Kelesuan ekonomi global
yang diikuti oleh perlambatan ekonomi nasional memberi pegaruh nyata pada
perekonomian regional. BPS mencatat perumbuhan ekonomi nasional pada 2016 hanya sebesar 4,88 persen. Meskipun
tumbuh cukup tinggi, perekonomian Provinsi Jambi cenderung stagnan (untuk tidak
mengatakan mengalami perlambatan). Atas dasar harga konstan tahun 2010, kinerja
perekonomian 2016 tumbuh 4,37 persen. “Pertanian” secara umum masih menjadi mesin
pertumbuhan (engine of growth) pada
periode ini dengan kontribusi sebesar 1,73 persen sumber pertumbuhan (source of growth). Hal ini ditengarai
terkait dengan kebijakan UPSUS PAJALE yang dikawal Mabes TNI-AD atas instruksi
presiden. Laju pertumbuhan pada tahun sebelumnya mencapai 4,20 persen, sedikit
lebih lambat daripada tahun ini.
Data ketenagakerjaan
yang dirilis BPS untuk periode agustus 2016 memperlihatkan adanya peningkatan
lebih dari 72 ribu orang angkatan kerja dibanding periode yang sama tahun 2015.
Peningkatan jumlah angkatan kerja ini belum sepenuhnya mampu diserap oleh
lapangan kerja yang tersedia sehingga masih menyisakan sejumlah penggangguran
di Provinsi Jambi. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 4 persen, relatif
menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (4,34 persen).
Mengiringi
rilis data pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan, turut pula dirilis hasil
Survey Tendensi Konsumen (STK) yang dilakukan terhadap sekitar 14 ribu rumah
tangga diseluruh Indonesia. Survey dimaksud antara lain menghasilkan Indeks
Tendensi Konsumen (ITK) yang menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada
triwulan berjalan dan perkiraan untuk triwulan mendatang. Indeks mencerminkan
optimisme konsumen ketika nilainya berada diatas angka 100, sebaliknya
dikatakan pesimis jika dibawah angka 100. Variabel pembentuk ITK terdiri atas;
pendapatan rumah tangga, kaitan inflasi terhadap konsumsi, serta tingkat
konsumsi beberapa komoditi.
Sejak pertama kali diluncurkan (triwulan I tahun
2011) sampai triwulan IV tahun 2014, ITK provinsi Jambi selalu berada di level
optimis (diatas angka 100). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Jambi
cenderung untuk selalu optimis melihat perekonomian. Pendapatan bukanlah hal
yang membayangi optimisme konsumen, naik turunnya harga juga tidak menjadi
persoalan serius yang mempengaruhi konsumsi. Pola konsumsi konsumen di Jambi
pun ternyata cukup fleksibel untuk menyesuaikan. Tendensi konsumen di Jambi
memperlihatkan pola seasonal,
perlahan meningkat dari triwulan pertama ke triwulan kedua dan mencapai puncak
pada triwulan ketiga, selanjutnya sedikit menurun di triwulan keempat, namun
kesemuanya masih di level optimis.
Pada
triwulan I dan II tahun 2015 ITK provinsi Jambi berada dilevel pesimis dengan
besaran angka masing-masing hanya sebesar 91,66 dan 99,57 artinya persepsi
konsumen terhadap perekonomian triwulan berjalan relatif pesimis dibandingkan
triwulan sebelumnya. Pesimisme konsumen terutama disebabkan oleh rendahnya
persepsi konsumen terhadap peningkatan pendapatan serta menurunnya tingkat
konsumsi terhadap beberapa komoditi baik makanan maupun non makanan.
Selanjutnya indeks merambat naik dan kembali optimis sepanjang kuartal ketiga
2015 sampai dengan kuartal ketiga 2016. Indeks kembali terkoreksi dipenghujung
tahun 2016 walaupun masih terkategori optimis di angka 100,83
Tidak
meningkatnya pendapatan setidaknya merubah pola konsumsi masyarakat. Inflasi
yang terjadi di penghujung triwulan berjalan (awalnya terjadi deflasi) sedikit
menggerus optimisme konsumen pada variabel “pengaruh inflasi terhadap tingkat
konsumsi”. Pola konsumsi masyarakat bergeser dengan mengurangi porsi konsumsi
non makanan. Pola konsumsi semestinya tidak akan banyak berubah seandainya
masyarakat memiliki tabungan yang bisa digunakan sebagai sumber dana ketika
pendapatan tidak meningkat ataupun ketika harga merangkak naik.
Nilai Tukar Petani (rasio indeks yang diterima
dengan indeks yang harus dibayar) yang ditengarai mengindikasikan semakin
mengkhawatirkannya kesejahteraan petani menjadi patut diperhatikan dengan
seksama, walaupun untuk petani dalam konteks pertanian di Jambi tidaklah bisa
disamakan dengan daerah lain. Petani yang tidak hanya menggantungkan sumber
pendapatanya hanya pada sektor pertanian, melainkan juga bergantung kepada
sektor lain diluar pertanian. Sehingga sesungguhnya yang diterima rumah tangga
“si petani” masih sama atau bahkan lebih besar dibanding yang harus
dikeluarkan.
Pada tahun ini survei Struktur Ongkos Usaha Tani
(SOUT) akan kembali dilakukan oleh pemerintah untuk melihat bagaimana perubahan
pola usaha tani untuk menghasilkan komoditas pertanian. Setidaknya ini akan
memberi gambaran apakah pertanian masih merupakan lapangan usaha yang
menjanjikan untuk digeluti. Sekaligus juga memetakan ketahanan pangan nasional
untuk menuju kedaulatan pangan.
Menjadi catatan kita bersama bahwa tahun ini; recovery perekonomian sedikit mengurangi
pengangguran, dan opitimisme pun mulai menyelimuti masyarakat. Bagaimana dengan
kondisi mendatang ? Hasil survey yg sama menunjukkan persepsi konsumen yang
lebih optimis untuk triwulan mendatang. ITK triwulan I tahun 2017 diperkirakan
sebesar 98,78 atau relatif lebih rendah dibanding triwulan ini. Persepsi ini
dibentuk oleh komponen rencana investasi konsumen meskipun belum didukung
ekpektasi peningkatan pendapatan. Optimisme konsumen yang sedemikian
menjanjikan, ditengah kinerja perekonomian yang sedemikian rupa menantikan
kepemimpinan cerdas dengan ide-ide bernas untuk Jambi yang lebih baik (lagi).
Sekali lagi kita kembali bertanya, bisakah ?! Silahkan, anda pasti tahu
jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar