Dapur harus tetap berasap dan jangan sampai periuk nasi terguling.
ungkapan pepatah tua seperti ini menjadi alasan mengapa seolah awam abai akan
anjuran untuk berdiam dirumah saja selama masa pandemi. Bagi sebagian besar
orang, melakukan aktivitas kegiatan untuk menghasilkan pendapatan memang tidak
mesti keluar rumah, namun bagi sebagian (besar) yang lain terkadang tidak ada
jalan lain selain harus keluar rumah. Berharap akan bantuan sosial dari
pemerintah ataupun donatur lain diluar pemerintah sepertinya pun belum menjamin
dapur akan tetap berasap. Ketidakhadiran ditempat seseorang biasa melakukan
aktivitas ekonomi, entah itu di perkantoran, di pusat perbelanjaan, di
persawahan/perkebunan dan atau di lokasi lokasi lainnya, bisa saja
menggulingkan periuk nasi. Seberapa banyak yang masih memakai periuk untuk
menanak nasi, atau seberapa banyak rumah yang dapurnya masih berasap jika
memasak? Pertanyaan ini tentu tidak ditujukan untuk menemui jawaban bahwa modernisasi
sudah membuat pertanyaan tersebut menjadi tidak relevan lagi dimasa kini. Justru
merelevansikan pertanyaan yang berawal dari ungkapan pepatah tua diawal tadi
harus dilakukan saat ini bahkan sampai nanti ketika tujuan bernegara sudah
benar benar mewujud.
Pandemi yang masih menggelayuti negeri ini memaksa pemerintah menerapkan Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), di beberapa region bahkan dalam konsep
kedaruratan. Tidak cukup dengan Jawa-Bali pengetatan PPKM pun diberlakukan pada
43 kota non Jawa-Bali lainnya. “New normal” yang digaungkan beberapa waktu lalu
sempat memberikan angin segar akan bangkitya kondisi perekonomian. Beberapa
indikator makro ekonomi memang memperlihatkan indikasi demikian, namun situasi
belakangan seakan memupus harapan tersebut.
Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan bahwa pariwisata menjadi sektor yang paling
terdampak wabah pandemi Covid-19 sehingga diperlukan gercep, geber, dan gaspol. “Gercep” menurut Sandiaga adalah bergerak cepat,
sementara “geber” adalah bergerak bersama-sama, memanfaatkan semua potensi
untuk membangkitkan dan mempertahankan industri pariwisata. Sementara “gaspol”
adalah menggarap semua potensi lapangan pekerjaan yang ada. Menyadari akan perlu
adanya pemulihan yang seimbang dan simultan antara kesehatan dan persiapan
bangkitnya ekonomi pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai bagian dari pilar
ekonomi untuk melanjutkan ekonomi nasional, maka sudah sepatutnya mendorong
seluruh pelaku pariwisata melakukan adaptasi dengan memenuhi syarat protokol Cleanliness,
Healthy, Safety and Environmental Sustainability (CHSE) atau memenuhi dari
segi Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan dan Keberlanjutan Lingkungan (K4).
Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan seluruh aktivitas pariwisata hingga
mati suri. Sekalipun semua orang ingin traveling, kesehatan diri dan
keluarga jadi prioritas tertinggi saat ini. Maka, tetap tinggal di rumah jadi
pilihan terbaik. Hal itu berdampak pada penurunan pendapatan sektor pariwisata
secara global, termasuk Indonesia. Penerbangan dibatasi, hotel-hotel tidak
terisi, hingga berbagai tempat wisata sepi pengunjung. Sebagai salah satu daerah potensi tujuan wisata,
dampak pandemi mulai terasa di Bengkulu sejak awal triwulan kedua tahun 2020,
pasca pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa virus Corona Wuhan telah
menjangkiti 2 warga Indonesia pada maret.
Amatan rutin yang selalu dirilis oleh BPS pada tiap awal bulan terkait
dengan indikator kepariwisataan antara lain adalah data transportasi dalam moda
angkutan udara. Jumlah penumpang pesawat yang tercatat menggunakan moda
angkutan ini melalui bandara Fatmawati baik “dari” (berangkat) maupun “ke”
(datang) mulai menurun pada awal kuartal kedua 2020. Jika pada kondisi normal
tahun sebelumnya (2019) total penumpang berkisar antara 52 ribu sampai 74 ribu
orang setiap bulannya, sejak pandemi angka nya tidak lebih dari 10 ribu orang
perbulan pada triwulan kedua 2020. Angka tersebut bergerak naik pada triwulan
ketiga hingga mencapai kisaran 20 ribuan penumpang setiap bulan. Seiring
penerapan kondisi “New Normal”, jumlah penumpang pada triwulan penghujung 2020
sepertinya mengindikasikan sebuah besaran “rataan baru” jumlah penumpang
pesawat di bandara Fatmawati dengan kisaran 30 ribuan orang setiap bulannya.
Sampai pertengahan tahun ini rataan penumpang perbulan tercatat masih di
kisaran 30 ribuan orang. Sejauh ini sepertinya langkah mengejar normal untuk
kondisi penerbangan baru mampu menggapai setengah.
Indikator kepariwisataan lain yang juga dirilis rutin setiap bulan adalah
data hunian hotel berbintang. Seirama dengan data penerbangan, kondisi hunian
hotel tahun 2019 sampai triwualn pertama 2020 berada pada kisaran 46-69 persen
setiap bulannya. Kondisi hunian hotel memburuk ditriwulan kedua 2020 dengan
kisaran hanya 14-21 persen perbulan dan sedikit merangkak menjadi 40 persen
perbulan pada triwulan ketiga. Tingkat hunian memuncak di triwulan keempat
dengan capaian 45-50 persen setiap bulannya. Langkah mengejar normal untuk
hunian hotel sepertinya terkondisikan stagnan pada kisaran 32-38 persen saja
sebagaimana tercermin dari data amatan sampai dengan pertengahan tahun 2021.
Sepertinya indikator tingkat hunian hotel ini pun baru mampu menggapai setengah
dari kondisi normal.
Bagaimana kondisi kedepan, apakah kepariwisatan akan mampu bertahan? Berpikir
positif di tengah masa sulit tak selalu mudah. Namun, adaptasi dan fleksibilitas
adalah kunci utama yang harus dipegang siapa saja yang berkecimpung dalam
industri hospitality & tourism. Bagaimanapun juga, perubahan adalah
satu-satunya hal yang terus terjadi di dunia. mengubah strategi untuk bisa
bertahan di masa pandemi jadi langkah realistis yang bisa dilakukan penggiat
pariwisata. Masih ada harapan untuk masa depan pariwisata setelah pandemi. Hal
yang terpenting dilakukan saat ini adalah fokus pada pengendalian pandemi
secara agresif: tes, tracing, isolasi, dan perawatan pasien. Pemulihan ekonomi
akan mudah dilakukan kemudian ketika jumlah kasus melandai dan menunjukkan tren
positif.
Dua indikator kepariwisataan yang dikemukakan mungkin tidak sepenuhnya merepresentasi kondisi yang mampu memprediksi situasi kedepan. Walaupun tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan situasi, setidaknya menuju setengah upaya menggugah rasa. Rasa untuk selalu berpikir analitik yang kelak meriap menjadi candu. Kecanduan positif tentunya, bukan sebaliknya. Melepaskan diri dari candu merupakan salah satu cara membawa hidup lebih bahagia, tenang dan bijaksana. Apa candumu? Apakah berita, media sosial, atau grup percakapan berbaris-baris yang menghadirkan kepanikan, ketakutan dan perasaan tidak tenang? Menghentikan kecanduan akan hal-hal yang menghadirkan kepanikan, ketakutan dan perasaan tidak tenang akan menyelematkan Temukan dan lakukan langkah konkret agar hidup lebih bahagia, tenang dan bijaksana. Berharap menggelorakan semangat bertarung untuk selalu menggenapkan langkah, jangan cuma setengah. Semoga pandemi yang menjadi sandungan tidak membuat jatuh terjerembab.
https://www.garudadaily.com/sandungan-langkah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar