Tidak ada yang tidak
mugkin untuk dapat terjadi jika Yang Maha Kuasa menghendaki. Tetapi jika
“penguasa” yang menghendaki tentulah belum pasti terjadi. Suksesi kepemimpinan
Negeri Jambi menyanyikan tema perbaikan negeri dengan mengusung janji menjadi
lebih baik. Lagu para calon pemimpin yang terdengar relatif senada, meskipun
belum dapat dipastikan apakah syairnya menyiratkan kesungguhan atau hanya
kepura-puraan.
Berita Resmi Statistik
yang dirilis oleh BPS tentang kinerja perekonomian Provinsi Jambi mengatakan
bahwa ekonomi Jambi tumbuh sebesar 7,9 persen pada tahun 2014, sebuah
pencapaian yang cukup fantastis untuk sebuah perekonomian. Bahkan secara
eksplisit disebutkan sebagai sebuah kinerja positif yang terus terjaga dalam
kurun lima tahun terakhir (sub judul BRS BPS Provinsi Jambi,
No.11/02/15/Th.IX). Jika ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah baik,
pertanyaan yang sama dengan judul tulisan ini patut diulangi, bisakah Jambi
lebih baik (lagi) ?
Kinerja perekonomian yang diukur dari pertumbuhan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setidaknya bisa dikupas lebih dalam
menurut masing-masing komponen penyusunnya. PDRB dapat dihitung melalui 3
pendekatan; pendekatan produksi (production
approach), pendekatan pengeluaran (expenditure
approach), dan pendekatan pendapatan (income
approach). Mulai tahun ini BPS merilis hasil perhitungan PDRB sisi produksi
berbasis System National Account
(SNA) 2008. Pertanian (secara umum) merupakan kategori lapangan usaha yang
menjadi sumber pertumbuhan (source of
growth) utama (3,3 persen) ekonomi Jambi tahun 2014, disusul Pertambangan
(1,1 persen) dan Perdagangan (0,9 persen). Pertanian maupun Pertambangan memang
merupakan dua kategori yang memiliki kontribusi besar dalam struktur ekonomi
Jambi selama ini, namun yang patut menjadi perhatian adalah kecenderungan
Pertambangan menggeser Pertanian. Ketahanan pangan menjadi sebuah hal
tersendiri didalam Pertanian yang harus diwaspadai. Andil Perdagangan terlihat
mulai menggerus peranan Industri.
Diduga adanya suatu
korelasi positif antara pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi. Pertumbuhan
yang berkesinambungan dalam jangka panjang akan membawa perubahan ekonomi lewat
efek dari sisi permintaan dan pada gilirannya perubahan tersebut akan menjadi
faktor pemicu pertumbuhan ekonomi. Teori
tentang transformasi struktur ekonomi bisa menjawab pertanyaan kita, BPS bahkan
menyediakan indikator ketenagakerjaan sebagai data pelengkap (angka
pengangguran, misalnya).
Transformasi
struktural merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor
pertanian ke sektor industri atau jasa dan masing-masing perekonomian/negara
akan mengalami transformasi yang berbeda-beda. Transformasi struktural adalah
gejala ilmiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah
berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan
antara lain oleh dampak dari suatu kebijakan, perubahan sumber daya, penduduk
maupun keadaan sosial yang sifatnya permanen. Proses transformasi struktural
yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari penerapan kebijakan pembangunan
jangka panjang yang terencana. Kebijakan rekayasa transformasi struktural diperlukan
untuk memaksimalkan dampak positif dari transformasi tersebut dalam
perekonomian.
Banyak yang
sependapat bahwa salah satu syarat perlu (necessary
condition) untuk dapat dicapainya transformasi struktural dari pertanian
(primer) ke industri manufaktur (sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor
pertanian dan sektor industri yang tangguh (Kuncoro 1996). Implikasi penting
dari model perubahan struktural Gollin et
al. (2002) yang merupakan
pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik adalah bahwa pertumbuhan
produktivitas sektor pertanian merupakan kunci penting proses pertumbuhan.
Data pada level nasional menunjukkan, pergeseran struktur PDB tidak diikuti perubahan pangsa
tenaga kerja sehingga transformasi struktural perekonomian Indonesia tidak
sebaik negara-negara berkembang lainnya. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan pola yang
tidak biasa (unusual pattern) dan
bertentangan dengan teori perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat
produktifitas tenaga kerja memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang
terjadi bahwa sebenarnya tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak
beralih ke sektor yang produktifitasnya lebih tinggi. Hal yang sama sepertinya
terjadi juga di Jambi.
Pendekatan lain perhitungan PDRB; menurut pengeluaran,
menunjukkan bahwa komponen konsumsi rumahtangga adalah sumber pertumbuhan utama
yang menggerakkan perekonomian (2,0 persen) diiringi konsumsi pemerintah (1,7
persen). Perhatikan kedua komponen tersebut dalam persamaan makro ekonomi
(biasa dituliskan sebagai C dan G) dimana Y=C+G+I+NX. Harapan untuk menjadikan
komponen pembentukan modal tetap bruto (I) maupun ekspor netto (NX) sebagai sumber pertumbuhan utama masih menuntut kinerja
yang lebih baik. Penciptaan iklim investasi dan ekspansi ekspor masih sangat
dibutuhkan.
Tabel Input Output menjadi salah satu alat untuk
melihat PDRB dari sisi pendapatan. Data terakhir menyebutkan bahwa jika dilihat
dari balas jasa faktor produksi yang diterima, surplus usaha merupakan komponen
dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB. Pertanyaannya adalah
siapakah pelaku usaha yang menerima balas jasa tersebut ? Data ketenagakerjaan
lah yang bisa menjawabnya. Jika sebagian besar masyarakat Jambi merupakan
pelaku usaha sebagaimana dimaksud maka sangatlah elok. Namun jika sebagian
besar masyarakat ternyata masih mengandalkan upah/gaji, sungguh sangat
disayangkan karena komponen ini masih kecil kontribusinya dalam pembentukan
PDRB sisi pendapatan.
Mengiringi data PDRB, gambaran kondisi ekonomi
konsumen dapat dilihat dari angka Indeks Tendensi Konsumen (ITK). Indeks ini
dihitung setiap triwulan untuk menggambarkan tingkat optimismen konsumen
terhadap perekonomian pada triwulan berjalan. Variabel pembentuk ITK terdiri
atas; pendapatan rumah tangga, kaitan inflasi terhadap konsumsi, serta tingkat
konsumsi beberapa komoditi.
Sejak pertama kali diluncurkan (triwulan I tahun
2011) sampai triwulan IV tahun 2014, ITK provinsi Jambi selalu berada di level
optimis (diatas angka 100). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Jambi
cenderung untuk selalu optimis melihat perekonomian. Pendapatan bukanlah hal
yang membayangi optimisme konsumen, naik turunnya harga juga tidak menjadi
persoalan serius yang mempengaruhi konsumsi. Pola konsumsi konsumen di Jambi
pun ternyata cukup fleksibel untuk menyesuaikan.
Tendensi konsumen di Jambi memperlihatkan pola
seasonal, perlahan meningkat dari triwulan pertama ke triwulan kedua dan
mencapai puncak pada triwulan ketiga, selanjutnya sedikit menurun di triwulan
keempat, namun kesemuanya masih di level optimis.
Optimisme konsumen yang sedemikian menjanjikan,
ditengah kinerja perekonomian yang sedemikian rupa menantikan kepemimpinan
cerdas dengan ide-ide bernas untuk Jambi yang lebih baik (lagi). Sekali lagi
kita kembali bertanya, bisakah ?! Silahkan, anda pasti tahu jawabannya. publish@jambiekspres
dimuat dalam OPINI harian Jambi Ekspres, Rabu 11 Maret 2015