Kamis, 30 April 2020

Mencukupkan yang Dianjurkan

Saat pasien positif pertama didapati dinegeri ini, kurva penambahan jumlah pasien positif covid-19 belum juga turun. Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, atas persetujuan pemerintah pusat, beberapa daerah memberlakukan berbagai upaya pembatasan sosial bahkan sampai pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebagai bentuk tanggung jawab atas pembatasan sosial ini, pemerintah memberi bantuan sosial. Terlepas dari ada atau tidak “niat lain” yang tersembunyi, pemberian bantuan sosial sedianya bermaksud mencukupkan kebutuhan minimal masyarakat ditengah kesulitan pemenuhan kebutuhan secara mandiri. Pembatasan sosial pun berdampak pada sempitnya ruang gerak aktivitas perekonomian.
Perlahan-lahan daya beli masyarakat yang terdampak oleh menurunnya pendapatan dalam masa pembatasan sosial memengaruhi pemenuhan kebutuhan minimum, terutama pangan. Asupan pangan yang dikonsumsi menentukan status gizi masyarakat dan sangat erat kaitannya dengan menjaga kualitas sumberdaya manusia kedepan. Pangan yang dikonsumsi haruslah dalam jumlah yang cukup, bermutu dan beragam untuk memenuhi berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh guna mencapai status gizi yang baik. Jumlah, mutu dan ragam pangan yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada pendapatan yang menentukan daya beli masyarakat. Semakin tinggi daya beli masyarakat, maka semakin tinggi pula peluang bagi masyarakat untuk memilih pangan yang baik dari sisi jumlah maupun jenisnya.
Tingkat kecukupan gizi merupakan salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk, biasanya dapat dihitung dari besaran kalori dan protein yang dikonsumsi oleh penduduk. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2013 menganjurkan angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.150 kkal dan 57 gr protein. Secara rata-rata konsumsi kalori perkapita penduduk Provinsi Bengkulu pada tahun 2019 mencapai 2.086,11 kkal. Angka ini lebih rendah dibandingkan angka tahun sebelumnya yang mencapai 2.162,35 kkal. Demikian pula halnya dengan konsumsi protein yang juga mengalami penurunan dari 59,37 gr pada tahun 2018 menjadi 58,28 gr perkapita perhari pada 2019. Konsumsi perkapita untuk kedua jenis asupan sebagaimana disebutkan adalah kondisi sebelum pandemi Covid-19, yang terlihat sudah mulai terkoreksi, bahkan untuk konsumsi kalori berada sedikit dibawah standard kecukupan yang dianjurkan. Hal yang berbeda terlihat antara pola konsumsi di pedesaan (urban) dibandingkan dengan perkotaan (rural). Rata-rata konsumsi kalori di pedesaan tercatat lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, masyarakat pedesaan mengkonsumsi 2.111,75 kkal perkapita sedangkan perkotaan hanya sebesar 2.034,22 kkal setiap harinya. Sedangkan untuk konsumsi protein terlihat bahwa masyarakat perkotaan lebih tinggi daripada konsumsi protein pedesaan, dimana perkotaan mengkonsumsi 60,80 gr perkapita sementara masyarakat pedesaan hanya mengkonsumsi 57,04 gr. Perbedaan pola konsumsi perkotaan dan pedesaan serta perubahan pola konsumsi masyrakat yang mengakibatkan perubahan besaran angka dari periode sebelumnya, ditengarai sebagai akibat kecederungan peningkatan konsumsi makanan/minuman jadi dan menurunnya konsumsi komoditi padi-padian.
Pada awal pandemi negara hadir memastikan nadi perekonomian terus berdenyut, kini negara pun harus hadir mencukupkan kebutuhan masyarakat agar nadi kehidupan terus berlanjut. Beberapa yang sudah terlihat lewat geliat aparat, menjanjikan kepastian hadirnya negara dalam niat yang kuat. Sebagai umat yang percaya akan munculnya perbuatan karena adanya niat, maka berprasangka baik akan ketulusan niat adalah hal yang mutlak. Bukan cerita baru kalo sebagian orang percaya bahwa bukan cuma karena ada niat maka sesuatu itu terjadi, melainkan bisa jadi karena ada kesempatan. Namun alangkah “terlalu” jika ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sepakatlah untuk meyakini bahwa yang melakukan hal seperti itu bukanlah apa yang kita yakini sebagai apa yang kita sebut sebagai negara. Negara lah yang akan mencukupkan karena negara lah yang menganjurkan.
Selama lebih dari sebulan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah, kita yakin, banyak perubahan telah kita lakukan. Berubah adalah cara alamiah setiap makhuk beradaptasi untuk bertahan hidup. Ketika keinginan keluar tidak dimungkinkan karena upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, maka melihat ke dalam menjadi lebih relevan. Dalam ruang-ruang sempit yang membatasi, keluasan jelajah ke dalam masih sangat dimungkinkan. Sebulan terakhir, pengenalan kita pada hal-hal yang dekat yang selama ini kita abaikan justru makin baik. Kita makin mengenal lingkungan sekitar, makin mengenal sudut-sudut tempat tinggal, makin mengenal anggota keluarga, makin mengenal anak-anak atau pasangan, dan makin mengenal diri kita sendiri. Mendapati semua ini, mungkin kita teringat "kemewahan" yang dirancang mereka yang sehari-hari sibuk untuk retret atau menarik diri dari keramaian beberapa hari untuk lebih mengenali diri sendiri. Aktivitas yang belakangan terkenal dengan mindfulness juga berpotensi menaikkan imunitas tubuh. Karena situasi pandemi yang memaksa, sebagian dari kita mendapatkan "kemewahan" mindfulness ini secara massal (editorial kompas).
Jangka waktu yang panjang dan nyaris tanpa kepastian terkait pandemi ini menjadi tantangan yang tidak mudah. Bagaimana bersiasat dengan bosan ? Pertanyaan ini mewakili pertanyaan semua orang. Beruntung kita dan terutama anak-anak kita mendapati pengalaman ini: Pengalaman bosan yang panjang dalam situasi tidak pasti. Secara mental, situasi ini akan membentuk siasat yang baik untuk bekal kehidupan mendatang. Dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi ideal sekali pun, kita akan menghadapi rasa bosan. Kemampaun mengelola kebosanan yang dilatihkan oleh pengalaman hidup akan menjadi kecakapan hidup yang bermanfaat. Kecakapan atau kemampuan mengelola kebosanan yang kerap disertai kekecewaan adalah awal dari tumbuhnya benih-benih kesetiaan. Sebuah nilai yang sangat dibutuhkan dalam hidup, meskipun kerap jadi bahan tertawaan. Apa jadinya kalau kita cepat bosan dan tidak memiliki kecakapan merawat kesetiaan? Terhadap janji-janji, terhadap ritual keagamaan, terhadap pekerjaan, terhadap persahabatan, atau bahkan terhadap pasangan. Di ruang-ruang sempit, di dalam diri kita, selama lebih dari sebulan ini, kecakapan ini tengah dilatihkan oleh semesta.
Semoga negara pun tidak bosan mencukupkan apa yang kita perlukan, tidak lelah menyediakan kebutuhan, dan tidak lalai menepati janji pada negeri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...