Wacana impor beras yang belakangan digagas pemerintah menuai kontroversi
para pemerhati, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi pertanian. Tanda
tanya muncul ketika BPS memperkirakan bahwa produksi padi justru akan mencapai
puncak pada periode sub round pertama tahun ini. Perkiraan masa puncak panen
raya padi memang relatif hampir bersamaan di sebagian besar sentra produksi
padi, tentu dengan catatan jika tidak ada serangan hama atau bencana alam yg
melanda. Sehingga secara nasional produksi beras diperkirakan dapat mencukupi
kebutuhan pangan. Namun demikian spasial data dalam rilis berita resmi
statistik memberikan gambaran bahwa tingkat kecukupan penyediaan beras untuk konsumsi
yang bersumber dari produksi lokal, berbeda-beda antar wilayah. Sepanjang tahun
2020 beberapa wilayah bisa dikatakan surplus, sementara beberapa wilayah lain
mengalami defisit. Suatu wilayah dikatakan surplus jika produksi nya lebih
besar dibanding kebutuhan untuk konsumsi, sebaliknya dikatakan defisit ketika
kebutuhan konsumsi lebih tinggi daripada produksi. Kalkulasi nasional yang
masih surplus sebenarnya masih bisa menjamin ketercukupan kebutuhan beberapa
wilayah yang defisit, dengan pendistribusian antar wilayah secara proporsional.
Bengkulu merupakan salah satu provinsi yang termasuk sebagai wilayah
terkategori defisit dalam hal ini. Dengan luasan panen sebesar 64.137 hektar
pada 2020, Bengkulu mampu menghasilkan 292.834 ton gabah kering giling (GKG).
Jika dikonversikan ke beras, akan setara dengan 167.793 ton beras. Sementara
konsumsi perkapita penduduk yang berkisar 78,27 kg per tahun mengkalkulasi
perkiraan kebutuhan beras tahun 2020 sebesar 196.944 ton. Terdapat selisih
sebesar 29.150 ton yang mengindikasikan adanya defisit penyediaan beras dari
produksi lokal. Hal ini yang bisa menimbulkan terjadinya proses impor ke
wilayah Bengkulu, tentu masih dalam konteks perdagangan antar wilayah. Defisit
beras bukanlah kali pertama terjadi untuk wilayah Bengkulu, tahun sebelumnya
(2019) nilai defisit mencapai angka 25.981 ton, lebih rendah dibanding tahun
2020. Jangan pula serta merta mengatakan pandemi sebagai penyebab meningkatnya
defisit.
Beras hanyalah salah satu komoditi dari sejumlah komoditas pangan yang
diwacanakan akan diimpor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Istilah “konversi”
yang disebutkan dalam memperkirakan ketersediaan beras lokal merupakan sejurus
pemaksaan matematis dalam kalkulasi. GKG seolah dipaksa digiling dan disosoh
menjadi beras dalam perhitungan dengan sebuah konstanta konversi, walaupun pada
kenyataannya belum tentu terjadi proses penggilingan dan penyosohan terhadap
seluruh padi dalam periode tersebut. Satu hal lagi yang perlu diingat adalah
jika pun seluruh GKG memang telah menjadi beras, belumlah tentu konsumen akan
serta merta bisa menemukannya di pasar dan segera menanaknya menjadi nasi. Maka
konsepsi surplus pun menjadi suatu hal yang masih perlu diperdebatkan jika akan
dihubungkan dengan stabilitas harga. Sekali lagi tidak hanya beras, komoditas
pangan apapun akan sama halnya. Satu contoh lagi ketika dikatakan bahwa dari
data jumlah ternak sapi dikalkulasi per ekor nya akan menghasilkan rata-rata
sekian kilogram daging, lantas dikatakan produksi daging sapi akan bisa
mencukupi kebutuhan daging. Hanya harimau dan sejenisnya yang bisa melihat sapi
sebagai santapan siap saji, itu pun jika terletak dalam jangkauan penerkaman.
Betapa pentingnya sektor pertanian dalam konteks ketahanan pangan
menjadikannya wajib mewarnai corak perekonomian suatu negara. Kegagalan perang
yang dialami beberapa negara antara lain tercatat dalam sejarah karena logistik
pangan yang tidak mencukupi. Kinerja perekonomian dalam jangka panjang akan
merubah corak perekonomian sebuah wilayah. Perubahan corak perekonomian suatu
wilayah secara teoritis akan bergerak dari apa yg biasa disebut sebagai perekonomian
tradisional ke modern, dari agraris ke non agraris, dari primer ke skunder,
atau berbagai istilah lain yang senada. Suatu wilayah/region akan mengalami transformasi
struktural baik secara alamiah ataupun atas adanya suatu rekayasa kebijakan
yang mengarah pada capaian tertentu.
Proses transformai struktural setidaknya ditandai oleh perubahan struktur
ekonomi dan struktur tenaga kerja. Sistem neraca nasional (system national
account) yang kini dipakai, membagi klasifikasi lapangan usaha pada nilai
produk domestik bruto (PDB) kedalam beberapa kategori, dalam rilis berita resmi
statistik (BPS) setidaknya ditampilkan 17 kategori, sebelumnya biasa dikemas
dalam 9 sektor lapangan usaha. Walaupun berbeda jumlah klasifikasi kategori
lapangan usaha, namun tata urutan penyajiannya tetaplah bermula dari kelompok
sektor primer (agriculture) kemudian kelompok sektor skunder (manufacture)
dan ditutup oleh sektor tersier (service). Tata urutan inilah yang
menjadi titik awal sebuah perekonomian mulai bertransformasi dalam jangka
panjang.
Pada awalnya pangsa sektor primer selalu lebih besar dari sektor sekunder
dan seterusnya tersier, ketika sebuah perekonomian dikatakan masih tradisional.
Besaran pangsa masing-masing kategori lapangan usaha dalam jangka pendek mungkin
cenderung bersifat konstan, tapi perlahan berubah mengikuti arah transformasi.Transformasi
struktural juga ditandai oleh perubahan struktur penggunaan tenaga kerja dalam
perekonomian. Hal ini terkait dengan daya serap masing-masing sektor ekonomi yang idealnya sejalan dengan perubahan
struktur ekonomi.
Menelisik data terakhir (2020), sektor pertanian masih menunjukkan kinerja
yang lebih baik dibanding sektor lain disaat pandemi membayang-bayangi. Pada skala
nasional, pangsa sektor ini bahkan meningkat sekitar 1 persen dari tahun -tahun
sebelumnya dari kisaran 13 persen menjadi 14 persen dalam pembentukan PDB.
Peningkatan pangsa sektor pertanian merambat lurus pada hampir semua pergeseran
pangsa sektor lain yang menyebabkan penurunan pangsa sektor lain secara merata.
Sementara itu, pangsa tenaga kerja sektor pertanian di level nasional meningkat
2 persen dari tahun-tahun sebelumnya dari kisaran 28 persen menjadi 30 persen.
Sektor ini terpaksa menyerap tenaga kerja lebih dari 2 kali lipat kontribusi
nilai tambahnya dalam pembentukan PDB. Pola pergeseran pangsa tenaga kerja
tidak sama halnya dengan pergeseran pangsa nilai tambah bruto. Penurunan pangsa
tenaga kerja terjadi pada sektor-sektor sekunder/manufaktur, sedangankan pada
sektor-sektor tersier/jasa sedikit mengalami kenaikan.
Potret data yang sama untuk Bengkulu, menunjukkan bahwa sektor pertanian
memberikan kontribusi sebesar 28,36 persen pada pembentukan PDRB tahun 2020,
sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2019 (28,17 persen) namun lebih rendah
dari tahun 2018 (28,66 persen). Dengan kata lain sebenarnya bisa dikatakan
kontribusi sektor ini relatif konstan. Hal senada juga terjadi pada
sektor-sektor yang lain, atau secara umum dapat juga dikatakan bahwa
tidak/belum terjadi transformasi struktur ekonomi dalam kurun waktu tiga tahun
tersebut.
Bagaimana dengan tenaga kerja ? Pangsa tenaga kerja sektor pertanian tercatat
sebesar 46,88 persen di tahun 2020, sebuah angka yang menggambarkan dominasi
penggunaan tenaga kerja. Angka ini meningkat lebih dari 2 persen dibanding
kondisi 2019 (44,65 persen), namun turun lebih dari 3 persen dibanding tahun
2018 (49,98 persen). Jika pada 2019 (sebelum pandemi) sektor pertanian terpaksa
menyerap tenaga kerja 1,58 kali kontribusi nilai tambah nya dan ini lebih kecil
dari tahun sebelumnya (1,74 kali), pandemi mengakibatkan sektor pertanian
dipaksa kembali meningkatkan penyerapan tenaga kerja menjadi 1,65 kali dari
pangsa PDRB nya.
Sektor perdagangan merupakan sektor dengan kontribusi PDRB terbesar
berikutnya yang juga terpaksa menyerap tenaga kerja lebih besar dari
kemampuannya menyumbangkan nilai tambah. Dengan kontribusi PDRB sekitar 14
persen, sektor ini memiliki pangsa tenaga kerja sekitar 16 persen. Kontribusi
kedua sektor ini (pertanian & perdagangan) dalam penyerapan tenaga kerja
mencapai lebih dari 63 persen namun hanya membentuk nilai tambah sekitar 43
persen. Catatan khusus untuk sektor pertanian pada masa pandemi adalah bahwa
terjadinya peningkatan pangsa tenaga kerja tidak menyebabkan peningkatan pada
pangsa PDRB walaupun laju pertumbuhannya menunjukkan tren positif (0,38
persen).
Beberapa pemerhati mengatakan bahwa pandemi memperlihatkan betapa
tangguhnya sektor pertanian. Tetap tumbuh positif ketika yang lain mengalami
kontraksi. Pandemi membuat proses transformasi struktural menjadi terhambat
bahkan mungkin membuatnya berbalik arah. Jika demikian halnya, yang patut menjadi
pertanyaan adalah apakah benar sektor pertanian telah teruji ketangguhannya oleh
pandemi ? Atau sebenarnya semata hanya tempat pelarian ? Bukan makan namanya
kalo belum ketemu nasi, catatan ini hanyalah sebuah kalkulasi.
https://www.bengkulutoday.com/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras
https://www.wartaprima.com/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras
https://bengkulu.siberindo.co/20/03/2021/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras/
https://hwnews.id/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras/