Rabu, 11 Maret 2015

Bisakah Jambi Lebih Baik (lagi) ?

Tidak ada yang tidak mugkin untuk dapat terjadi jika Yang Maha Kuasa menghendaki. Tetapi jika “penguasa” yang menghendaki tentulah belum pasti terjadi. Suksesi kepemimpinan Negeri Jambi menyanyikan tema perbaikan negeri dengan mengusung janji menjadi lebih baik. Lagu para calon pemimpin yang terdengar relatif senada, meskipun belum dapat dipastikan apakah syairnya menyiratkan kesungguhan atau hanya kepura-puraan.
Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh BPS tentang kinerja perekonomian Provinsi Jambi mengatakan bahwa ekonomi Jambi tumbuh sebesar 7,9 persen pada tahun 2014, sebuah pencapaian yang cukup fantastis untuk sebuah perekonomian. Bahkan secara eksplisit disebutkan sebagai sebuah kinerja positif yang terus terjaga dalam kurun lima tahun terakhir (sub judul BRS BPS Provinsi Jambi, No.11/02/15/Th.IX). Jika ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah baik, pertanyaan yang sama dengan judul tulisan ini patut diulangi, bisakah Jambi lebih baik (lagi) ?
Kinerja perekonomian yang diukur dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setidaknya bisa dikupas lebih dalam menurut masing-masing komponen penyusunnya. PDRB dapat dihitung melalui 3 pendekatan; pendekatan produksi (production approach), pendekatan pengeluaran (expenditure approach), dan pendekatan pendapatan (income approach). Mulai tahun ini BPS merilis hasil perhitungan PDRB sisi produksi berbasis System National Account (SNA) 2008. Pertanian (secara umum) merupakan kategori lapangan usaha yang menjadi sumber pertumbuhan (source of growth) utama (3,3 persen) ekonomi Jambi tahun 2014, disusul Pertambangan (1,1 persen) dan Perdagangan (0,9 persen). Pertanian maupun Pertambangan memang merupakan dua kategori yang memiliki kontribusi besar dalam struktur ekonomi Jambi selama ini, namun yang patut menjadi perhatian adalah kecenderungan Pertambangan menggeser Pertanian. Ketahanan pangan menjadi sebuah hal tersendiri didalam Pertanian yang harus diwaspadai. Andil Perdagangan terlihat mulai menggerus peranan Industri.
Diduga adanya suatu korelasi positif antara pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi. Pertumbuhan yang berkesinambungan dalam jangka panjang akan membawa perubahan ekonomi lewat efek dari sisi permintaan dan pada gilirannya perubahan tersebut akan menjadi faktor pemicu pertumbuhan ekonomi. Teori tentang transformasi struktur ekonomi bisa menjawab pertanyaan kita, BPS bahkan menyediakan indikator ketenagakerjaan sebagai data pelengkap (angka pengangguran, misalnya).
Transformasi struktural merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri atau jasa dan masing-masing perekonomian/negara akan mengalami transformasi yang berbeda-beda. Transformasi struktural adalah gejala ilmiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan antara lain oleh dampak dari suatu kebijakan, perubahan sumber daya, penduduk maupun keadaan sosial yang sifatnya permanen. Proses transformasi struktural yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari penerapan kebijakan pembangunan jangka panjang yang terencana. Kebijakan rekayasa transformasi struktural diperlukan untuk memaksimalkan dampak positif dari transformasi tersebut dalam perekonomian.
Banyak yang sependapat bahwa salah satu syarat perlu (necessary condition) untuk dapat dicapainya transformasi struktural dari pertanian (primer) ke industri manufaktur (sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh (Kuncoro 1996). Implikasi penting dari model perubahan struktural Gollin et al. (2002) yang merupakan pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik adalah bahwa pertumbuhan produktivitas sektor pertanian merupakan kunci penting proses pertumbuhan.
