Saat pasien positif pertama didapati dinegeri ini, kurva penambahan
jumlah pasien positif covid-19 belum juga turun. Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19,
atas persetujuan pemerintah pusat, beberapa daerah memberlakukan berbagai upaya
pembatasan sosial bahkan sampai pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sebagai bentuk tanggung jawab atas pembatasan sosial ini, pemerintah memberi
bantuan sosial. Terlepas dari ada atau tidak “niat lain” yang tersembunyi,
pemberian bantuan sosial sedianya bermaksud mencukupkan kebutuhan minimal
masyarakat ditengah kesulitan pemenuhan kebutuhan secara mandiri. Pembatasan
sosial pun berdampak pada sempitnya ruang gerak aktivitas perekonomian.
Perlahan-lahan daya beli masyarakat yang terdampak oleh menurunnya
pendapatan dalam masa pembatasan sosial memengaruhi pemenuhan kebutuhan
minimum, terutama pangan. Asupan pangan yang dikonsumsi menentukan status gizi
masyarakat dan sangat erat kaitannya dengan menjaga kualitas sumberdaya manusia
kedepan. Pangan yang dikonsumsi haruslah dalam jumlah yang cukup, bermutu dan
beragam untuk memenuhi berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh guna mencapai
status gizi yang baik. Jumlah, mutu dan ragam pangan yang dikonsumsi masyarakat
bergantung pada pendapatan yang menentukan daya beli masyarakat. Semakin tinggi
daya beli masyarakat, maka semakin tinggi pula peluang bagi masyarakat untuk memilih
pangan yang baik dari sisi jumlah maupun jenisnya.
Tingkat kecukupan gizi merupakan salah satu indikator yang menunjukkan
tingkat kesejahteraan penduduk, biasanya dapat dihitung dari besaran kalori dan
protein yang dikonsumsi oleh penduduk. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75
Tahun 2013 menganjurkan angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.150 kkal dan 57 gr
protein. Secara rata-rata konsumsi kalori perkapita penduduk Provinsi Bengkulu
pada tahun 2019 mencapai 2.086,11 kkal. Angka ini lebih rendah dibandingkan angka tahun
sebelumnya yang mencapai 2.162,35 kkal. Demikian pula halnya dengan konsumsi
protein yang juga mengalami penurunan dari 59,37 gr pada tahun 2018 menjadi 58,28 gr perkapita perhari pada 2019. Konsumsi perkapita
untuk kedua jenis asupan sebagaimana disebutkan adalah kondisi sebelum pandemi Covid-19,
yang terlihat sudah mulai terkoreksi, bahkan untuk konsumsi kalori berada
sedikit dibawah standard kecukupan yang dianjurkan. Hal yang berbeda terlihat
antara pola konsumsi di pedesaan (urban) dibandingkan dengan perkotaan (rural).
Rata-rata konsumsi kalori di pedesaan tercatat lebih tinggi dibandingkan di perkotaan,
masyarakat pedesaan mengkonsumsi 2.111,75 kkal perkapita sedangkan perkotaan
hanya sebesar 2.034,22 kkal setiap harinya. Sedangkan untuk konsumsi protein
terlihat bahwa masyarakat perkotaan lebih tinggi daripada konsumsi protein pedesaan,
dimana perkotaan mengkonsumsi 60,80 gr perkapita sementara masyarakat pedesaan
hanya mengkonsumsi 57,04 gr. Perbedaan pola konsumsi perkotaan dan pedesaan
serta perubahan pola konsumsi masyrakat yang mengakibatkan perubahan besaran
angka dari periode sebelumnya, ditengarai sebagai akibat kecederungan
peningkatan konsumsi makanan/minuman jadi dan menurunnya konsumsi komoditi
padi-padian.
Pada awal pandemi negara hadir memastikan nadi perekonomian terus
berdenyut, kini negara pun harus hadir mencukupkan kebutuhan masyarakat agar
nadi kehidupan terus berlanjut. Beberapa yang sudah terlihat lewat geliat
aparat, menjanjikan kepastian hadirnya negara dalam niat yang kuat. Sebagai
umat yang percaya akan munculnya perbuatan karena adanya niat, maka
berprasangka baik akan ketulusan niat adalah hal yang mutlak. Bukan cerita baru
kalo sebagian orang percaya bahwa bukan cuma karena ada niat maka sesuatu itu
terjadi, melainkan bisa jadi karena ada kesempatan. Namun alangkah “terlalu”
jika ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sepakatlah untuk meyakini
bahwa yang melakukan hal seperti itu bukanlah apa yang kita yakini sebagai apa
yang kita sebut sebagai negara. Negara lah yang akan mencukupkan karena negara
lah yang menganjurkan.
Selama lebih dari sebulan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan
beribadah di rumah, kita yakin, banyak perubahan telah kita lakukan. Berubah
adalah cara alamiah setiap makhuk beradaptasi untuk bertahan hidup. Ketika
keinginan keluar tidak dimungkinkan karena upaya memutus rantai penyebaran Covid-19,
maka melihat ke dalam menjadi lebih relevan. Dalam ruang-ruang sempit yang
membatasi, keluasan jelajah ke dalam masih sangat dimungkinkan. Sebulan
terakhir, pengenalan kita pada hal-hal yang dekat yang selama ini kita abaikan
justru makin baik. Kita makin mengenal lingkungan sekitar, makin mengenal
sudut-sudut tempat tinggal, makin mengenal anggota keluarga, makin mengenal
anak-anak atau pasangan, dan makin mengenal diri kita sendiri.
Mendapati semua ini, mungkin kita teringat
"kemewahan" yang dirancang mereka yang sehari-hari sibuk untuk retret
atau menarik diri dari keramaian beberapa hari untuk lebih mengenali diri
sendiri. Aktivitas yang belakangan terkenal dengan mindfulness juga
berpotensi menaikkan imunitas tubuh. Karena situasi pandemi yang memaksa,
sebagian dari kita mendapatkan "kemewahan" mindfulness ini
secara massal (editorial
kompas).
Jangka waktu yang panjang dan nyaris tanpa kepastian terkait
pandemi ini menjadi tantangan yang tidak mudah. Bagaimana bersiasat dengan
bosan ? Pertanyaan ini mewakili pertanyaan semua orang. Beruntung kita dan
terutama anak-anak kita mendapati pengalaman ini: Pengalaman bosan yang panjang
dalam situasi tidak pasti. Secara mental, situasi ini akan membentuk siasat
yang baik untuk bekal kehidupan mendatang. Dalam situasi apa pun, bahkan dalam
situasi ideal sekali pun, kita akan menghadapi rasa bosan. Kemampaun mengelola
kebosanan yang dilatihkan oleh pengalaman hidup akan menjadi kecakapan hidup
yang bermanfaat. Kecakapan atau kemampuan mengelola kebosanan yang kerap
disertai kekecewaan adalah awal dari tumbuhnya benih-benih kesetiaan. Sebuah
nilai yang sangat dibutuhkan dalam hidup, meskipun kerap jadi bahan tertawaan. Apa
jadinya kalau kita cepat bosan dan tidak memiliki kecakapan merawat kesetiaan?
Terhadap janji-janji, terhadap ritual keagamaan, terhadap pekerjaan, terhadap
persahabatan, atau bahkan terhadap pasangan. Di ruang-ruang sempit, di dalam
diri kita, selama lebih dari sebulan ini, kecakapan ini tengah dilatihkan oleh
semesta.
Semoga negara pun tidak bosan mencukupkan apa yang kita
perlukan, tidak lelah menyediakan kebutuhan, dan tidak lalai menepati janji
pada negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar