Bulan Sensus Ekonomi (Mei
2016) telah berlalu. Ribuan petugas telah dikerahkan oleh BPS untuk
memotret wajah perekonomian negeri. Bukan berarti kita tidak punya
potret tersebut, bukan pula karena potret yang kita punya sudah usang
dan buram. Pemerintah berharap, dengan Sensus Ekonomi akan didapat
potret yang lebih detail. Ibarat kamera yang canggih dengan
resolusi dan kecepatan yang semakin baik menjepret dalam sekali “klik”.
Lantas apa yang akan tersirat jika potret tersebut sudah tercetak dan
bisa kita pandangi ? Setidaknya akan terlihat semburat warna yang
muncul, mungkin mencerahkan atau justru menambah kusam. 17 (tujuh belas)
kategori sektor ekonomi dalam System National Account (SNA) yang dapat dianalogikan sebagai pixel
pada ketinggian resolusi kamera; akan mengilustrasikan warna-warni
perekonomian. Ketujuhbelas kategori itupun sejatinya masih bisa di break-down menjadi lebih dari 50 (lima puluh) sub kategori sehingga warna-warninya akan semakin terlihat “meriah”.
BPS dengan sensus-nya; sama halnya dengan seorang photographer
dengan kamera-nya; hanya berusaha “memotret” pada waktu tertentu sesuai
amanat, dan Undang-undang lah yang mengamanatkan BPS. Potret pun akan
menjepret apa adanya. Lalu siapakah yang telah meng-“create” perwajahan model dalam potret tersebut ? Pastilah sang kreator penciptanya.
Potret perekonomian dengan segala coraknya telah di create
sedemikian rupa dalam kurun waktu periode sebelum “pemotretan”. Ekonomi
tumbuh dan berkreasi dibingkai oleh aturan dan kebijakan pemerintah yang
berkuasa. Sebagai pelaku ekonomi, berkreasi dalam pewarnaan corak
perekonomian suatu daerah adalah sebuah upaya memperindah tampilan
perwajahan potret ekonomi dimaksud. Kategori tertentu menuntut peran
besar pemerintah untuk mengkondisikan situasi kondusif bagi para pelaku
ekonomi. Sementara kategori yang lain mungkin justru kebalikannya, tidak
menuntut peran pemerintah dan sangat mudah dimasuki pelaku ekonomi.
Sebuah sistem perekonomian yang terbuka sebagaimana banyak ditemukan
pada saat ini memang cenderung lebih banyak mengedepankan peran swasta.
Namun sebagai penentu kebijakan, setidaknya pemerintah seharusnya
mengambil peran untuk mengarahkan pasar pada persaingan sempurna dan
memiliki visi mensejahterakan masyarakat luas.
Potret ekonomi Provinsi Jambi yang ter-update (BPS,feb-2016)
tampil dengan perwajahan yang terlihat “kurang menarik”. Setidaknya
hanya terdapat 4 (empat) warna yang mendominasi 70 persen pewarnaan
corak ekonomi. Jika dimisalkan, ke-empat warna tersebut adalah hijau
untuk kategori pertanian (±30%), biru untuk kategori pertambangan (±17%), kuning untuk kategori industri (±11%) dan orange untuk kategori perdagangan
(±12%). Bisa dibayangkan bagaimana wajah Jambi dengan dominasi ke-empat
warna tersebut, sementara sisanya (±30%) berbias gradasi 13 warna
kategori lain-nya. Rupawan-kah ? Cantik-kah ? Para ahli ekonomi yang mampu member penilaian, seperti ahli seni lukis menilai sebuah lukisan.
Wajah kabupaten/kota dalam potret perekonomian bahkan terlihat tidak
lebih menarik dibanding wajah provinsi sebagai induknya. Sebuah
kabupaten/kota terkadang hanya didominasi oleh satu atau dua warna saja.
Potensi sumberdaya alam merupakan modal dasar pembangunan perekonomian
suatu wilayah, dan menjadi faktor penentu pewarnaan corak perekonomian.
Sumberdaya alam merupakan warna dasar perekonomian suatu wilayah yang
dapat diolah menjadi aneka warna baru perekonomian. Kapabilitas
sumberdaya manusia lah yang akan menjadi faktor penentu pemunculan warna
baru perekonomian tersebut. Kombinasi antara pemanfaatan sumberdaya
alam dan kemampuan sumberdaya manusia akan menghasilkan gradasi warna
perekonomian suatu wilayah.
Pemerintahan sebelumnya telah membingkai perekonomian dalam kebijakan
sesuai visi-misi yang dulu mereka janjikan dan hasilnya terlihat
sebagaimana potret ekonomi yang terpajang dengan figura yang mereka
pilih. Bagai sebuah lukisan menunggu penikmat seni menawarnya dengan
harga tertinggi, maka siapa yang berminat dan ber-uang lah yang akan
mengoleksinya. Tentu sebuah harga yang pantas akan diberikan sesuai
nilai seni yang ditonjolkan. Jambi yang bernilai, akan mengundang
investor untuk memberi warna dalam perekonomiannya. Warna yang
diharapkan mampu lebih memperindah, mencerahkan dan menaikkan level
ekonomi.
Pasca rilis data Sensus Ekonomi 2016 akan terlihat potret terbaru
perekonomian Provinsi Jambi dengan segala warna-warni yang ada.
Pemerintahan saat ini tentu akan membingkainya dalam regulasi dan
kebijakan sesuai visi-misi yang kemarin mereka janjikan untuk
dituntaskan. Kabinet kerja profesional tentu akan mendengarkan pandangan
para ahli yang berkompeten menilai potret terbaru tersebut. Beberapa
“pengarah gaya” tentu akan memberi pandangan agar model dalam potret
tersebut menjadi semakin terlihat anggun dan exclusive sehingga menaikkan nilai jual.
Perubahan corak perekonomian dalam ilmu ekonomi dikenal dengan
transformasi struktural. Perubahan yang terjadi semestinya tidak hanya
terjadi dalam struktur ekonomi tetapi juga dalam struktur
ketenagakerjaan. Arah perubahan struktur ekonomi di Provinsi Jambi tidak
terjadi sebagaimana yang diharapkan. Semestinya ekonomi bergeser dari
dominasi sektor primer ke sektor sekunder dan berlanjut ke sektor
tersier, namun yang terjadi adalah kembalinya dominasi primary sector kedalam struktur perekonomian setelah de-industrialisasi.
Bagai lukisan abstrak-kah ekonomi Jambi ? Waktulah yang akan
menunjukkan kemana aliran pelukis-pelukis ekonomi Jambi berkiblat;
naturalis-kah, surealis-kah atau aliran yang lain.
Penulis mengajak kita semua, ikut berpartisipasi mewarnai
perekonomian, sebagai pelaku ekonomi; konsumen, produsen dan tentu saja
pemerintah. Untuk Jambi yang lebih berwarna, untuk Jambi yang lebih baik.
di posting dalam rubrik Ragam, mediajambi 3 september 2016 (mediajambi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar