Kajian dan berbagai
penelitian berdimensi regional, terutama mengenai regional equality dan spatial
distribution of resources, akan selalu menjadi bahasan penting dan menarik
di negara kepulauan seperti Indonesia. Ketertinggalan suatu wilayah
dibandingkan wilayah lain biasanya dilihat dari sisi ketersediaan infrastruktur
perkotaan. Sebuah kementerian bahkan menyebut kekuranglengkapan infrastruktur
(perkotaan) sebagai sebuah indikator ketertinggalan suatu wilayah (desa). Maka
bermunculanlah proyek pembangunan yang mengatasnamakan pengentasan desa
tertinggal dengan serangkaian pendampingan. Urbanisasi sebagai sebuah masalah
klasik perkotaan, sepertinya pun belum mampu diatasi. Alih-alih mengurangi,
arus urbanisasi cenderung meningkat dan membawa serangkaian masalah sosial
lainnya. Geliat perekonomian menampakkan laju yang signifikan dan membuat
wilayah perkotaan semakin terlihat gemerlap dan terdengar hingar bingar.
Perkotaan muncul
sebagai pusat pertumbuhan baru diberbagai belahan dan pelosok negeri, demikian
pula halnya di Provinsi Jambi. Kinerja perekonomian yang tergolong tinggi dalam
koridor ekonomi wilayah Sumatera, bahkan pernah menjadi yang tertinggi
se-Sumatera, membersitkan pendar cahaya gemerlap cikal bakal
perkotaan-perkotaan baru. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan inflasi yang
cukup terkendali menjadikan indikator kemiskinan maupun tingkat pengangguran
berada pada kategori moderat. Sebuah kondisi yang bisa melenakan pengambil
kebijakan. Keberanian untuk mengambil terobosan kebijakan dan tidak cepat puas
atas kondisi ini, menuntut kajian lebih dalam.
Pemerintah (pembuat
kebijakan dan perencana pembangunan) pada masa lalu (mungkin sampai kini masih),
memfokuskan pembangunan ekonomi melalui strategi pertumbuhan ekonomi yakni
usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang
singkat. Mereka sangat percaya hal itu akan menghasilkan apa yang disebut trickle down effects atau dampak
merembes ke bawah yang akan berdampak pada terpecahkannya masalah-masalah makro
ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Distribusi
pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan
ukuran kemiskinan relatif. Pengeluaran merupakan proxy dari pendapatan yang sering digunakan dalam berbagai kajian
tentang ketimpangan.
Indikator ketimpangan
pengeluaran penduduk yang terakhir dirilis oleh BPS pun menyebutkan bahwa
ketimpangan di Provinsi Jambi cenderung menurun dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,335 (maret 2017).
Hal ini senada dengan indikator ketimpangan Bank Dunia (persentase pengeluaran
pada kelompok 40 persen terbawah) sebesar 20,72 persen atau terkategori
ketimpangan rendah (diatas 17 persen). Jika
sebelumnya dikatakan bahwa kinerja ekonomi provinsi ini melaju lebih cepat
dibanding provinsi lain diwilayah Sumatera, maka tidak demikian halnya dengan
ketimpangan.
Data terakhir
menyebutkan bahwa ketimpangan di provinsi Jambi hanya terlihat lebih baik
daripada Bengkulu dan Sumatera Selatan tetapi tidaklah lebih baik dibandingkan
7 provinsi lain di Sumatera. Meskipun keterbandingan ini bersifat relatif,
namun setidaknya ini menjadikan pemantik semangat untuk tidak terlena dalam
sebuah kondisi. Ketimpangan perkotaan berbeda nyata dengan ketimpangan
pedesaan, hal ini hampir terjadi pada semua wilayah. Namun untuk provinsi
Jambi, kondisi perbedaan ini lebih terlihat nyata dibandingkan provinsi lain di
wilayah Sumatera. Gini Ratio
perkotaan tercatat sebesar 0,384 sedangkan di pedesaan hanya sebesar 0,284 atau
berbeda 100 basis poin. Perbedaan ini merupakan yang tertinggi di Sumatera,
provinsi lain hanya memiliki perbedaan pada kisaran 50-80 basis poin.
Perbedaan ketimpangan
pengeluaran penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi Jambi menjadi sebuah fenomena
yang menuntut justifikasi. Ketika sebuah wilayah mengalami laju pertumbuhan
ekonomi yang pesat ternyata ketimpangan perkotaan menjadi signifikan
dibandingkan pedesaan. “Perdagangan” dan “Lembaga Keuangan” belakangan memang
sering disebut sebagai sektor yang cukup berperan dalam pembentukan nilai
tambah PDRB disamping sektor “Pertambangan” jika dilihat dari sisi produksi (production approach). PDRB sisi
pengeluaran (expenditure approach) terbukti
masih ditopang oleh komponen “Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga” (C) dan belum
memperlihatkan andil komponen-komponen investasi sebagai indikasi kualitas
pertumbuhan ekonomi.
Jika pengeluaran
dianggap sebagai proxy dari
pendapatan maka besarnya andil pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam
perekonomian tentulah menggambarkan pendapatan. Lantas geliat perekonomian
manakah yang memberikan pendapatan tersebut pada sebagian besar masyarakat,
sementara sektor yang berandil besar ternyata sebagaimana disebutkan diatas ?! buble economy ataukah underground economy yang bekerja ?
Hilirisasi sebatas angan, transformasi struktur ekonomi pun berjingkrak tak
tentu arah. Letak geografis lah yang memberikan nafas perekonomian, dari
segenap penjuru “arus barang dan jasa” datang memenuhi hasrat anak negeri.
Untung saja masih bisa dinikmati, entah kapan “arus” itu cuma akan sempat
singgah sejenak dan segera berlalu, mungkin ketika ketimpangan itu semakin
ternganga.
Strategi mencapai
pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran
paradigma, karena dua aliran ekstrim yang ada (kapitalis dan sosialis) mulai kurang
disukai. Konsep yang dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi
dengan pertumbuhan (redistribution with
growth) dipandang lebih cocok untuk diterapkan. Hanya melalui peningkatan
nilai tambah (value added) PDRB akan
ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat
diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan
dari unsur kebijakan. Ide dasarnya adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi
pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang
pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan
berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi memang
merupakan persyaratan utama (neccesery
condition) untuk mengurangi kemiskinan. Namun dengan hanya memacu
pertumbuhan ekonomi saja (pemusatan), baik dari sudut spasial maupun sektoral,
bukanlah persyaratan yang cukup (sufficient
condition) untuk mengatasi masalah kemiskinan karena akan memunculkan trade off terhadap pemerataan yang
cenderung buruk.
publish dalam rubrik OPINI harian Jambi Independent 12 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar