Sepanjang tahun 2020, neraca perdagangan luar negeri secara nasional
masih mencatatkan kondisi surplus. Meskipun jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya surplus itu tergerus, namun ini menunjukkan bahwa nilai ekspor masih
lebih besar daripada nilai impor. Komponen ekspor (X) dalam pembentukan nilai
produk domestik bruto (PDB) pada periode yang sama berkontribusi sebesar 17,17
persen, sementara komponen impor (M) memiliki pangsa 16,02 persen sehingga
komposisi ekspor neto (X-M) dalam PDB pun bernilai positif, yaitu sekitar 1,15
persen. Ekspor dan impor dalam konteks penghitungan PDB terkait terminologi
“domestik” dibatasi oleh konsep wilayah negara/nasional, dalam hal ini tentu
NKRI. Barang atau jasa yang bergerak melewati batasan tersebut yang akan
menentukan sebuah nilai dikatakan sebagai ekspor (jika keluar) atau impor (jika
masuk).
Analog dengan hal tersebut, dalam perhitungan produk domestik regional
bruto (PDRB) yang dikatakan “domestik” tentu dibatasi oleh konsep wilayah
sebuah region, bisa provinsi/kabupaten/kota dan seterusnya sampai area terkecil
yang memungkinkan untuk dijadikan batasan. Namun demikian bukan tidak mungkin
sebuah region bisa saja melakukan ekspor maupun impor melewati batas negara,
sehingga kedua komponen tersebut dalam perhitungan PDRB akan mencakup ekspor
luar negeri maupun antar daerah/region dan juga impor luar negeri maupun antar
daerah/region.
Nilai perdagangan luar negeri pada setiap bulan nya selalu dirilis dalam
berita resmi statistik oleh BPS sampai level provinsi sehingga untuk neraca
perdagangan luar negeri dari masing-masing provinsi pun dapat diketahui oleh
publik. Sementara itu besaran PDRB yang memuat komponen ekspor neto (expenditure
approach) dirilis secara triwulanan. Mencermati kedua jenis pemberitaan
sebagaimana tersebut (waktu rilis nya berbeda) akan memperlihatkan kondisi yang
lebih utuh tentang ketergantungan ekonomi sebuah wilayah dengan wilayah lain
diluar region tersebut. Alih alih memberikan sebuah informasi, bisa jadi rilis
ekspor-impor pada skala provinsi justru menimbulkan ambiguitas jika pemerhati
tidak menyandingkannya dengan rilis PDRB. Bisa jadi sebuah region mencatatkan surplus
perdagangan luar negeri sepanjang tahun 2020 tapi komposisi ekspor neto dalam
PDRB nya bernilai negatif.
Sebagai contoh, pada periode tahun 2020 perdagangan luar negeri Provinsi
Bengkulu mengalami surplus artinya nilai ekspor komoditas dari Bengkulu keluar
negeri lebih besar daripada nilai impor (barang/jasa) dari luar negeri. Namun
jika dilihat pangsa ekspor (X) dalam pembentukan PDRB provinsi Bengkulu,
nilainya jauh lebih kecil daripada pangsa impor (M). Komponen ekspor memberikan
kontribusi 33,5 persen terhadap total PDRB Bengkulu, sedangkan impor memiliki
pangsa sebesar 60,7 persen sehingga menjadikan ekspor neto (X-M) berkontribusi
negatif dalam pembentukan PDRB yaitu sekitar minus 27,2 persen. Ketika
dikatakan Bengkulu mengalami surplus perdagangan luar negeri tentu akan menjadi
headline pemberitaan yang menggambarkan kinerja positif sebuah
perekonomian, namun rilis PDRB pada kesempatan berikut sangat jarang menyoroti
komposisi persamaan makro ekonomi dan cenderung melihat kinerja sektoral/lapangan
usaha.
Ilustrasi tentang ekspor neto sebagai indikator makro ekonomi untuk kasus
Bengkulu menyiratkan bahwa sebenarnya ekonomi Bengkulu memiliki ketergantungan
yang relatif tinggi dengan daerah lain diluar Bengkulu. Bengkulu tentu bukanlah
satu-satunya daerah yang memiliki ketergantungan dengan wilayah lain jika
dilihat dari besaran ekspor neto dalam pembentuk PDRB. Setidaknya ada 5
provinsi di Sumatera (termasuk Bengkulu) yang memiliki pangsa ekspor neto
negatif; Sumatera Selatan sebesar minus 8,39 persen, Lampung minus 5,65 persen,
Aceh minus 24,23 persen dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar minus 4,10
persen. Provinsi lain di Sumatera memiliki ekspor neto positif; Jambi sebesar
20,25 persen, Sumatera Utara 7,28 persen, Sumatera Barat 2,76 persen, Kepulauan
Riau 7,22 persen dan Riau sebesar 22,18 persen.
