Rabu, 11 Maret 2015

Bisakah Jambi Lebih Baik (lagi) ?

Tidak ada yang tidak mugkin untuk dapat terjadi jika Yang Maha Kuasa menghendaki. Tetapi jika “penguasa” yang menghendaki tentulah belum pasti terjadi. Suksesi kepemimpinan Negeri Jambi menyanyikan tema perbaikan negeri dengan mengusung janji menjadi lebih baik. Lagu para calon pemimpin yang terdengar relatif senada, meskipun belum dapat dipastikan apakah syairnya menyiratkan kesungguhan atau hanya kepura-puraan.
Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh BPS tentang kinerja perekonomian Provinsi Jambi mengatakan bahwa ekonomi Jambi tumbuh sebesar 7,9 persen pada tahun 2014, sebuah pencapaian yang cukup fantastis untuk sebuah perekonomian. Bahkan secara eksplisit disebutkan sebagai sebuah kinerja positif yang terus terjaga dalam kurun lima tahun terakhir (sub judul BRS BPS Provinsi Jambi, No.11/02/15/Th.IX). Jika ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah baik, pertanyaan yang sama dengan judul tulisan ini patut diulangi, bisakah Jambi lebih baik (lagi) ?
Kinerja perekonomian yang diukur dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setidaknya bisa dikupas lebih dalam menurut masing-masing komponen penyusunnya. PDRB dapat dihitung melalui 3 pendekatan; pendekatan produksi (production approach), pendekatan pengeluaran (expenditure approach), dan pendekatan pendapatan (income approach). Mulai tahun ini BPS merilis hasil perhitungan PDRB sisi produksi berbasis System National Account (SNA) 2008. Pertanian (secara umum) merupakan kategori lapangan usaha yang menjadi sumber pertumbuhan (source of growth) utama (3,3 persen) ekonomi Jambi tahun 2014, disusul Pertambangan (1,1 persen) dan Perdagangan (0,9 persen). Pertanian maupun Pertambangan memang merupakan dua kategori yang memiliki kontribusi besar dalam struktur ekonomi Jambi selama ini, namun yang patut menjadi perhatian adalah kecenderungan Pertambangan menggeser Pertanian. Ketahanan pangan menjadi sebuah hal tersendiri didalam Pertanian yang harus diwaspadai. Andil Perdagangan terlihat mulai menggerus peranan Industri.
Diduga adanya suatu korelasi positif antara pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi. Pertumbuhan yang berkesinambungan dalam jangka panjang akan membawa perubahan ekonomi lewat efek dari sisi permintaan dan pada gilirannya perubahan tersebut akan menjadi faktor pemicu pertumbuhan ekonomi. Teori tentang transformasi struktur ekonomi bisa menjawab pertanyaan kita, BPS bahkan menyediakan indikator ketenagakerjaan sebagai data pelengkap (angka pengangguran, misalnya).
Transformasi struktural merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri atau jasa dan masing-masing perekonomian/negara akan mengalami transformasi yang berbeda-beda. Transformasi struktural adalah gejala ilmiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan antara lain oleh dampak dari suatu kebijakan, perubahan sumber daya, penduduk maupun keadaan sosial yang sifatnya permanen. Proses transformasi struktural yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari penerapan kebijakan pembangunan jangka panjang yang terencana. Kebijakan rekayasa transformasi struktural diperlukan untuk memaksimalkan dampak positif dari transformasi tersebut dalam perekonomian.
Banyak yang sependapat bahwa salah satu syarat perlu (necessary condition) untuk dapat dicapainya transformasi struktural dari pertanian (primer) ke industri manufaktur (sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh (Kuncoro 1996). Implikasi penting dari model perubahan struktural Gollin et al. (2002) yang merupakan pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik adalah bahwa pertumbuhan produktivitas sektor pertanian merupakan kunci penting proses pertumbuhan.
Data pada level nasional menunjukkan, pergeseran struktur PDB tidak diikuti perubahan pangsa tenaga kerja sehingga transformasi struktural perekonomian Indonesia tidak sebaik negara-negara berkembang lainnya. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan pola yang tidak biasa (unusual pattern) dan bertentangan dengan teori perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat produktifitas tenaga kerja memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang terjadi bahwa sebenarnya tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang produktifitasnya lebih tinggi. Hal yang sama sepertinya terjadi juga di Jambi.
Pendekatan lain perhitungan PDRB; menurut pengeluaran, menunjukkan bahwa komponen konsumsi rumahtangga adalah sumber pertumbuhan utama yang menggerakkan perekonomian (2,0 persen) diiringi konsumsi pemerintah (1,7 persen). Perhatikan kedua komponen tersebut dalam persamaan makro ekonomi (biasa dituliskan sebagai C dan G) dimana Y=C+G+I+NX. Harapan untuk menjadikan komponen pembentukan modal tetap bruto (I) maupun ekspor netto (NX) sebagai sumber pertumbuhan utama masih menuntut kinerja yang lebih baik. Penciptaan iklim investasi dan ekspansi ekspor masih sangat dibutuhkan.
Tabel Input Output menjadi salah satu alat untuk melihat PDRB dari sisi pendapatan. Data terakhir menyebutkan bahwa jika dilihat dari balas jasa faktor produksi yang diterima, surplus usaha merupakan komponen dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB. Pertanyaannya adalah siapakah pelaku usaha yang menerima balas jasa tersebut ? Data ketenagakerjaan lah yang bisa menjawabnya. Jika sebagian besar masyarakat Jambi merupakan pelaku usaha sebagaimana dimaksud maka sangatlah elok. Namun jika sebagian besar masyarakat ternyata masih mengandalkan upah/gaji, sungguh sangat disayangkan karena komponen ini masih kecil kontribusinya dalam pembentukan PDRB sisi pendapatan.
Mengiringi data PDRB, gambaran kondisi ekonomi konsumen dapat dilihat dari angka Indeks Tendensi Konsumen (ITK). Indeks ini dihitung setiap triwulan untuk menggambarkan tingkat optimismen konsumen terhadap perekonomian pada triwulan berjalan. Variabel pembentuk ITK terdiri atas; pendapatan rumah tangga, kaitan inflasi terhadap konsumsi, serta tingkat konsumsi beberapa komoditi.
Sejak pertama kali diluncurkan (triwulan I tahun 2011) sampai triwulan IV tahun 2014, ITK provinsi Jambi selalu berada di level optimis (diatas angka 100). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Jambi cenderung untuk selalu optimis melihat perekonomian. Pendapatan bukanlah hal yang membayangi optimisme konsumen, naik turunnya harga juga tidak menjadi persoalan serius yang mempengaruhi konsumsi. Pola konsumsi konsumen di Jambi pun ternyata cukup fleksibel untuk menyesuaikan.
Tendensi konsumen di Jambi memperlihatkan pola seasonal, perlahan meningkat dari triwulan pertama ke triwulan kedua dan mencapai puncak pada triwulan ketiga, selanjutnya sedikit menurun di triwulan keempat, namun kesemuanya masih di level optimis.
Optimisme konsumen yang sedemikian menjanjikan, ditengah kinerja perekonomian yang sedemikian rupa menantikan kepemimpinan cerdas dengan ide-ide bernas untuk Jambi yang lebih baik (lagi). Sekali lagi kita kembali bertanya, bisakah ?! Silahkan, anda pasti tahu jawabannya. publish@jambiekspres
dimuat dalam OPINI harian Jambi Ekspres, Rabu 11 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...