Kamis, 16 Juli 2020

turun sedikit dimasa covid: semakin sulit ?


Kekhawatiran akan berkepanjangannya masa pandemi covid-19 yang berdampak pada perekonomian riil semakin terlihat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berita resmi adanya kenaikan angka kemiskinan untuk periode Maret 2020, saat dimana covid-19 mulai menjangkiti seantero negeri. Persentase penduduk miskin secara nasional pada periode Maret 2020 diperkirakan mencapai 9,78 persen dari total penduduk. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 9,41 persen. Peningkatan persentase penduduk miskin pada Maret 2020 justru terlihat lebih cepat jika dibandingkan dengan persentase pada periode September 2019 yang juga pernah dirilis oleh BPS dimana angkanya sebesar 9,22 persen. Kondisi ini setidaknya memperlihatkan bagaimana pandemi covid-19 seolah menumbuhsuburkan kemiskinan, ataukah memang demikian ?
Fenomena di level nasional belum tentu berlaku sama antar daerah di nusantara. Cerita berbeda datang dari Bengkulu, dalam rilis disaat yang sama, kemiskinan di wilayah ini justru terlihat menurun. Persentase penduduk miskin turun sebesar 0,2 persen dari 15,23 persen pada Maret 2019 menjadi 15,03 persen pada Maret tahun ini. Lantas apakah pandemi covid-19 tidak berdampak pada tingkat kesejahteraan di wilayah ini ? Menurunnya persentase jumlah penduduk miskin sebenarnya bersifat relatif, pada kenyataannya secara absolut jumlah penduduk miskin meningkat dari 302.302 jiwa menjadi 302.579 orang. Jika dibandingkan dengan periode September 2019 persentase penduduk miskin juga terlihat meningkat dari 14,91 persen.
Bahwa sebenarnya tidaklah terlihat perbedaan nyata (significant) antar kedua fenomena diatas jika dilihat dari kekhawatiran terhadap dampak covid-19 bagi kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan yang terjadi adalah sama, bahwa pandemi memang memberi dampak buruk terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Pemahaman kewilayahan menjadikan upaya pemerintah daerah seharusnya lebih efektif dibandingkan upaya pemerintah pusat yang lebih bersifat makro. Dalam hal ini pemerintah daerah Provinsi Bengkulu terlihat lebih bisa menjaga penduduk disekitar garis kemiskinan untuk tetap mampu bertahan dan tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Tingkat kemiskinan yang dikatakan mengalami penurunan sebagaimana disebutkan sebelumnya merupakan sebuah angka/besaran yang lebih bersifat relatif. Sehingga terlihat seolah sulit dipahami ketika bersanding dengan sebuah angka absolut. Persentase penduduk miskin turun tetapi jumlah penduduk miskin bertambah ? Memang demikian adanya, bahwa persentase penduduk miskin adalah perbandingan antara jumlah “penduduk miskin” dibandingkan dengan jumlah “penduduk” (selanjutnya dinyatakan dalam bentuk persentase). Dalam bahasa matematis ibarat bilangan pecahan, ada “penyebut” dan “pembilang”. Beberapa operasi matematika antar bilangan pecahan bahkan mensyaratkan pentingnya untuk menyamakan “penyebut”. Seyogyanya membahasakan naik-turun-nya kemiskinan pun perlu menyamakan “penyebut”nya.
Ilustrasi sederhana nya kurang lebih begini; pada kondisi awal misalnya tercatat bahwa 10 dari 20 orang penduduk suatu RT dinyatakan miskin, atau secara persentase dikatakan terdapat 50 persen “penduduk miskin”. Beberapa waktu kemudian ketika dilakukan perhitungan kembali terjadi perubahan, “jumlah penduduk” RT tersebut bertambah menjadi 50 orang sementara “penduduk miskin” nya berjumlah 20 orang. Jika dihitung secara persentase maka tingkat kemiskinan turun menjadi 40 persen walaupun jumlah penduduk miskin naik sebanyak 10 orang. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa ada terminology “jumlah penduduk” yang harus disebutkan sebagai “penyebut” dalam membahasakan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian maka yang terjadi sesungguhnya bisa ditengarai, pertambahan penduduk provinsi Bengkulu jauh lebih cepat daripada laju pertumbuhan penduduk miskin. Dalam periode yang relatif singkat maka jika pertambahan penduduk tersebut merupakan pertambahan secara alami, kemungkinan terjadi pada rumah tangga yang memang memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan minimum. Jika pertambahan penduduk tersebut merupakan hasil migrasi, maka kemungkinan yang masuk merupakan orang-orang yang juga mampu memenuhi kebutuhan minimumnya.
Upaya mengentaskan kemiskinan menjadi semakin sulit ditengah pandemi covid. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2019 sebesar 14,70 persen naik menjadi 14,77 persen pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2019 sebesar 15,49 persen turun menjadi 15,16 persen pada Maret 2020. Masyarakat perkotaan terlihat jauh lebih sulit bertahan dari dampak pemiskinan oleh pandemi, perbedaan struktur ekonomi antara perkotaan dan pedesaan menjadi alasan kesulitan mempertahankan sumber pendapatan.
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan pemerintah juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2019-Maret 2020, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 ) pada Maret 2019 sebesar 2,48 dan pada Maret 2020 sebesar 2,40. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) mengalami penurunan dari 0,58 menjadi 0,56 pada periode yang sama. Kedua indeks ini juga terpantau lebih tinggi diperkotaan ketimbang di pedesaan.
Pertanyaannya, kapan pandemi berakhir? Kapan kita bisa hidup "normal" lagi? Pertanyaan yang wajar diajukan meskipun sebenarnya kita sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang dituntut pandemi. Menjawab petanyaan ini tidak mudah karena belum ada orang yang datang dari masa depan yang bisa kita konfirmasi. Jawaban atas pertanyaan sulit itu umumnya berupa prediksi, perkiraan dengan dasar yang tidak cukup pasti. Pilihan memang tidak mudah. Bukan lagi antara menjaga kesehatan atau melangsungkan kegiatan ekonomi. pemerintah sejak awal sudah menegaskan posisi untuk "berdamai" dengan Covid-19. Sayangnya, pelonggaran aktivitas ekonomi sebagai bentuk "berdamai" dengan Covid-19 tidak disertai pengetatan disiplin akan protokol kesehatan.
Terkadang kita ingin melakukan banyak hal, namun yang terjadi adalah apa yang memang seharusnya demikian. Meski semakin sulit ditengah pandemi covid, kemiskinan turun walau sedikit.