Jika disandingkan dengan tingkat kemiskinan berdasarkan data persentase
jumlah penduduk miskin (kondisi September 2020) seolah memiliki korelasi,
dimana ternyata 4 dari 5 provinsi dengan ekspor neto negatif adalah daerah
dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sumatera; Bengkulu 15,3 persen,
Sumatera Selatan 12,7 persen, Lampung 12,76 persen dan Aceh 15,43 persen. Hanya
Bangka Belitung yang persentase jumlah penduduk miskin-nya relatif kecil (4,89
persen) walaupun ekspor neto nya bernilai negatif. Sedangkan persentase
penduduk miskin pada 5 provinsi dengan nilai ekspor neto positif ternyata
relatif lebih kecil (satu digit); Jambi 7,97 persen, Sumatera Utara 9,14
persen, Sumatera Barat 6,56 persen, Kepulauan Riau 6,13 persen dan Riau sebesar
7,04 persen. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Korelasi sebagai sebuah ukuran
keeratan hubungan kausalitas secara matematis bisa saja dihitung terhadap
besaran apapun. Namun demikian tentu sebuah hubungan harus didasarkan atas
teori ilmiah yang bersesuaian sebelum ukuran keeratannya boleh dimaknai.
Kemiskinan yang dihitung atas konsepsi kebutuhan dasar dalam membangun
garis kemiskinan (GK) sebagai pembatas antara miskin dan tidak miskin tentu
sangat erat kaitannya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan minimum. Sama halnya
dengan sebuah wilayah yang akan selalu berusaha mencukupi kebutuhan minimum
wilayahnya baik dari produksi domestik maupun impor. Dengan jumlah penduduk
miskin yg relatif tinggi dan ekspor neto bernilai negatif, namun inflasi Bengkulu
sepanjang tahun 2020 bisa dikatakan cukup rendah. Sekedar catatan bahwa inflasi
bisa didefinisikan sebagai indikasi kenaikan harga barang/jasa secara umum,
namun dalam hal ini tidak bisa dikatakan sebuah wilayah dengan inflasi yg
rendah memiliki harga lebih rendah dibanding daerah lain dengan inflasi yg
lebih tinggi. Inflasi menggambarkan “perubahan harga” yg terjadi dari kondisi
sebelumnya. Boleh jadi harga barang X di Bengkulu memang pada waktu yg sama
sudah lebih tinggi daripada harga di daerah lain, sehinga ketika terjadi
deflasi sekalipun di Bengkulu tidak akan membuat harga barang tersebut menjadi
lebih rendah daripada di daerah lain yg mengalami inflasi. Disinyalir inflasi
yg terpantau rendah sepanjang 2020 bukan disebabkan oleh melimpahnya penyediaan
namun lebih disebabkan oleh daya beli konsumen yang rendah.
Jika dikaitkan dengan besarnya nilai minus ekspor neto Bengkulu, ketersediaan (supply) barang/jasa lebih
bergantung pada impor yang menyebabkan margin perdagangan terbebani juga oleh
margin pengangkutan. Ketika rilis pertumbuhan ekonomi memperlihatkan bahwa
pandemi berdampak pada menurunnya kinerja sektor perdagangan dan sektor
transportasi, sepertinya faktor ketergantungan terhadap wilayah lain sangat
memengaruhi. Kontraksi pada sektor industri kemungkinan juga secara tidak
langsung disebabkan oleh hal ini jika ternyata penyediaan bahan baku industri
pun belum mampu diproduksi oleh domestik.
Banyak hal harus dicermati supaya ambiguitas tidak membayang-bayangi.
Memahami sesuatu butuh ketelitian untuk tidak tergesa menjustifikasi persoalan.
Benang kusut tak kan bisa dipintal, perlu diurai satu persatu. Kalau hanya bisa
membual jangan harap negeri ini maju. (BK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar