Pada pembukaan rapat terbatas di Istana Negara beberapa hari yang lalu,
Presiden meminta para menteri-nya membelanjakan anggaran kementerian dengan
cepat agar perekonomian masyarakat bisa “hidup” kembali. Memang dalam situasi
seperti sekarang ini tidak ada hal lain yang bisa menggerakkan ekonomi kecuali
belanja pemerintah. Para birokrat harus memiliki sense of crisis yang
sama, serta berupaya menyederhanakan regulasi dan SOP penggunaan anggaran.
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat,
sebagaimana biasa dituliskan dalam formulasi persamaan makro dalam perhitungan
pendapatan nasional; dimana Y=C+I+G+NX. Formulasi ini dikenal sebagai identitas
pendapatan nasional, variabel Y melambangkan pendapatan nasional sekaligus
mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat yang
terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), investas (I), belanja pemerintah (G)
dan ekspor netto (NX). Seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam
pembentukan pendapatan nasional dapat diketahui dengan membandingkan nilai G
terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu.
Struktur pendapatan nasional dari sisi permintaan agregat memperlihatkan
proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total permintaan pada kisaran
9 persen. Proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah dalam Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi relatif beragam. Rata-rata
proporsi pengeluaran pemerintah di kawasan timur Indonesia lebih tinggi
dibandingkan dengan kawasan barat. Jika dikawasan barat proporsinya rata-rata
sekitar 8 persen, di kawasan timur rata-rata proporsinya mendekati angka 13 persen.
Sebagaimana diketahui 80 persen pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang
oleh wilayah Sumatera (21%) dan Jawa (59%).
Provinsi Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur dari utara
ke selatan, di antara Bukit Barisan di sebelah timur dan Samudera Indonesia di
sebelah barat dengan luas wilayah lebih kurang 21.089,38 km2 dan jumlah penduduk
mendekati 2 juta jiwa. Meski terletak di kawasan barat Indonesia, persentase
pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB (Rp.72,14 triliun) dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir berada pada kisaran 20 persen. Pengeluaran
konsumsi pemerintah tumbuh pada kisaran 3-4 persen pertahunnya. Tak pelak lagi
maka stimulus perekonomian sangat diharapkan lewat penggelontoran pengeluaran
konsumsi pemerintah. Untuk dapat optimal mendongkrak pertumbuhan ekonomi tentu
saja harus melalui pengalokasian belanja anggaran yang tepat.
APBD sudah seharusnya menjadi alat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Dengan pelemahan ekonomi nasional, APBD punya peran penting agar daerah tidak
semakin terpuruk pertumbuhannya. Ketika siklus turun
seperti saat ini, APBD men-support supaya tidak turun terlampau dalam
meski terkadang langkah tersebut akan
berdampak pada aspek penerimaan. Berbeda dengan kondisi krisis ekonomi beberapa
tahun sebelumnya, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang pangsanya
mencapai kisaran 65 persen relatif sulit diharapkan untuk menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi yang optimal saat ini. Pembatasan sosial dalam berbagai
skala yang diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran covid-19 terasa
memberatkan ruang gerak perekonomian. Persentase pengeluaran konsumsi
pemerintah terhadap total PDRB jika dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi
Bengkulu berada pada kisaran 13-26 persen, dimana terdapat 3 wilayah dengan
persentase dibawah 15 persen dan 4 wilayah diatas 20 persen.
Pemerintah daerah tentulah lebih paham apa yang bisa diperbuat dalam
setengah perjalanan tahun anggran untuk berakselerasi dengan program nasional. Desentralisasi
fiskal memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan
dananya, mendorong peningkatan efisiensi belanja. Bukan saatnya berpola
kepemimpinan transaksional yang hanya berorientasi pada kompensasi dan
sejenisnya. Optimalisasi kinerja dimungkinkan muncul dengan pola kepemimpinan
transformasional dengan kemampuan menginspirasi dan memotivasi pencapaian
transedental daripada kepentingan pribadi jangka pendek.
Tanpa terasa, Juli sebagai awal semester kedua tahun ini sedang kita masuki.
Pergantian waktu, pergantian bulan dan
perubahan semester tidak lagi ditandai karena semua terasa datar bahkan hambar
saat pandemi. Mengambil langkah-langkah luar biasa atau extraordinary
seperti menjadi suatu keharusan. Jika
kenyataan tidak bisa diperbaiki, menata kembali atau mengubah kembali harapan
disesuaikan dengan realita adalah jalan terbaiknya. Perumusan kebijakan
pembangunan yang selalu memiliki “mindset” dampak ekonomi dari suatu kebijakan
seyogya-nya mengambil lesson learned dari kebijakan terdahulu
serta mempelajari resiko yang diambil
dari setiap kebijakan, sehingga dapat mengantisipasi resiko yang mungkin/pasti
terjadi di masa yang akan datang.
Langkah-langkah pemberian stimulus bertujuan untuk membantu pelaku
ekonomi bertahan menghadapi dampak covid-19, menjaga daya beli
masyarakat, memberikan kemudahan ekspor-impor, meminimalisir jumlah pemutusan
hubungan kerja (PHK), membantu perbankan memberikan relaksasi dan likuiditas,
dan mencegah terjadinya krisis ekonomi dan keuangan. Namun demikian,
efektivitas stimulus tersebut akan sangat tergantung pada efektivitas kebijakan
pencegahan dan penanganan kasus covid-19. Tidak hanya sangat tergantung
dari skenario efektivitas penanganan covid-19, proyeksi pertumbuhan
perekonomian juga akan tergantung pada unsur ketidakpastian atas gangguan di
sisi penawaran, pengetatan di pasar keuangan, perubahan pola belanja
masyarakat, dan fluktuasi harga komoditas global.
Ketika ternyata pandemi masif dan berkala datang dan dipastikan mengganggu
kegiatan ekonomi, setidaknya meruntuhkan pandangan sebagian ekonom yang
sebelumnya menyatakan bahwa fondasi ekonomi masih cukup kuat, namun ternyata
sebagian besar kegiatan ekonomi kita lebih bersifat informal dan goyah.
Akibatnya, tidak bisa dihindari lagi
efek berikutnya adalah ke sektor pemerintahan sebagai satu-satunya sebagai lender
of last demand. Outlook memperlihatkan dampak pertama kepada politik
ekonomi yaitu banyak perencanaan pembangunan menjadi tertunda dan terjadi pergeseran
fokus orientasi pembangunan menjadi penyelamatan. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan
kebijakan fiskal yang efektif.
Apakah semua kebijakan yang telah diambil dalam menyikapi pandemi,
terutama kebijakan fiskal ini bisa menyelamatkan permintaan tanpa mengorbankan
ekonomi jangka panjang sehingga ekonomi tetap sustain ?
Instrumen fiskal dan moneter sudah
banyak dibatasi oleh parameter endogen, sedangkan krisis yang sekarang dihadapi
bersifat eksogen di luar sirkuit ekonomi. Adalah salah besar menganggap ekonomi
akan normal dengan sendirinya.
Upaya untuk berdamai dengan covid-19 disambut dengan antusiasme
tinggi. Warga kembali menjalankan aktivitas ekonomi dengan kesadaran masih
tingginya ancaman untuk kesehatan. Keduanya diupayakan berjalan beriringan, tidak dipertentangkan, meskipun
aktivitas ekonomi dan aktivitas lain terlihat sangat agresif dilakukan.
Menjalankan aktivitas ekonomi dengan
protokol kesehatan yang ketat bukan upaya satu pihak saja, tetapi semua pihak.
Atas rendahnya kesadaran, lemahnya
disiplin, dan lengahnya petugas, semoga kita tetap dilindungi dari bahaya yang
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar