Pasca rilis berita resmi statistik oleh BPS terkait pertumbuhan ekonomi
tahun 2020, tahun yang dibayangi pandemi, media massa pun seakan kompak
menuliskannya sebagai berita utama. Kata “kontraksi” diambil sebagai istilah
lain yang dipakai oleh para penulis untuk menggantikan terminologi “pertumbuhan
minus” dalam mendeskripsikan apa yg tengah terjadi dalam perekonomian. Alih-alih
mampu membumikan cerita tentang kinerja perekonomian dalam kurun setahun, awam
mungkin malah terjebak dalam bayang-bayang imajinasinya masing-masing. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) antara lain mengartikan kata kontraksi sebagai “pengerutan”
(sehingga sebuah benda menjadi berkurang panjangnya).
Dalam terminologi kebahasaan (linguistik) istilah kontraksi adalah
pemendekan suatu kata, suku kata, atau gabungan kata dengan cara penghilangan
huruf yang melambangkan font di dalam kata tersebut. Kontraksi dalam
tata bahasa tradisional, dapat mengakibatkan pembentukan kata baru dari kata
yang disingkat tersebut. Hal ini umum terjadi terutama untuk tujuan memudahkan
dan mempercepat pengucapan suatu kata dalam percakapan sehingga terdengar
lancar dan luwes. Contoh kasus dalam bahasa Indonesia, kontraksi
banyak terjadi pada bahasa tuturan ragam non formal. Hal ini disebabkan karena
dalam tuturan non formal atau tuturan sehari-hari, para penutur ingin berbicara
secepat mungkin dan sehemat mungkin tenaga. Penyingkatan-penyingkatan tersebut
muncul misalnya pada kata-kata seperti “tidak” menjadi “tak”; “kenapa”
menjadi “napa”; “enggak” menjadi “gak”; “sebentar”
menjadi “ntar”; dan lain sebagainya.
Mendengar kata kontraksi sepintas bahkan mungkin terlintas pikir tentang
wajah cemas seorang bumil akibat sesuatu yang menjadikannya hasus menahan
sakit. Tapi kita tentu tidak sedang membicarakan hal tersebut walau mungkin
jika dihubung-hubungkan, ada saja yg menjadikannya berhubungan, setidaknya
secara asal-usul kata. Bicara tentang tumbuh (pertumbuhan), video iklan sebuah
produk yang masih bisa kita ingat pernah memakai tagline, “tumbuh itu
keatas, bukan kesamping …” untuk mengatakan produknya bisa menambah tinggi
badan dan menjadikan postur ideal (seimbang dengan berat badan). Jika demikian
maka kemanakah arah tumbuh yang terbayang untuk istilah tumbuh minus (negatif)
?!
Pandemi memang menjadikan kinerja perekonomian baik nasional maupun
regional mengalami kontraksi, sebuah kondisi perekonomian dimana jika
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya tidak mengalami peningkatan, bahkan
justru sebaliknya. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ataupun produk
domestik regional bruto (PDRB) sebagai proxy pertumbuhan ekonomi yang
telah dirilis oleh BPS memang memperlihatkan kondisi tersebut hampir merata
diseantero nusantara. PDB merupakan sebuah besaran yang mengakumulasikan
keseluruhan nilai tambah (value added) yang berhasil diciptakan dalam
perekonomian suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Nilai tambah yang
dihitung tentu saja mencakup seluruh komoditas ekonomi, baik berbentuk barang
maupun jasa, sebagai sebuah “nilai” yang memang berhasil ditambahkan kedalam
bentuk mula sebuah produk melalui sebuah proses produksi yang melibatkan
berbagai faktor produksi sehingga merubahnya menjadi bentuk lain yang lebih bernilai
secara ekonomis.
Sepotong pisang goreng yang dijajakan dipinggir jalan adalah bentuk lain buah
pisang setelah seorang tukang gorengan menambahkan sebuah “nilai” melalui
serangkaian proses produksi. Tukang gorengan adalah sebuah objek penanda kemana
nilai tambah yang tercipta akan dikelompokkan dalam penyajian besaran PDB
menurut sisi produksi (production approach) atau BPS biasa menyebutnya
sebagai PDB menurut lapangan usaha. Tukang gorengan tentu juga akan beroleh
surplus atas usaha nya memproduksi dan menjajakan gorengan, bersama beribu
tukang gorengan yang lain. Surplus atas usaha, yang diperoleh oleh siapa pun
atas bentuk usaha apa pun merupakan salah satu komponen nilai tambah bruto
sebagai balas jasa atas kepemilikan faktor produksi (dalam hal ini adalah “entrepreneurship”),
selain balas jasa atas faktor produksi lainnya. Penghitungan PDB dari akumulasi
balas jasa faktor produksi disebut dengan pendekatan sisi pendapatan (income
approach), biasanya hanya akan terlihat dalam sebuah Tabel Input Output.
PDB dari sisi pengeluaran (expenditure approach) adalah bentuk lain yang
biasa dihitung dan disajikan oleh BPS. Pada contoh kasus pisang goreng, pembeli
yang mengkonsumsi pisang goreng tersebut akan menjadi penanda kemana jenis
pengeluaran akan dikelompokkan (dalam hal ini tentu sebagai kelompok komponen
Konsumsi Rumah Tangga). Sebuah proses pencatatan kegiatan perekonomian dalam
suatu wilayah yang komprehensif terkait pelaku, baik dari sisi produsen maupun
konsumen, jenis kegiatan, dan bagaimana proses produksi maupun distribusi-nya
bukanlah sesuatu yang mudah hingga akhirnya mewujud dalam sebuah besaran
indikator yang disebut “pertumbuhan”.
Senada dengan fenomena nasional, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu
pun tumbuh minus walau hanya pada kisaran “nol koma nol sekian persen”.
Perekonomian dalam kondisi normal semestinya memang akan mengalami pertumbuhan
dari waktu kewaktu bahkan tanpa adanya campur tangan pemerintah sekalipun,
bagaikan ilalang yang tak kenal musim. Ekonomi tentu saja tidak akan sekedar
tumbuh bagai ilalang, jika pemerintah berhasil merekayasa strategi kebijakan
dari sisi moneter maupun fiskal. Dalam runtun waktu (time series),
perekonomian diharapkan selalu memiliki kecenderungan (trend) menaik
dengan pola musiman (seasonal) yang terkontrol dalam sebuah siklus (cyclical)
dengan pola yang terpetakan. Harapan semacam ini yang menjadikan istilah “tumbuh” selalu disematkan dalam rilis perkembangan
perekonomian, maka istilah “tumbuh minus” pun menjadi biasa didengungkan.
Covid-19 seolah menjadi kambing hitam dalam hampir semua sebab kegagalan
pada tahun 2020 dan hingga kini masih membayang-bayangi, sebuah variasi tak
beraturan (irregular variation) dan menjadi sesuatu yg masih sulit
diramalkan dalam kerangka analisa deret berkala atas kinerja perekonomian.
Sebenarnya dengan besaran “nol koma nol sekian persen”, pertumbuhan
ekonomi Provinsi Bengkulu bisa dikatakan tidak berbeda nyata dengan kondisi
sebelumnya. Tanda negatif/minus hanya menunjukkan bahwa besaran angka nya lebih
kecil (<) dari tahun lalu. Besaran ini juga mengatakan bahwa PDRB provinsi
Bengkulu tahun ini sama dengan “sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh
sembilan sekian persen” PDRB tahun lalu, lantas dimana signifikansi
pengaruh pandemi ?
Struktur PDRB tahun 2020 tidak menunjukkan adanya perubahan pangsa
lapangan usaha dan relatif sama dengan tahun sebelumnya dengan “pertanian”
sebagai kontributor utama (28%) diikuti “perdagangan” (14%) dan “administrasi
pemerintahan” (10%). Dari ketiganya hanya “perdagangan” yang mengalami
kontraksi sementara dua sektor yg lain masih bisa tumbuh positif.
“Transportasi” dan “industri” adalah dua sektor utama lainnya yang juga
mengalami kontraksi, sementara “jasa pendidikan” dan “konstruksi” memberikan
kontribusi positif disisi lain. Ketujuh sektor yang disebutkan diatas
setidaknya berkontribusi atas hampir 80 persen pangsa PDRB Provinsi Bengkulu.
Dengan postur yang hampir mirip dengan kondisi tahun sebelumnya,
setidaknya pandemi telah berhasil menorehkan riasan baru pada wajah
perekonomian Bengkulu. Sektor yang membutuhkan keterlibatan lebih banyak
interaksi pelaku ekonomi terlihat lebih terdampak pandemi (perdagangan,
transportasi, industri), berbeda dengan sektor yang tidak perlu melibatkan
banyak pelaku. Administrasi pemerintahan memang tetap dijalankan dengan
sebagian pola work from home dan fokus pada penanggulangan dampak
pandemi, demikian halnya “jasa pendidikan” yang menerapkan pola daring. Kinerja
positif sektor konstruksi lebih pada proyek infrastruktur pemerintah yang masih
dipertahankan keberlanjutannya. Pertanian (mencakup semua subsektor) menjadi
tumpuan harapan sebagian besar masyarakat, terlebih dimasa pandemi.
Karakteristik sektor ini menjadikannya gampang dimasuki oleh siapapun sebagai
pelaku, bahkan untuk sekedar menjadikannya sebagai subsisten. Hampir 47 persen
penduduk Bengkulu bekerja di sektor pertanian dan hanya sekitar 16 persen yang
menggeluti sektor perdagangan (Survei Angkatan Kerja Nasional) sehingga secara
sosial ekonomi sepertinya pandemi belum/tidak terlihat memberikan pengaruh
nyata dalam perekonomian.
Bagaimana postur PDRB sisi pengeluaran ? Komposisi komponen pembentuk
PDRB pengeluaran juga relatif sama (untuk tidak mengatakannya sama persis)
dengan kondisi tahun sebelumnya, antara lain dengan 63 persen Konsumsi Rumah
Tangga, 41 persen PMTB, 19 persen Konsumsi Pemerintah, dan 2 persen Konsumsi
LNPRT, serta “ekspor netto” yang masih menjadi faktor pengurang (bernilai
negatif). Kinerja sisi pengeluaran bisa dibilang tidak berbeda nyata dengan
kondisi tahun 2019 kecuali kinerja investasi yang sedikit terlihat menurun
disamping kinerja ekspor yang juga terindikasi terdampak oleh kondisi pasar
global yang mengakibatkan turunnya permintaan.
New normal yang digagas untuk merubah mindset masyarakat terhadap pandemi seiring waktu justru perlahan menjadi bumerang akibat sikap apatis yang menggejala. Jika tak hendak membuat akar rumput perekonomian ikut tercerabut bahkan ketika kecambah nya mulai bertunas dan kambing hitam covid berniat menggagalkannya bertumbuh, mari kita pagari ladang ekonomi ini. Kelak kalo rumputnya sudah menghijau, kita akan memelihara beberapa ekor kambing, tapi tentu bukan yang hitam. Bukan juga yang putih, karena katanya “kambing putih” itu istilah lain dari pencitraan. Sampai hari ini sebagian besar kita sepertinya masih kompak menjadikan pandemi sebagai kambing hitam, sebagai segala bentuk penyebab kegagalan seolah melupakan pengakuan diri atas kebertuhanan. Cobaan, ujian atau hukuman ? atau mungkin pandemi sekaligus merupakan wujud ketiga-tiganya ?!
https://bengkulu.siberindo.co/07/02/2021/tumbuh-kok-minus
https://www.bengkulutoday.com/tumbuh-kok-minus
https://www.garudadaily.com/mengkambinghitamkan-pandemi-dalam-kontraksi-ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar