dan belum memperlihatkan andil komponen-komponen investasi sebagai indikasi kualitas pertumbuhan ekonomi.
Jika pengeluaran dianggap sebagai proxy dari pendapatan maka besarnya andil pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam perekonomian tentulah menggambarkan pendapatan. Lantas geliat perekonomian manakah yang memberikan pendapatan tersebut pada sebagian besar masyarakat, sementara sektor yang berandil besar ternyata sebagaimana disebutkan diatas ?! buble economy ataukah underground economy yang bekerja ? Hilirisasi sebatas angan, transformasi struktur ekonomi pun berjingkrak tak tentu arah. Letak geografis lah yang memberikan nafas perekonomian, dari segenap penjuru “arus barang dan jasa” datang memenuhi hasrat anak negeri. Untung saja masih bisa dinikmati, entah kapan “arus” itu cuma akan sempat singgah sejenak dan segera berlalu, mungkin ketika ketimpangan itu semakin ternganga.
Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang ada (kapitalis dan sosialis) mulai kurang disukai. Konsep yang dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growth) dipandang lebih cocok untuk diterapkan. Hanya melalui peningkatan nilai tambah (value added) PDRB akan ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasarnya adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi memang merupakan persyaratan utama (neccesery condition) untuk mengurangi kemiskinan. Namun dengan hanya memacu pertumbuhan ekonomi saja (pemusatan), baik dari sudut spasial maupun sektoral, bukanlah persyaratan yang cukup (sufficient condition) untuk mengatasi masalah kemiskinan karena akan memunculkan trade off terhadap pemerataan yang cenderung buruk.

publish dalam rubrik OPINI harian Jambi Independent 12 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...