Sabtu, 20 Februari 2021

Surplus : Ambiguitas dalam Konteks Interregional

Sepanjang tahun 2020, neraca perdagangan luar negeri secara nasional masih mencatatkan kondisi surplus. Meskipun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya surplus itu tergerus, namun ini menunjukkan bahwa nilai ekspor masih lebih besar daripada nilai impor. Komponen ekspor (X) dalam pembentukan nilai produk domestik bruto (PDB) pada periode yang sama berkontribusi sebesar 17,17 persen, sementara komponen impor (M) memiliki pangsa 16,02 persen sehingga komposisi ekspor neto (X-M) dalam PDB pun bernilai positif, yaitu sekitar 1,15 persen. Ekspor dan impor dalam konteks penghitungan PDB terkait terminologi “domestik” dibatasi oleh konsep wilayah negara/nasional, dalam hal ini tentu NKRI. Barang atau jasa yang bergerak melewati batasan tersebut yang akan menentukan sebuah nilai dikatakan sebagai ekspor (jika keluar) atau impor (jika masuk).

Analog dengan hal tersebut, dalam perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB) yang dikatakan “domestik” tentu dibatasi oleh konsep wilayah sebuah region, bisa provinsi/kabupaten/kota dan seterusnya sampai area terkecil yang memungkinkan untuk dijadikan batasan. Namun demikian bukan tidak mungkin sebuah region bisa saja melakukan ekspor maupun impor melewati batas negara, sehingga kedua komponen tersebut dalam perhitungan PDRB akan mencakup ekspor luar negeri maupun antar daerah/region dan juga impor luar negeri maupun antar daerah/region.

Nilai perdagangan luar negeri pada setiap bulan nya selalu dirilis dalam berita resmi statistik oleh BPS sampai level provinsi sehingga untuk neraca perdagangan luar negeri dari masing-masing provinsi pun dapat diketahui oleh publik. Sementara itu besaran PDRB yang memuat komponen ekspor neto (expenditure approach) dirilis secara triwulanan. Mencermati kedua jenis pemberitaan sebagaimana tersebut (waktu rilis nya berbeda) akan memperlihatkan kondisi yang lebih utuh tentang ketergantungan ekonomi sebuah wilayah dengan wilayah lain diluar region tersebut. Alih alih memberikan sebuah informasi, bisa jadi rilis ekspor-impor pada skala provinsi justru menimbulkan ambiguitas jika pemerhati tidak menyandingkannya dengan rilis PDRB. Bisa jadi sebuah region mencatatkan surplus perdagangan luar negeri sepanjang tahun 2020 tapi komposisi ekspor neto dalam PDRB nya bernilai negatif.

Sebagai contoh, pada periode tahun 2020 perdagangan luar negeri Provinsi Bengkulu mengalami surplus artinya nilai ekspor komoditas dari Bengkulu keluar negeri lebih besar daripada nilai impor (barang/jasa) dari luar negeri. Namun jika dilihat pangsa ekspor (X) dalam pembentukan PDRB provinsi Bengkulu, nilainya jauh lebih kecil daripada pangsa impor (M). Komponen ekspor memberikan kontribusi 33,5 persen terhadap total PDRB Bengkulu, sedangkan impor memiliki pangsa sebesar 60,7 persen sehingga menjadikan ekspor neto (X-M) berkontribusi negatif dalam pembentukan PDRB yaitu sekitar minus 27,2 persen. Ketika dikatakan Bengkulu mengalami surplus perdagangan luar negeri tentu akan menjadi headline pemberitaan yang menggambarkan kinerja positif sebuah perekonomian, namun rilis PDRB pada kesempatan berikut sangat jarang menyoroti komposisi persamaan makro ekonomi dan cenderung melihat kinerja sektoral/lapangan usaha.

Ilustrasi tentang ekspor neto sebagai indikator makro ekonomi untuk kasus Bengkulu menyiratkan bahwa sebenarnya ekonomi Bengkulu memiliki ketergantungan yang relatif tinggi dengan daerah lain diluar Bengkulu. Bengkulu tentu bukanlah satu-satunya daerah yang memiliki ketergantungan dengan wilayah lain jika dilihat dari besaran ekspor neto dalam pembentuk PDRB. Setidaknya ada 5 provinsi di Sumatera (termasuk Bengkulu) yang memiliki pangsa ekspor neto negatif; Sumatera Selatan sebesar minus 8,39 persen, Lampung minus 5,65 persen, Aceh minus 24,23 persen dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar minus 4,10 persen. Provinsi lain di Sumatera memiliki ekspor neto positif; Jambi sebesar 20,25 persen, Sumatera Utara 7,28 persen, Sumatera Barat 2,76 persen, Kepulauan Riau 7,22 persen dan Riau sebesar 22,18 persen.

