Sabtu, 20 Februari 2021

Surplus : Ambiguitas dalam Konteks Interregional

Sepanjang tahun 2020, neraca perdagangan luar negeri secara nasional masih mencatatkan kondisi surplus. Meskipun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya surplus itu tergerus, namun ini menunjukkan bahwa nilai ekspor masih lebih besar daripada nilai impor. Komponen ekspor (X) dalam pembentukan nilai produk domestik bruto (PDB) pada periode yang sama berkontribusi sebesar 17,17 persen, sementara komponen impor (M) memiliki pangsa 16,02 persen sehingga komposisi ekspor neto (X-M) dalam PDB pun bernilai positif, yaitu sekitar 1,15 persen. Ekspor dan impor dalam konteks penghitungan PDB terkait terminologi “domestik” dibatasi oleh konsep wilayah negara/nasional, dalam hal ini tentu NKRI. Barang atau jasa yang bergerak melewati batasan tersebut yang akan menentukan sebuah nilai dikatakan sebagai ekspor (jika keluar) atau impor (jika masuk).

Analog dengan hal tersebut, dalam perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB) yang dikatakan “domestik” tentu dibatasi oleh konsep wilayah sebuah region, bisa provinsi/kabupaten/kota dan seterusnya sampai area terkecil yang memungkinkan untuk dijadikan batasan. Namun demikian bukan tidak mungkin sebuah region bisa saja melakukan ekspor maupun impor melewati batas negara, sehingga kedua komponen tersebut dalam perhitungan PDRB akan mencakup ekspor luar negeri maupun antar daerah/region dan juga impor luar negeri maupun antar daerah/region.

Nilai perdagangan luar negeri pada setiap bulan nya selalu dirilis dalam berita resmi statistik oleh BPS sampai level provinsi sehingga untuk neraca perdagangan luar negeri dari masing-masing provinsi pun dapat diketahui oleh publik. Sementara itu besaran PDRB yang memuat komponen ekspor neto (expenditure approach) dirilis secara triwulanan. Mencermati kedua jenis pemberitaan sebagaimana tersebut (waktu rilis nya berbeda) akan memperlihatkan kondisi yang lebih utuh tentang ketergantungan ekonomi sebuah wilayah dengan wilayah lain diluar region tersebut. Alih alih memberikan sebuah informasi, bisa jadi rilis ekspor-impor pada skala provinsi justru menimbulkan ambiguitas jika pemerhati tidak menyandingkannya dengan rilis PDRB. Bisa jadi sebuah region mencatatkan surplus perdagangan luar negeri sepanjang tahun 2020 tapi komposisi ekspor neto dalam PDRB nya bernilai negatif.

Sebagai contoh, pada periode tahun 2020 perdagangan luar negeri Provinsi Bengkulu mengalami surplus artinya nilai ekspor komoditas dari Bengkulu keluar negeri lebih besar daripada nilai impor (barang/jasa) dari luar negeri. Namun jika dilihat pangsa ekspor (X) dalam pembentukan PDRB provinsi Bengkulu, nilainya jauh lebih kecil daripada pangsa impor (M). Komponen ekspor memberikan kontribusi 33,5 persen terhadap total PDRB Bengkulu, sedangkan impor memiliki pangsa sebesar 60,7 persen sehingga menjadikan ekspor neto (X-M) berkontribusi negatif dalam pembentukan PDRB yaitu sekitar minus 27,2 persen. Ketika dikatakan Bengkulu mengalami surplus perdagangan luar negeri tentu akan menjadi headline pemberitaan yang menggambarkan kinerja positif sebuah perekonomian, namun rilis PDRB pada kesempatan berikut sangat jarang menyoroti komposisi persamaan makro ekonomi dan cenderung melihat kinerja sektoral/lapangan usaha.

Ilustrasi tentang ekspor neto sebagai indikator makro ekonomi untuk kasus Bengkulu menyiratkan bahwa sebenarnya ekonomi Bengkulu memiliki ketergantungan yang relatif tinggi dengan daerah lain diluar Bengkulu. Bengkulu tentu bukanlah satu-satunya daerah yang memiliki ketergantungan dengan wilayah lain jika dilihat dari besaran ekspor neto dalam pembentuk PDRB. Setidaknya ada 5 provinsi di Sumatera (termasuk Bengkulu) yang memiliki pangsa ekspor neto negatif; Sumatera Selatan sebesar minus 8,39 persen, Lampung minus 5,65 persen, Aceh minus 24,23 persen dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar minus 4,10 persen. Provinsi lain di Sumatera memiliki ekspor neto positif; Jambi sebesar 20,25 persen, Sumatera Utara 7,28 persen, Sumatera Barat 2,76 persen, Kepulauan Riau 7,22 persen dan Riau sebesar 22,18 persen.

Jika disandingkan dengan tingkat kemiskinan berdasarkan data persentase jumlah penduduk miskin (kondisi September 2020) seolah memiliki korelasi, dimana ternyata 4 dari 5 provinsi dengan ekspor neto negatif adalah daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sumatera; Bengkulu 15,3 persen, Sumatera Selatan 12,7 persen, Lampung 12,76 persen dan Aceh 15,43 persen. Hanya Bangka Belitung yang persentase jumlah penduduk miskin-nya relatif kecil (4,89 persen) walaupun ekspor neto nya bernilai negatif. Sedangkan persentase penduduk miskin pada 5 provinsi dengan nilai ekspor neto positif ternyata relatif lebih kecil (satu digit); Jambi 7,97 persen, Sumatera Utara 9,14 persen, Sumatera Barat 6,56 persen, Kepulauan Riau 6,13 persen dan Riau sebesar 7,04 persen. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Korelasi sebagai sebuah ukuran keeratan hubungan kausalitas secara matematis bisa saja dihitung terhadap besaran apapun. Namun demikian tentu sebuah hubungan harus didasarkan atas teori ilmiah yang bersesuaian sebelum ukuran keeratannya boleh dimaknai.

Kemiskinan yang dihitung atas konsepsi kebutuhan dasar dalam membangun garis kemiskinan (GK) sebagai pembatas antara miskin dan tidak miskin tentu sangat erat kaitannya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan minimum. Sama halnya dengan sebuah wilayah yang akan selalu berusaha mencukupi kebutuhan minimum wilayahnya baik dari produksi domestik maupun impor. Dengan jumlah penduduk miskin yg relatif tinggi dan ekspor neto bernilai negatif, namun inflasi Bengkulu sepanjang tahun 2020 bisa dikatakan cukup rendah. Sekedar catatan bahwa inflasi bisa didefinisikan sebagai indikasi kenaikan harga barang/jasa secara umum, namun dalam hal ini tidak bisa dikatakan sebuah wilayah dengan inflasi yg rendah memiliki harga lebih rendah dibanding daerah lain dengan inflasi yg lebih tinggi. Inflasi menggambarkan “perubahan harga” yg terjadi dari kondisi sebelumnya. Boleh jadi harga barang X di Bengkulu memang pada waktu yg sama sudah lebih tinggi daripada harga di daerah lain, sehinga ketika terjadi deflasi sekalipun di Bengkulu tidak akan membuat harga barang tersebut menjadi lebih rendah daripada di daerah lain yg mengalami inflasi. Disinyalir inflasi yg terpantau rendah sepanjang 2020 bukan disebabkan oleh melimpahnya penyediaan namun lebih disebabkan oleh daya beli konsumen yang rendah.

Jika dikaitkan dengan besarnya nilai minus ekspor neto Bengkulu, ketersediaan (supply) barang/jasa lebih bergantung pada impor yang menyebabkan margin perdagangan terbebani juga oleh margin pengangkutan. Ketika rilis pertumbuhan ekonomi memperlihatkan bahwa pandemi berdampak pada menurunnya kinerja sektor perdagangan dan sektor transportasi, sepertinya faktor ketergantungan terhadap wilayah lain sangat memengaruhi. Kontraksi pada sektor industri kemungkinan juga secara tidak langsung disebabkan oleh hal ini jika ternyata penyediaan bahan baku industri pun belum mampu diproduksi oleh domestik.

Banyak hal harus dicermati supaya ambiguitas tidak membayang-bayangi. Memahami sesuatu butuh ketelitian untuk tidak tergesa menjustifikasi persoalan. Benang kusut tak kan bisa dipintal, perlu diurai satu persatu. Kalau hanya bisa membual jangan harap negeri ini maju. (BK)

 https://www.bengkulutoday.com/surplus-ambiguitas-dalam-konteks-interregional

https://www.garudadaily.com/ketergantungan-sebuah-candu-perekonomian


Senin, 08 Februari 2021

Tumbuh, kok Minus ?!

Pasca rilis berita resmi statistik oleh BPS terkait pertumbuhan ekonomi tahun 2020, tahun yang dibayangi pandemi, media massa pun seakan kompak menuliskannya sebagai berita utama. Kata “kontraksi” diambil sebagai istilah lain yang dipakai oleh para penulis untuk menggantikan terminologi “pertumbuhan minus” dalam mendeskripsikan apa yg tengah terjadi dalam perekonomian. Alih-alih mampu membumikan cerita tentang kinerja perekonomian dalam kurun setahun, awam mungkin malah terjebak dalam bayang-bayang imajinasinya masing-masing. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) antara lain mengartikan kata kontraksi sebagai “pengerutan” (sehingga sebuah benda menjadi berkurang panjangnya).

Dalam terminologi kebahasaan (linguistik) istilah kontraksi adalah pemendekan suatu kata, suku kata, atau gabungan kata dengan cara penghilangan huruf yang melambangkan font di dalam kata tersebut. Kontraksi dalam tata bahasa tradisional, dapat mengakibatkan pembentukan kata baru dari kata yang disingkat tersebut. Hal ini umum terjadi terutama untuk tujuan memudahkan dan mempercepat pengucapan suatu kata dalam percakapan sehingga terdengar lancar dan luwes. Contoh kasus dalam bahasa Indonesia, kontraksi banyak terjadi pada bahasa tuturan ragam non formal. Hal ini disebabkan karena dalam tuturan non formal atau tuturan sehari-hari, para penutur ingin berbicara secepat mungkin dan sehemat mungkin tenaga. Penyingkatan-penyingkatan tersebut muncul misalnya pada kata-kata seperti “tidak” menjadi “tak”; “kenapa” menjadi “napa”; “enggak” menjadi “gak”; “sebentar” menjadi “ntar”; dan lain sebagainya.

Mendengar kata kontraksi sepintas bahkan mungkin terlintas pikir tentang wajah cemas seorang bumil akibat sesuatu yang menjadikannya hasus menahan sakit. Tapi kita tentu tidak sedang membicarakan hal tersebut walau mungkin jika dihubung-hubungkan, ada saja yg menjadikannya berhubungan, setidaknya secara asal-usul kata. Bicara tentang tumbuh (pertumbuhan), video iklan sebuah produk yang masih bisa kita ingat pernah memakai tagline, “tumbuh itu keatas, bukan kesamping …” untuk mengatakan produknya bisa menambah tinggi badan dan menjadikan postur ideal (seimbang dengan berat badan). Jika demikian maka kemanakah arah tumbuh yang terbayang untuk istilah tumbuh minus (negatif) ?!

Pandemi memang menjadikan kinerja perekonomian baik nasional maupun regional mengalami kontraksi, sebuah kondisi perekonomian dimana jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya tidak mengalami peningkatan, bahkan justru sebaliknya. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ataupun produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai proxy pertumbuhan ekonomi yang telah dirilis oleh BPS memang memperlihatkan kondisi tersebut hampir merata diseantero nusantara. PDB merupakan sebuah besaran yang mengakumulasikan keseluruhan nilai tambah (value added) yang berhasil diciptakan dalam perekonomian suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Nilai tambah yang dihitung tentu saja mencakup seluruh komoditas ekonomi, baik berbentuk barang maupun jasa, sebagai sebuah “nilai” yang memang berhasil ditambahkan kedalam bentuk mula sebuah produk melalui sebuah proses produksi yang melibatkan berbagai faktor produksi sehingga merubahnya menjadi bentuk lain yang lebih bernilai secara ekonomis.

Sepotong pisang goreng yang dijajakan dipinggir jalan adalah bentuk lain buah pisang setelah seorang tukang gorengan menambahkan sebuah “nilai” melalui serangkaian proses produksi. Tukang gorengan adalah sebuah objek penanda kemana nilai tambah yang tercipta akan dikelompokkan dalam penyajian besaran PDB menurut sisi produksi (production approach) atau BPS biasa menyebutnya sebagai PDB menurut lapangan usaha. Tukang gorengan tentu juga akan beroleh surplus atas usaha nya memproduksi dan menjajakan gorengan, bersama beribu tukang gorengan yang lain. Surplus atas usaha, yang diperoleh oleh siapa pun atas bentuk usaha apa pun merupakan salah satu komponen nilai tambah bruto sebagai balas jasa atas kepemilikan faktor produksi (dalam hal ini adalah “entrepreneurship”), selain balas jasa atas faktor produksi lainnya. Penghitungan PDB dari akumulasi balas jasa faktor produksi disebut dengan pendekatan sisi pendapatan (income approach), biasanya hanya akan terlihat dalam sebuah Tabel Input Output. PDB dari sisi pengeluaran (expenditure approach) adalah bentuk lain yang biasa dihitung dan disajikan oleh BPS. Pada contoh kasus pisang goreng, pembeli yang mengkonsumsi pisang goreng tersebut akan menjadi penanda kemana jenis pengeluaran akan dikelompokkan (dalam hal ini tentu sebagai kelompok komponen Konsumsi Rumah Tangga). Sebuah proses pencatatan kegiatan perekonomian dalam suatu wilayah yang komprehensif terkait pelaku, baik dari sisi produsen maupun konsumen, jenis kegiatan, dan bagaimana proses produksi maupun distribusi-nya bukanlah sesuatu yang mudah hingga akhirnya mewujud dalam sebuah besaran indikator yang disebut “pertumbuhan”.

Senada dengan fenomena nasional, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu pun tumbuh minus walau hanya pada kisaran “nol koma nol sekian persen”. Perekonomian dalam kondisi normal semestinya memang akan mengalami pertumbuhan dari waktu kewaktu bahkan tanpa adanya campur tangan pemerintah sekalipun, bagaikan ilalang yang tak kenal musim. Ekonomi tentu saja tidak akan sekedar tumbuh bagai ilalang, jika pemerintah berhasil merekayasa strategi kebijakan dari sisi moneter maupun fiskal. Dalam runtun waktu (time series), perekonomian diharapkan selalu memiliki kecenderungan (trend) menaik dengan pola musiman (seasonal) yang terkontrol dalam sebuah siklus (cyclical) dengan pola yang terpetakan. Harapan semacam ini yang menjadikan istilah “tumbuh” selalu disematkan dalam rilis perkembangan perekonomian, maka istilah “tumbuh minus” pun menjadi biasa didengungkan.

Covid-19 seolah menjadi kambing hitam dalam hampir semua sebab kegagalan pada tahun 2020 dan hingga kini masih membayang-bayangi, sebuah variasi tak beraturan (irregular variation) dan menjadi sesuatu yg masih sulit diramalkan dalam kerangka analisa deret berkala atas kinerja perekonomian. Sebenarnya dengan besaran “nol koma nol sekian persen”, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu bisa dikatakan tidak berbeda nyata dengan kondisi sebelumnya. Tanda negatif/minus hanya menunjukkan bahwa besaran angka nya lebih kecil (<) dari tahun lalu. Besaran ini juga mengatakan bahwa PDRB provinsi Bengkulu tahun ini sama dengan “sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan sekian persen” PDRB tahun lalu, lantas dimana signifikansi pengaruh pandemi ?

Struktur PDRB tahun 2020 tidak menunjukkan adanya perubahan pangsa lapangan usaha dan relatif sama dengan tahun sebelumnya dengan “pertanian” sebagai kontributor utama (28%) diikuti “perdagangan” (14%) dan “administrasi pemerintahan” (10%). Dari ketiganya hanya “perdagangan” yang mengalami kontraksi sementara dua sektor yg lain masih bisa tumbuh positif. “Transportasi” dan “industri” adalah dua sektor utama lainnya yang juga mengalami kontraksi, sementara “jasa pendidikan” dan “konstruksi” memberikan kontribusi positif disisi lain. Ketujuh sektor yang disebutkan diatas setidaknya berkontribusi atas hampir 80 persen pangsa PDRB Provinsi Bengkulu.

Dengan postur yang hampir mirip dengan kondisi tahun sebelumnya, setidaknya pandemi telah berhasil menorehkan riasan baru pada wajah perekonomian Bengkulu. Sektor yang membutuhkan keterlibatan lebih banyak interaksi pelaku ekonomi terlihat lebih terdampak pandemi (perdagangan, transportasi, industri), berbeda dengan sektor yang tidak perlu melibatkan banyak pelaku. Administrasi pemerintahan memang tetap dijalankan dengan sebagian pola work from home dan fokus pada penanggulangan dampak pandemi, demikian halnya “jasa pendidikan” yang menerapkan pola daring. Kinerja positif sektor konstruksi lebih pada proyek infrastruktur pemerintah yang masih dipertahankan keberlanjutannya. Pertanian (mencakup semua subsektor) menjadi tumpuan harapan sebagian besar masyarakat, terlebih dimasa pandemi. Karakteristik sektor ini menjadikannya gampang dimasuki oleh siapapun sebagai pelaku, bahkan untuk sekedar menjadikannya sebagai subsisten. Hampir 47 persen penduduk Bengkulu bekerja di sektor pertanian dan hanya sekitar 16 persen yang menggeluti sektor perdagangan (Survei Angkatan Kerja Nasional) sehingga secara sosial ekonomi sepertinya pandemi belum/tidak terlihat memberikan pengaruh nyata dalam perekonomian.

Bagaimana postur PDRB sisi pengeluaran ? Komposisi komponen pembentuk PDRB pengeluaran juga relatif sama (untuk tidak mengatakannya sama persis) dengan kondisi tahun sebelumnya, antara lain dengan 63 persen Konsumsi Rumah Tangga, 41 persen PMTB, 19 persen Konsumsi Pemerintah, dan 2 persen Konsumsi LNPRT, serta “ekspor netto” yang masih menjadi faktor pengurang (bernilai negatif). Kinerja sisi pengeluaran bisa dibilang tidak berbeda nyata dengan kondisi tahun 2019 kecuali kinerja investasi yang sedikit terlihat menurun disamping kinerja ekspor yang juga terindikasi terdampak oleh kondisi pasar global yang mengakibatkan turunnya permintaan.

New normal yang digagas untuk merubah mindset masyarakat terhadap pandemi seiring waktu justru perlahan menjadi bumerang akibat sikap apatis yang menggejala. Jika tak hendak membuat akar rumput perekonomian ikut tercerabut bahkan ketika kecambah nya mulai bertunas dan kambing hitam covid berniat menggagalkannya bertumbuh, mari kita pagari ladang ekonomi ini. Kelak kalo rumputnya sudah menghijau, kita akan memelihara beberapa ekor kambing, tapi tentu bukan yang hitam. Bukan juga yang putih, karena katanya “kambing putih” itu istilah lain dari pencitraan. Sampai hari ini sebagian besar kita sepertinya masih kompak menjadikan pandemi sebagai kambing hitam, sebagai segala bentuk penyebab kegagalan seolah melupakan pengakuan diri atas kebertuhanan. Cobaan, ujian atau hukuman ? atau mungkin pandemi sekaligus merupakan wujud ketiga-tiganya ?!

https://bengkulu.siberindo.co/07/02/2021/tumbuh-kok-minus

https://www.bengkulutoday.com/tumbuh-kok-minus

https://www.garudadaily.com/mengkambinghitamkan-pandemi-dalam-kontraksi-ekonomi


Kamis, 04 Februari 2021

Kepariwisataan : benarkah sebuah pilihan ?

Ide atau ajakan membangkitkan kepariwisataan dimasa pandemi covid masih saja mengemuka, baik ditataran nasional maupun regional. Bak menggapai langit, sungguh ini bukan pekerjaan mudah. Menjamin rasa aman atas kemungkinan tidak terpapar virus butuh upaya ekstra. Jika pun penjamin (dalam hal ini otoritas pemerintah) mengatakan bisa menjamin, namun keyakinan untuk merasa aman tetaplah menjadi putusan pribadi masyarakat selaku pelaku kegiatan. Data pengumpulan dana pihak ketiga pada industri perbankan yg katanya menembus angka seribu trilyun, setidaknya memperlihatkan bahwa masyarakat (utamanya kelas menengah) masih menahan diri untuk melakukan aktivitas dan konsumsi.

Bengkulu sebagai daerah potensi wisata pun ingin bangkit. Namun tentu patut ditelisik lebih jauh, apakah memang percepatan kebangkitan kepariwisataan memiliki efek pengganda yg besar untuk kemaslahatan dan cukup efektif mendorong percepatan kinerja perekonomian secara umum. Setidaknya ada 2 (dua) indikator dari Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis oleh BPS setiap bulannya terkait kepariwisataan yang bisa disimak. Rata-rata tingkat penghunian kamar hotel sepanjang tahun 2020 hanya mencapai 37,69 persen, jauh dibawah rata-rata dua tahun sebelumnya yang mencapai 62,32 persen (2019) dan 66,26 persen (2018). Data untuk periode Maret-Desember (pandemi) bahkan hanya mencapai 35 persen perbulan, padahal untuk periode yg sama di tahun sebelumnya bisa mencapai lebih dari 68 persen per bulan. Indikator lain adalah data transportasi udara (penerbangan) dari bandara utama (Fatmawati International Airport) yang terlihat senada dengan pergerakan data hunian hotel. Jumlah penumpang rata-rata perbulan sepanjang tahun 2020 hanya sebanyak 30.436 orang, dimana pada dua tahun sebelumnya mampu mencapai 64.533 orang (2019) dan 89.035 orang (2018) setiap bulannya. Khusus pada masa pandemi, jumlah penumpang pesawat tercatat hanya sekitar 27 ribu orang saja perbulannya, padahal biasanya bisa mencapai hampir 90 ribu orang sebelum pandemi.

Sebenarnya indikasi mulai menurunnya kinerja kepariwisataan sudah terlihat bahkan sebelum pandemi covid-19 menyerang dan menjadi hantu gentayangan sepanjang tahun 2020 hingga kini. Kepariwisataan sangat dekat dengan kebutuhan ide kreatif yang seolah ditantang atau diuji oleh adanya pandemi. Tidak untuk mengatakan bahwa membangkitkan kepariwisataan bukanlah hal yang penting, namun sangatlah bijak untuk membaca skala prioritas dalam perencanaan percepatan kinerja perekonomian. Tingkat ketebalan lapis demi lapis golongan masyarakat secara ekonomi sebuah wilayah menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan jenis suntikan kedalam perekonomian. Sama halnya jenis vaksin covid yang masih menjadi perdebatan.

Rilis BRS lainnya menyebutkan, transaksi perdagangan luar negeri Provinsi Bengkulu sepanjang tahun 2020 masih menunjukkan kondisi surplus sebesar US$ 150,45 juta, dengan nilai ekspor US$ 153,73 juta dan impor sebesar US$ 3,27 juta. Meskipun nilai surplus perdagangan ini lebih kecil dibanding tahun 2019 (turun 16,82 persen), tapi masih memperlihatkan kinerja positif. Jika dilihat jenis komoditi ekspor utamanya adalah Batubara dan Karet, menyusul kemudian CPO. Batubara sebagian besar diekspor ke India dan Philipina, sementara karet utamanya dikirim ke Spanyol dan juga India.

Butuh perhitungan lebih rumit untuk memastikan manakah yg lebih berdampak ganda kedalam perekonomian Bengkulu, kepariwisataan atau kah sektor lain. Pengganda dalam perekonomian setidaknya memperhitungan fakto-faktor produksi, baik dari sisi kepemilikan dan atau ketersediaannya dalam wilayah (domestik). Pengganda output dan pengganda tenaga kerja menjadi bahasan umum dalam melihat luasan capaian kinerja perekonomian suatu wilayah. Jika bicara komoditas ekspor utama sebagaimana disebutkan diatas tentu terbayang siapa dan berapa banyak yang terlibat dibalik produksi komoditas tersebut. Demikian halnya dengan sektor kepariwisataan, juga bisa dibayangkan.

Keterlibatan tentu tidak hanya cerita siapa dan berapa yg sudah terlibat, tetapi seberapa banyak lagi yang bisa dilibatkan untuk bisa memperkirakan keberlanjutan percepatan putaran roda perekonomian. Besaran output memang belum se-sempurna nilai tambah (value added). Masih banyak diperlukan sentuhan kreatif teknologi untuk menjadikan output maksimal menjadi sebuah nilai tambah dalam perekonomian. Terkait kajian sumber pertumbuhan (source of growth) nilai tambah perekonomian, BPS akan merilis data Produk Domestik Bruto tahun 2020 pada tanggal 5 Februari nanti. Mari belajar dari sesuatu yg belum sempurna menuju sebuah kesempurnaan.

https://www.garudadaily.com/kepariwisataan-benarkah-sebuah-pilihan


buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...