Jumat, 27 Februari 2015

"dikutip", terimakasih !


Ekonomi Jambi Tumbuh 9,1 %, Tertinggi Se-Sumatera, oleh Vitri Andani

Penentuan Indeks Demokrasi Jambi 2009 - 2013, oleh Kasang Dalam

Pertanian Serap Tenaga Kerja Terbesar, oleh Berita3


Jumat, 20 Februari 2015

Petani : Miskin Multi Dimensi

Pengusahaan tanaman perkebunan kian menjadi primadona sektor pertanian di Provinsi Jambi. Hasil sensus pertanian terakhir menyebutkan 68,95 persen rumah tangga pertanian masih mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor perkebunan. Sementara 13,60 persen rumah tangga pertanian justru mengandalkan sumber pendapatan dari non pertanian dan sisanya (di bawah 10 persen) ditopang pertanian lain selain perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi menyebutkan terdapat beberapa jenis tanaman perkebunan unggulan. Tanaman tersebut antara lain adalah karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kayu manis, pinang dan nilam termasuk juga teh yang dikelola oleh PTPN-VI. Dari sisi luas areal, tanaman yang mengalami peningkatan adalah kelapa sawit dan karet, sedangkan tanaman unggulan lainnya cenderung mengalami penyusutan.
Jika dilihat dari sisi luasan areal tanaman menghasilkan (TM), kelapa sawit adalah tanaman perkebunan unggulan yang luas areal TM-nya terus bertambah. Pertambahan luas areal TM juga terjadi pada tanaman karet yang menunjukkan adanya kegiatan peremajaan. Fluktuasi terjadi pada pertambahan luas areal TM kelapa, kayu manis maupun kopi. Kopi menunjukkan kecenderungan menurun, sementara kayu manis dan  kelapa cenderung meningkat. Sementara jika dilihat dari sisi produksi, kelapa sawit, kopi dan kayu manis merupakan tiga jenis tanaman yang mengalami pertumbuhan produksi cukup pesat. Kontribusi subsektor perkebunan dalam pembentukan nilai tambah bruto sektor pertanian meningkat dari 39,88 persen di tahun 2003 menjadi lebih dari 55,25 persen pada tahun 2013.
Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi mendapatkan upah sebagai balas jasa. Meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB masih merupakan yang terbesar namun penumpukan tenaga kerja yang terjadi mencerminkan tingkat produktivitasnya yang relatif rendah. Sektor pertanian yang sudah semakin kecil peranan relatifnya dalam pembentukan PDRB masih harus menampung sebagian besar tenaga kerja. Kondisi ini kemungkinan justru dipicu oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang menjadikannya fleksibel sebagai penampung tenaga kerja yang kurang mampu bersaing untuk masuk ke dalam pasar kerja di sektor lain.  Pertanian menampung sebagian besar angkatan kerja yang bekerja. Lebih dari 50 persen angkatan kerja, bekerja diberbagai subsektor dalam sektor pertanian. Karakteristik sektor pertanian yang sangat mudah untuk dimasuki oleh pekerja menjadikannya sebagai wadah terbesar tenaga kerja. Tidak mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi,  tidak butuh keahlian khusus, responsif terhadap gender dan menyediakan kapasitas besar, merupakan faktor penyebab sektor pertanian masih menjadi andalan penggerak perekonomian.
Pendapatan dari sektor pertanian harus mencukupi kebutuhan hidup petani, sehingga keberlangsungan produksi pertanian dapat dipertahankan. Apabila pendapatan yang diterima rumah tangga usaha pertanian jauh dari yang mereka harapkan maka akan ada kemungkinan mereka mencari sumber pendapatan dari sektor lain yang mengakibatkan terhentinya produksi dan menurunnya pertumbuhan pertanian. 
Tingkat kecukupan pendapatan rumah tangga usaha pertanian di provinsi Jambi dari hasil Survey Pendapatan Petani berada di level yang bagus, hal tersebut dapat dilihat dari angka tingkat kecukupan yang mencapai lebih dari 50 persen. 73,24 persen rumah tangga usaha pertanian berada pada level cukup, 18,42 persen di level kurang (rumah tangga usaha pertanian merasa kurang apabila mereka menggantungkan sumber pendapatan dari pertanian saja), sedangkan sisanya masuk kategori lebih dari cukup. Petani seringkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang identik dengan kemiskinan. 
Kemiskinan telah dipahami sebagai salah satu persoalaan mendasar yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah di setiap negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan akan sangat bergantung kepada berbagai aspek, salah satunya adalah data kemiskinan yang akurat serta mampu memfasilitasi perbandingan antar waktu dan wilayah. Begitu luasnya dimensi kemiskinan, namun terbukti sulit sekali mengembangkan pengukuran yang dapat menangkap multidimensionalitas ini.
Perkembangan pengukuran kemiskinan sebenarnya mulai mengalami pergeseran yang cukup berarti, hal ini ditandai dengan adanya analisis Human Development Report (HDR) yang dikembangkan oleh United National Development Program (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI). Sejak tahun 2010, UNDP dan OPHI menyepakati sebuah inisiasi pengukuran kemiskinan baru melalui Indeks Kemiskinan Multidimensi (multidimensional poverty index) yang dimuat dalam HDR 2010. Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) melihat struktur kemiskinan lebih luas, bukan sekedar pendapatan atau konsumsi tapi mendefiniskan secara multidimensi seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup. (IKM) mengukur kekurangan (deprivation) setiap individu ke dalam 3 dimensi yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup.
Rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi yang terkategori miskin multidimensi mencapai 15,59 persen diikuti 22,55 persen rentan untuk menjadi miskin multidimensi. Khusus di subsektor perkebunan yang katanya menjadi andalan pertanian Jambi, terdapat 15,44 persen rumah tangga tergolong miskin multidimensi dan 22,94 persen rentan miskin. Rumah tangga pertanian yang mengandalkan subsektor pertanian lain selain perkebunan dipastikan mengalami kerentanan lebih tinggi untuk menjadi miskin multidimensi. Demikian hasil survey yang dilakukan BPS dalam rangkaian kegiatan Sensus Pertanian.
Kerentanan suatu rumah tangga pertanian menjadi semakin mengkhawatirkan jika melihat Nilai Tukar Petani (NTP) yang tidak terlalu menjanjikan. Sebagai sebuah ratio antara suatu nilai yang “diterima” dengan yang harus “dibayar” oleh petani maka setidaknya bernilai diatas 100 dalam skala indeks. Meskipun bukan sebuah indikator yang tepat untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan petani, NTP yang cenderung rendah (dibawah nilai100: lihat Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi Jambi) akan menggerus proporsi rumahtangga pertanian dengan tingkat kecukupan pendapatan yang berada di level cukup baik. Jika ini terus berlanjut maka bukan tidak mugkin rumah tangga yang rentan miskin akan menjadi rumah tangga pertanian miskin secara multi dimensi. 
Kapasitas adopsi teknologi oleh petani yang relatif rendah (baik secara teknis maupun terlebih lagi secara ekonomi) merupakan ganjalan yang paling sering dihadapi dalam proses difusi teknologi. Kegiatan budidaya pertanian adalah kegiatan bisnis. Petani harus dilihat sebagai pebisnis. Keuntungan finansial merupakan unsur yang efektif memotivasi petani untuk meningkatkan kinerja. Dengan demikian maka pengelolaan agroekosistem pertanian hanya akan berhasil jika kesejahteraan petani merupakan bagian utama dari skenario besarnya.
Walaupun beberapa pihak menyatakan kita telah mencapai kembali status swasembada pangan, namun kesejahteraan petani tanaman pangan pokok tidak menjadi lebih baik. Keberlanjutan upaya pencapaian swasembada pangan akan sangat rapuh jika pengabaian upaya menyejahterakan petani tetap berlanjut. Gejala ini sudah mulai menampakkan diri misalnya minat tenaga kerja untuk berkiprah di sub sektor tanaman pangan semakin menurun. Minat lulusan sekolah menengah atas untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di bidang ilmu pertanian juga semakin merosot. Maknanya dalam jangka panjang akan sulit mencari para aktor pelaku produksi pertanian, tanaman pangan khususnya. 
dimuat dalam OPINI harian Jambi Independent, Senin 16 February 2015

Senin, 02 Februari 2015

Petani Takut Kekurangan Pangan ?