Jika disandingkan dengan tingkat kemiskinan berdasarkan data persentase jumlah penduduk miskin (kondisi September 2020) seolah memiliki korelasi, dimana ternyata 4 dari 5 provinsi dengan ekspor neto negatif adalah daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sumatera; Bengkulu 15,3 persen, Sumatera Selatan 12,7 persen, Lampung 12,76 persen dan Aceh 15,43 persen. Hanya Bangka Belitung yang persentase jumlah penduduk miskin-nya relatif kecil (4,89 persen) walaupun ekspor neto nya bernilai negatif. Sedangkan persentase penduduk miskin pada 5 provinsi dengan nilai ekspor neto positif ternyata relatif lebih kecil (satu digit); Jambi 7,97 persen, Sumatera Utara 9,14 persen, Sumatera Barat 6,56 persen, Kepulauan Riau 6,13 persen dan Riau sebesar 7,04 persen. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Korelasi sebagai sebuah ukuran keeratan hubungan kausalitas secara matematis bisa saja dihitung terhadap besaran apapun. Namun demikian tentu sebuah hubungan harus didasarkan atas teori ilmiah yang bersesuaian sebelum ukuran keeratannya boleh dimaknai.

Kemiskinan yang dihitung atas konsepsi kebutuhan dasar dalam membangun garis kemiskinan (GK) sebagai pembatas antara miskin dan tidak miskin tentu sangat erat kaitannya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan minimum. Sama halnya dengan sebuah wilayah yang akan selalu berusaha mencukupi kebutuhan minimum wilayahnya baik dari produksi domestik maupun impor. Dengan jumlah penduduk miskin yg relatif tinggi dan ekspor neto bernilai negatif, namun inflasi Bengkulu sepanjang tahun 2020 bisa dikatakan cukup rendah. Sekedar catatan bahwa inflasi bisa didefinisikan sebagai indikasi kenaikan harga barang/jasa secara umum, namun dalam hal ini tidak bisa dikatakan sebuah wilayah dengan inflasi yg rendah memiliki harga lebih rendah dibanding daerah lain dengan inflasi yg lebih tinggi. Inflasi menggambarkan “perubahan harga” yg terjadi dari kondisi sebelumnya. Boleh jadi harga barang X di Bengkulu memang pada waktu yg sama sudah lebih tinggi daripada harga di daerah lain, sehinga ketika terjadi deflasi sekalipun di Bengkulu tidak akan membuat harga barang tersebut menjadi lebih rendah daripada di daerah lain yg mengalami inflasi. Disinyalir inflasi yg terpantau rendah sepanjang 2020 bukan disebabkan oleh melimpahnya penyediaan namun lebih disebabkan oleh daya beli konsumen yang rendah.

Jika dikaitkan dengan besarnya nilai minus ekspor neto Bengkulu, ketersediaan (supply) barang/jasa lebih bergantung pada impor yang menyebabkan margin perdagangan terbebani juga oleh margin pengangkutan. Ketika rilis pertumbuhan ekonomi memperlihatkan bahwa pandemi berdampak pada menurunnya kinerja sektor perdagangan dan sektor transportasi, sepertinya faktor ketergantungan terhadap wilayah lain sangat memengaruhi. Kontraksi pada sektor industri kemungkinan juga secara tidak langsung disebabkan oleh hal ini jika ternyata penyediaan bahan baku industri pun belum mampu diproduksi oleh domestik.

Banyak hal harus dicermati supaya ambiguitas tidak membayang-bayangi. Memahami sesuatu butuh ketelitian untuk tidak tergesa menjustifikasi persoalan. Benang kusut tak kan bisa dipintal, perlu diurai satu persatu. Kalau hanya bisa membual jangan harap negeri ini maju. (BK)

 https://www.bengkulutoday.com/surplus-ambiguitas-dalam-konteks-interregional

https://www.garudadaily.com/ketergantungan-sebuah-candu-perekonomian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...