Jumat, 10 Juli 2020

Menggelontorkan Belanja Menyiasati Pandemi; Mendongkrak Ekonomi ?


Pada pembukaan rapat terbatas di Istana Negara beberapa hari yang lalu, Presiden meminta para menteri-nya membelanjakan anggaran kementerian dengan cepat agar perekonomian masyarakat bisa “hidup” kembali. Memang dalam situasi seperti sekarang ini tidak ada hal lain yang bisa menggerakkan ekonomi kecuali belanja pemerintah. Para birokrat harus memiliki sense of crisis yang sama, serta berupaya menyederhanakan regulasi dan SOP penggunaan anggaran.
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat, sebagaimana biasa dituliskan dalam formulasi persamaan makro dalam perhitungan pendapatan nasional; dimana Y=C+I+G+NX. Formulasi ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, variabel Y melambangkan pendapatan nasional sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat yang terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), investas (I), belanja pemerintah (G) dan ekspor netto (NX). Seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional dapat diketahui dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu.
Struktur pendapatan nasional dari sisi permintaan agregat memperlihatkan proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total permintaan pada kisaran 9 persen. Proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi relatif beragam. Rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah di kawasan timur Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan barat. Jika dikawasan barat proporsinya rata-rata sekitar 8 persen, di kawasan timur rata-rata proporsinya mendekati angka 13 persen. Sebagaimana diketahui 80 persen pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang oleh wilayah Sumatera (21%) dan Jawa (59%).
Provinsi Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur dari utara ke selatan, di antara Bukit Barisan di sebelah timur dan Samudera Indonesia di sebelah barat dengan luas wilayah lebih kurang 21.089,38 km2 dan jumlah penduduk mendekati 2 juta jiwa. Meski terletak di kawasan barat Indonesia, persentase pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB (Rp.72,14 triliun) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berada pada kisaran 20 persen. Pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh pada kisaran 3-4 persen pertahunnya. Tak pelak lagi maka stimulus perekonomian sangat diharapkan lewat penggelontoran pengeluaran konsumsi pemerintah. Untuk dapat optimal mendongkrak pertumbuhan ekonomi tentu saja harus melalui pengalokasian belanja anggaran yang tepat.
APBD sudah seharusnya menjadi alat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Dengan pelemahan ekonomi nasional, APBD punya peran penting agar daerah tidak semakin terpuruk pertumbuhannya. Ketika siklus turun seperti saat ini, APBD men-support supaya tidak turun terlampau dalam meski terkadang langkah tersebut akan berdampak pada aspek penerimaan. Berbeda dengan kondisi krisis ekonomi beberapa tahun sebelumnya, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang pangsanya mencapai kisaran 65 persen relatif sulit diharapkan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal saat ini. Pembatasan sosial dalam berbagai skala yang diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran covid-19 terasa memberatkan ruang gerak perekonomian. Persentase pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB jika dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu berada pada kisaran 13-26 persen, dimana terdapat 3 wilayah dengan persentase dibawah 15 persen dan 4 wilayah diatas 20 persen.
Pemerintah daerah tentulah lebih paham apa yang bisa diperbuat dalam setengah perjalanan tahun anggran untuk berakselerasi dengan program nasional. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan dananya, mendorong peningkatan efisiensi belanja. Bukan saatnya berpola kepemimpinan transaksional yang hanya berorientasi pada kompensasi dan sejenisnya. Optimalisasi kinerja dimungkinkan muncul dengan pola kepemimpinan transformasional dengan kemampuan menginspirasi dan memotivasi pencapaian transedental daripada kepentingan pribadi jangka pendek.
Tanpa terasa, Juli sebagai awal semester kedua tahun ini sedang kita masuki. Pergantian waktu, pergantian bulan dan perubahan semester tidak lagi ditandai karena semua terasa datar bahkan hambar saat pandemi. Mengambil langkah-langkah luar biasa atau extraordinary seperti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan tidak bisa diperbaiki, menata kembali atau mengubah kembali harapan disesuaikan dengan realita adalah jalan terbaiknya. Perumusan kebijakan pembangunan yang selalu memiliki “mindset” dampak ekonomi dari suatu kebijakan seyogya-nya mengambil lesson learned dari kebijakan terdahulu serta mempelajari resiko yang diambil dari setiap kebijakan, sehingga dapat mengantisipasi resiko yang mungkin/pasti terjadi di masa yang akan datang.
Langkah-langkah pemberian stimulus bertujuan untuk membantu pelaku ekonomi bertahan menghadapi dampak covid-19, menjaga daya beli masyarakat, memberikan kemudahan ekspor-impor, meminimalisir jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), membantu perbankan memberikan relaksasi dan likuiditas, dan mencegah terjadinya krisis ekonomi dan keuangan. Namun demikian, efektivitas stimulus tersebut akan sangat tergantung pada efektivitas kebijakan pencegahan dan penanganan kasus covid-19. Tidak hanya sangat tergantung dari skenario efektivitas penanganan covid-19, proyeksi pertumbuhan perekonomian juga akan tergantung pada unsur ketidakpastian atas gangguan di sisi penawaran, pengetatan di pasar keuangan, perubahan pola belanja masyarakat, dan fluktuasi harga komoditas global.
Ketika ternyata pandemi masif dan berkala datang dan dipastikan mengganggu kegiatan ekonomi, setidaknya meruntuhkan pandangan sebagian ekonom yang sebelumnya menyatakan bahwa fondasi ekonomi masih cukup kuat, namun ternyata sebagian besar kegiatan ekonomi kita lebih bersifat informal dan goyah. Akibatnya, tidak bisa dihindari lagi efek berikutnya adalah ke sektor pemerintahan sebagai satu-satunya sebagai lender of last demand. Outlook memperlihatkan dampak pertama kepada politik ekonomi yaitu banyak perencanaan pembangunan menjadi tertunda dan terjadi pergeseran fokus orientasi pembangunan menjadi penyelamatan. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan kebijakan fiskal yang efektif.
Apakah semua kebijakan yang telah diambil dalam menyikapi pandemi, terutama kebijakan fiskal ini bisa menyelamatkan permintaan tanpa mengorbankan ekonomi jangka panjang sehingga ekonomi tetap sustain ? Instrumen fiskal dan moneter sudah banyak dibatasi oleh parameter endogen, sedangkan krisis yang sekarang dihadapi bersifat eksogen di luar sirkuit ekonomi. Adalah salah besar menganggap ekonomi akan normal dengan sendirinya.
Upaya untuk berdamai dengan covid-19 disambut dengan antusiasme tinggi. Warga kembali menjalankan aktivitas ekonomi dengan kesadaran masih tingginya ancaman untuk kesehatan. Keduanya diupayakan berjalan beriringan, tidak dipertentangkan, meskipun aktivitas ekonomi dan aktivitas lain terlihat sangat agresif dilakukan. Menjalankan aktivitas ekonomi dengan protokol kesehatan yang ketat bukan upaya satu pihak saja, tetapi semua pihak. Atas rendahnya kesadaran, lemahnya disiplin, dan lengahnya petugas, semoga kita tetap dilindungi dari bahaya yang besar.

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...