Perang dalam arti sebenarnya memang tidak sedang terjadi di negeri ini. Tetapi dalam beberapa hari belakangan kita mendengar bahwa presiden sebagai kepala negara telah menugaskan kekuatan militer negeri ini untuk menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat, bagaikan menyiapkan logistik untuk berperang. Pada masa perang dunia, bahan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan logistik militer. Ketahanan pangan pada masa itu (dan harusnya sepanjang masa) sangat erat kaitannya dengan ketahanan negara. Sebegitu menghawatirkankah kondisi pangan kita saat ini sehingga prajurit pun harus menjadi garda terdepan dalam menggapai swasembada pangan (baca: “beras”) ?
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan terkait dengan ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan di masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan distribusi, kelangkaan bahan bakar, ketidakstabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya.
Keadaan iklim yang terus berubah dan pemanasan global sangat memengaruhi produksi pangan dalam negeri. Sementara persaingan di bidang pangan untuk konsumsi merupakan faktor yang menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian produksi, seperti adanya gagal panen. Selain itu, kerawanan pangan transien pun semakin besar. Kelangkaan dan kompetisi pemanfaatan sumber daya (lahan dan air) pun terus berlanjut, mengakibatkan produksi pangan semakin sulit. Meskipun urbanisasi berlangsung cepat, lebih dari dua pertiga penduduk tinggal di pedesaan, setengahnya terdiri dari petani skala kecil yang bekerja sebagai buruh pertanian. Para petani sangat dipengaruhi kerawanan pangan karena sebagian besar petani ini juga pembeli pangan. Dengan demikian, kenaikan harga pangan secara langsung memperburuk ketahanan pangan mereka.
Fenomena tersebut terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk Jambi dan hal tersebut menyebabkan munculnya kekhawatiran akan kekurangan pangan. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Jambi dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,1% menjadi salah satu tantangan utama dalam permasalahan pangan. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi tidak diikuti dengan pertumbuhan pangan yang mencukupi akan menyebabkan kekhawatiran tersendiri mengenai ketersediaan pangan.
Ketahanan pangan sangat tergantung pada beberapa hal yaitu ketersediaan, distribusi, akses, pemanfaatan dan stabilitas. World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.
Jika menilik hasil Survey Pendapatan Petani untuk dimensi ketersediaan pangan, terlihat bahwa 10,58 persen rumah tangga di Provinsi Jambi yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama tidak mempunyai cukup persediaan pangan. Rumah tangga tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan selama setahun yang lalu Bahkan 3,81 persen rumah tangga mengalami kekurangan pangan, dimana kondisi rumah tangga tidak mampu mengkonsumsi makanan sesuai kebiasaannya atau tidak mampu mempertahankan pola makan normal setiap saat selama periode setahun yang lalu dan merubah pola makan secara terpaksa. Sebanyak 24,11 persen rumah tangga merasa takut kekurangan pangan yang menunjukkan adanya rasa ketakutan akan kekurangan pangan untuk satu tahun ke depan. Proposi rumah tangga yang merasa takut akan kekurangan pangan dikalangan petani yang menjadikan subsektor tanaman pangan sebagai sumber pendapatan utama bahkan jauh lebih tinggi, mencapai 51,66 persen. Berbeda dengan petani di subsektor perkebunan (kontributor utama pertanian Jambi), rasa takut kekurangan pangan hanya melanda sekitar 18,86 persen rumah tangga.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin saja mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keberagaman pangan. Meskipun 53,22 persen rumah tangga pertanian mendiami daerah (kecamatan) yang tidak memproduksi pangan namun hanya 3,22 persen saja yang merasa kesulitan menjangkau lokasi pembelian dan hanya 19,24 persen yang menyatakan harga pembelian lebih tinggi.  Di subsektor perkebunan sebagian besar rumah tangga harus mengakses pangan dari luar daerah karena bahan pangan  tidak diproduksi di kecamatan tersebut. Ketersediaan yang cukup di suatu wilayah belum tentu menggambarkan wilayah tersebut bebas kerawanan pangan. Sebagian besar rumah tangga pertanian tidak mengalami kesulitan menjangkau lokasi pembelian pangan. Ketersediaan pangan yang cukup, lokasi pembelian yang mudah dijangkau tetapi harga pembelian pangan tinggi akan dapat menyebabkan kerawanan pangan. Indikator ini menunjukkan keterjangkauan terhadap kondisi ekonomi rumah tangga. Rumah tangga dengan kondisi ekonomi yang baik akan memudahkan mendapatkan pangan walaupun dengan harga yang tinggi. Kelompok rumah tangga terbesar yang menyatakan harga pembelian tinggi adalah kelompok rumah tangga subsektor jasa pertanian. Bagi rumah tangga yang kondisi ekonominya rendah, harga yang cukup tinggi akan menyulitkan rumah tangga untuk membeli kebutuhan hidupnya.
Dimensi pemanfaatan pangan yang dinilai oleh kecukupan asupan untuk melihat status kesehatan dan kualitas air menunjukkan keadaan yang cukup baik. Dari aspek kesehatan terlihat tidak ada balita yang kurang gizi pada rumah tangga subsektor peternakan, subsektor perikanan dan subsektor jasa pertanian. De mikian pula tidak ada balita yang meninggal karena sakit pada rumah tangga subsektor peternakan, subsektor kehutanan dan subsektor jasa pertanian.
Hasil penghitungan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang didekati dengan melakukan scoring pada indikator-indikator penyusunnya, yang termasuk dalam dimensi ketersediaan pangan, dimensi keterjangkauan pangan dan dimensi pemanfaatan pangan menghasilkan nilai indeks untuk Provinsi Jambi sebesar 78,21 dan berada pada peringkat 18 dari seluruh provinsi di Indonesia. Indeks tersebut masuk dalam kriteria cukup, berarti bahwa ketahanan pangan rata-rata rumah tangga di Provinsi Jambi adalah cukup baik.
Ketahanan pangan di masing-masing kabupaten/kota juga cukup baik, bahkan dua kab/kota mendapat kriteria tinggi yang berarti ketahanan pangan di dua kabupaten/kota ini sangat baik. Dua kabupaten/kota dengan kriteria tinggi di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Kerinci dengan IKP sebesar 84,12 dan Kota Sungai Penuh dengan IKP sebesar 83,46. Sedangkan sembilan kabupaten/kota yang lain mendapat kriteria cukup, dengan kisaran IKP antara 75,40 sampai dengan 80,79 dengan IKP terendah di Kabupaten Tebo namun masih terkategori cukup baik.
Lantas mengapa petani pun masih merasa takut ? Jika petani saja takut, apatah kita yang bukan petani tidak merasa jauh lebih takut ? Terkadang kita lupa bahwa uang bukanlah segalanya ketika sesuatu yang mau kita beli tidak tersedia dipasar. Petani ataupun bukan petani, kita masih tetap butuh pangan. Mari kita nantikan hasil perjuangan para prajurit yang mengemban misi mempertahankan kedaulatan pangan. Kalo misi telah diemban pantang surut kebelakang. Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas, demikian semboyan mereka, yang sangat membanggakan kita.  publish@jambiupdate.com 
dimuat dalam OPINI harian Jambi Ekspres, Sabtu 31 Januari 2015

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...