Data pada level nasional menunjukkan, pergeseran struktur PDB tidak diikuti perubahan pangsa tenaga kerja sehingga transformasi struktural perekonomian Indonesia tidak sebaik negara-negara berkembang lainnya. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan pola yang tidak biasa (unusual pattern) dan bertentangan dengan teori perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat produktifitas tenaga kerja memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang terjadi bahwa sebenarnya tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang produktifitasnya lebih tinggi. Hal yang sama sepertinya terjadi juga di Jambi.
Pendekatan lain perhitungan PDRB; menurut pengeluaran, menunjukkan bahwa komponen konsumsi rumahtangga adalah sumber pertumbuhan utama yang menggerakkan perekonomian (2,0 persen) diiringi konsumsi pemerintah (1,7 persen). Perhatikan kedua komponen tersebut dalam persamaan makro ekonomi (biasa dituliskan sebagai C dan G) dimana Y=C+G+I+NX. Harapan untuk menjadikan komponen pembentukan modal tetap bruto (I) maupun ekspor netto (NX) sebagai sumber pertumbuhan utama masih menuntut kinerja yang lebih baik. Penciptaan iklim investasi dan ekspansi ekspor masih sangat dibutuhkan.
Tabel Input Output menjadi salah satu alat untuk melihat PDRB dari sisi pendapatan. Data terakhir menyebutkan bahwa jika dilihat dari balas jasa faktor produksi yang diterima, surplus usaha merupakan komponen dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB. Pertanyaannya adalah siapakah pelaku usaha yang menerima balas jasa tersebut ? Data ketenagakerjaan lah yang bisa menjawabnya. Jika sebagian besar masyarakat Jambi merupakan pelaku usaha sebagaimana dimaksud maka sangatlah elok. Namun jika sebagian besar masyarakat ternyata masih mengandalkan upah/gaji, sungguh sangat disayangkan karena komponen ini masih kecil kontribusinya dalam pembentukan PDRB sisi pendapatan.
Mengiringi data PDRB, gambaran kondisi ekonomi konsumen dapat dilihat dari angka Indeks Tendensi Konsumen (ITK). Indeks ini dihitung setiap triwulan untuk menggambarkan tingkat optimismen konsumen terhadap perekonomian pada triwulan berjalan. Variabel pembentuk ITK terdiri atas; pendapatan rumah tangga, kaitan inflasi terhadap konsumsi, serta tingkat konsumsi beberapa komoditi.
Sejak pertama kali diluncurkan (triwulan I tahun 2011) sampai triwulan IV tahun 2014, ITK provinsi Jambi selalu berada di level optimis (diatas angka 100). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Jambi cenderung untuk selalu optimis melihat perekonomian. Pendapatan bukanlah hal yang membayangi optimisme konsumen, naik turunnya harga juga tidak menjadi persoalan serius yang mempengaruhi konsumsi. Pola konsumsi konsumen di Jambi pun ternyata cukup fleksibel untuk menyesuaikan.
Tendensi konsumen di Jambi memperlihatkan pola seasonal, perlahan meningkat dari triwulan pertama ke triwulan kedua dan mencapai puncak pada triwulan ketiga, selanjutnya sedikit menurun di triwulan keempat, namun kesemuanya masih di level optimis.
Optimisme konsumen yang sedemikian menjanjikan, ditengah kinerja perekonomian yang sedemikian rupa menantikan kepemimpinan cerdas dengan ide-ide bernas untuk Jambi yang lebih baik (lagi). Sekali lagi kita kembali bertanya, bisakah ?! Silahkan, anda pasti tahu jawabannya. publish@jambiekspres
dimuat dalam OPINI harian Jambi Ekspres, Rabu 11 Maret 2015

Jumat, 27 Februari 2015

"dikutip", terimakasih !


Ekonomi Jambi Tumbuh 9,1 %, Tertinggi Se-Sumatera, oleh Vitri Andani

Penentuan Indeks Demokrasi Jambi 2009 - 2013, oleh Kasang Dalam

Pertanian Serap Tenaga Kerja Terbesar, oleh Berita3


Jumat, 20 Februari 2015

Petani : Miskin Multi Dimensi

Pengusahaan tanaman perkebunan kian menjadi primadona sektor pertanian di Provinsi Jambi. Hasil sensus pertanian terakhir menyebutkan 68,95 persen rumah tangga pertanian masih mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor perkebunan. Sementara 13,60 persen rumah tangga pertanian justru mengandalkan sumber pendapatan dari non pertanian dan sisanya (di bawah 10 persen) ditopang pertanian lain selain perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi menyebutkan terdapat beberapa jenis tanaman perkebunan unggulan. Tanaman tersebut antara lain adalah karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kayu manis, pinang dan nilam termasuk juga teh yang dikelola oleh PTPN-VI. Dari sisi luas areal, tanaman yang mengalami peningkatan adalah kelapa sawit dan karet, sedangkan tanaman unggulan lainnya cenderung mengalami penyusutan.
Jika dilihat dari sisi luasan areal tanaman menghasilkan (TM), kelapa sawit adalah tanaman perkebunan unggulan yang luas areal TM-nya terus bertambah. Pertambahan luas areal TM juga terjadi pada tanaman karet yang menunjukkan adanya kegiatan peremajaan. Fluktuasi terjadi pada pertambahan luas areal TM kelapa, kayu manis maupun kopi. Kopi menunjukkan kecenderungan menurun, sementara kayu manis dan  kelapa cenderung meningkat. Sementara jika dilihat dari sisi produksi, kelapa sawit, kopi dan kayu manis merupakan tiga jenis tanaman yang mengalami pertumbuhan produksi cukup pesat. Kontribusi subsektor perkebunan dalam pembentukan nilai tambah bruto sektor pertanian meningkat dari 39,88 persen di tahun 2003 menjadi lebih dari 55,25 persen pada tahun 2013.
Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi mendapatkan upah sebagai balas jasa. Meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB masih merupakan yang terbesar namun penumpukan tenaga kerja yang terjadi mencerminkan tingkat produktivitasnya yang relatif rendah. Sektor pertanian yang sudah semakin kecil peranan relatifnya dalam pembentukan PDRB masih harus menampung sebagian besar tenaga kerja. Kondisi ini kemungkinan justru dipicu oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang menjadikannya fleksibel sebagai penampung tenaga kerja yang kurang mampu bersaing untuk masuk ke dalam pasar kerja di sektor lain.  Pertanian menampung sebagian besar angkatan kerja yang bekerja. Lebih dari 50 persen angkatan kerja, bekerja diberbagai subsektor dalam sektor pertanian. Karakteristik sektor pertanian yang sangat mudah untuk dimasuki oleh pekerja menjadikannya sebagai wadah terbesar tenaga kerja. Tidak mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi,  tidak butuh keahlian khusus, responsif terhadap gender dan menyediakan kapasitas besar, merupakan faktor penyebab sektor pertanian masih menjadi andalan penggerak perekonomian.
Pendapatan dari sektor pertanian harus mencukupi kebutuhan hidup petani, sehingga keberlangsungan produksi pertanian dapat dipertahankan. Apabila pendapatan yang diterima rumah tangga usaha pertanian jauh dari yang mereka harapkan maka akan ada kemungkinan mereka mencari sumber pendapatan dari sektor lain yang mengakibatkan terhentinya produksi dan menurunnya pertumbuhan pertanian. 
Tingkat kecukupan pendapatan rumah tangga usaha pertanian di provinsi Jambi dari hasil Survey Pendapatan Petani berada di level yang bagus, hal tersebut dapat dilihat dari angka tingkat kecukupan yang mencapai lebih dari 50 persen. 73,24 persen rumah tangga usaha pertanian berada pada level cukup, 18,42 persen di level kurang (rumah tangga usaha pertanian merasa kurang apabila mereka menggantungkan sumber pendapatan dari pertanian saja), sedangkan sisanya masuk kategori lebih dari cukup. Petani seringkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang identik dengan kemiskinan. 
Kemiskinan telah dipahami sebagai salah satu persoalaan mendasar yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah di setiap negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan akan sangat bergantung kepada berbagai aspek, salah satunya adalah data kemiskinan yang akurat serta mampu memfasilitasi perbandingan antar waktu dan wilayah. Begitu luasnya dimensi kemiskinan, namun terbukti sulit sekali mengembangkan pengukuran yang dapat menangkap multidimensionalitas ini.
Perkembangan pengukuran kemiskinan sebenarnya mulai mengalami pergeseran yang cukup berarti, hal ini ditandai dengan adanya analisis Human Development Report (HDR) yang dikembangkan oleh United National Development Program (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI). Sejak tahun 2010, UNDP dan OPHI menyepakati sebuah inisiasi pengukuran kemiskinan baru melalui Indeks Kemiskinan Multidimensi (multidimensional poverty index) yang dimuat dalam HDR 2010. Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) melihat struktur kemiskinan lebih luas, bukan sekedar pendapatan atau konsumsi tapi mendefiniskan secara multidimensi seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup. (IKM) mengukur kekurangan (deprivation) setiap individu ke dalam 3 dimensi yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup.
Rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi yang terkategori miskin multidimensi mencapai 15,59 persen diikuti 22,55 persen rentan untuk menjadi miskin multidimensi. Khusus di subsektor perkebunan yang katanya menjadi andalan pertanian Jambi, terdapat 15,44 persen rumah tangga tergolong miskin multidimensi dan 22,94 persen rentan miskin. Rumah tangga pertanian yang mengandalkan subsektor pertanian lain selain perkebunan dipastikan mengalami kerentanan lebih tinggi untuk menjadi miskin multidimensi. Demikian hasil survey yang dilakukan BPS dalam rangkaian kegiatan Sensus Pertanian.
Kerentanan suatu rumah tangga pertanian menjadi semakin mengkhawatirkan jika melihat Nilai Tukar Petani (NTP) yang tidak terlalu menjanjikan. Sebagai sebuah ratio antara suatu nilai yang “diterima” dengan yang harus “dibayar” oleh petani maka setidaknya bernilai diatas 100 dalam skala indeks. Meskipun bukan sebuah indikator yang tepat untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan petani, NTP yang cenderung rendah (dibawah nilai100: lihat Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi Jambi) akan menggerus proporsi rumahtangga pertanian dengan tingkat kecukupan pendapatan yang berada di level cukup baik. Jika ini terus berlanjut maka bukan tidak mugkin rumah tangga yang rentan miskin akan menjadi rumah tangga pertanian miskin secara multi dimensi. 
Kapasitas adopsi teknologi oleh petani yang relatif rendah (baik secara teknis maupun terlebih lagi secara ekonomi) merupakan ganjalan yang paling sering dihadapi dalam proses difusi teknologi. Kegiatan budidaya pertanian adalah kegiatan bisnis. Petani harus dilihat sebagai pebisnis. Keuntungan finansial merupakan unsur yang efektif memotivasi petani untuk meningkatkan kinerja. Dengan demikian maka pengelolaan agroekosistem pertanian hanya akan berhasil jika kesejahteraan petani merupakan bagian utama dari skenario besarnya.
Walaupun beberapa pihak menyatakan kita telah mencapai kembali status swasembada pangan, namun kesejahteraan petani tanaman pangan pokok tidak menjadi lebih baik. Keberlanjutan upaya pencapaian swasembada pangan akan sangat rapuh jika pengabaian upaya menyejahterakan petani tetap berlanjut. Gejala ini sudah mulai menampakkan diri misalnya minat tenaga kerja untuk berkiprah di sub sektor tanaman pangan semakin menurun. Minat lulusan sekolah menengah atas untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di bidang ilmu pertanian juga semakin merosot. Maknanya dalam jangka panjang akan sulit mencari para aktor pelaku produksi pertanian, tanaman pangan khususnya. 
dimuat dalam OPINI harian Jambi Independent, Senin 16 February 2015

Senin, 02 Februari 2015

Petani Takut Kekurangan Pangan ?

Perang dalam arti sebenarnya memang tidak sedang terjadi di negeri ini. Tetapi dalam beberapa hari belakangan kita mendengar bahwa presiden sebagai kepala negara telah menugaskan kekuatan militer negeri ini untuk menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat, bagaikan menyiapkan logistik untuk berperang. Pada masa perang dunia, bahan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan logistik militer. Ketahanan pangan pada masa itu (dan harusnya sepanjang masa) sangat erat kaitannya dengan ketahanan negara. Sebegitu menghawatirkankah kondisi pangan kita saat ini sehingga prajurit pun harus menjadi garda terdepan dalam menggapai swasembada pangan (baca: “beras”) ?
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan terkait dengan ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. Ketahanan pangan merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan di masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan distribusi, kelangkaan bahan bakar, ketidakstabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya.
Keadaan iklim yang terus berubah dan pemanasan global sangat memengaruhi produksi pangan dalam negeri. Sementara persaingan di bidang pangan untuk konsumsi merupakan faktor yang menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian produksi, seperti adanya gagal panen. Selain itu, kerawanan pangan transien pun semakin besar. Kelangkaan dan kompetisi pemanfaatan sumber daya (lahan dan air) pun terus berlanjut, mengakibatkan produksi pangan semakin sulit. Meskipun urbanisasi berlangsung cepat, lebih dari dua pertiga penduduk tinggal di pedesaan, setengahnya terdiri dari petani skala kecil yang bekerja sebagai buruh pertanian. Para petani sangat dipengaruhi kerawanan pangan karena sebagian besar petani ini juga pembeli pangan. Dengan demikian, kenaikan harga pangan secara langsung memperburuk ketahanan pangan mereka.
Fenomena tersebut terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk Jambi dan hal tersebut menyebabkan munculnya kekhawatiran akan kekurangan pangan. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Jambi dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,1% menjadi salah satu tantangan utama dalam permasalahan pangan. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi tidak diikuti dengan pertumbuhan pangan yang mencukupi akan menyebabkan kekhawatiran tersendiri mengenai ketersediaan pangan.
Ketahanan pangan sangat tergantung pada beberapa hal yaitu ketersediaan, distribusi, akses, pemanfaatan dan stabilitas. World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.
Jika menilik hasil Survey Pendapatan Petani untuk dimensi ketersediaan pangan, terlihat bahwa 10,58 persen rumah tangga di Provinsi Jambi yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama tidak mempunyai cukup persediaan pangan. Rumah tangga tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan selama setahun yang lalu Bahkan 3,81 persen rumah tangga mengalami kekurangan pangan, dimana kondisi rumah tangga tidak mampu mengkonsumsi makanan sesuai kebiasaannya atau tidak mampu mempertahankan pola makan normal setiap saat selama periode setahun yang lalu dan merubah pola makan secara terpaksa. Sebanyak 24,11 persen rumah tangga merasa takut kekurangan pangan yang menunjukkan adanya rasa ketakutan akan kekurangan pangan untuk satu tahun ke depan. Proposi rumah tangga yang merasa takut akan kekurangan pangan dikalangan petani yang menjadikan subsektor tanaman pangan sebagai sumber pendapatan utama bahkan jauh lebih tinggi, mencapai 51,66 persen. Berbeda dengan petani di subsektor perkebunan (kontributor utama pertanian Jambi), rasa takut kekurangan pangan hanya melanda sekitar 18,86 persen rumah tangga.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin saja mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keberagaman pangan. Meskipun 53,22 persen rumah tangga pertanian mendiami daerah (kecamatan) yang tidak memproduksi pangan namun hanya 3,22 persen saja yang merasa kesulitan menjangkau lokasi pembelian dan hanya 19,24 persen yang menyatakan harga pembelian lebih tinggi.  Di subsektor perkebunan sebagian besar rumah tangga harus mengakses pangan dari luar daerah karena bahan pangan  tidak diproduksi di kecamatan tersebut. Ketersediaan yang cukup di suatu wilayah belum tentu menggambarkan wilayah tersebut bebas kerawanan pangan. Sebagian besar rumah tangga pertanian tidak mengalami kesulitan menjangkau lokasi pembelian pangan. Ketersediaan pangan yang cukup, lokasi pembelian yang mudah dijangkau tetapi harga pembelian pangan tinggi akan dapat menyebabkan kerawanan pangan. Indikator ini menunjukkan keterjangkauan terhadap kondisi ekonomi rumah tangga. Rumah tangga dengan kondisi ekonomi yang baik akan memudahkan mendapatkan pangan walaupun dengan harga yang tinggi. Kelompok rumah tangga terbesar yang menyatakan harga pembelian tinggi adalah kelompok rumah tangga subsektor jasa pertanian. Bagi rumah tangga yang kondisi ekonominya rendah, harga yang cukup tinggi akan menyulitkan rumah tangga untuk membeli kebutuhan hidupnya.
Dimensi pemanfaatan pangan yang dinilai oleh kecukupan asupan untuk melihat status kesehatan dan kualitas air menunjukkan keadaan yang cukup baik. Dari aspek kesehatan terlihat tidak ada balita yang kurang gizi pada rumah tangga subsektor peternakan, subsektor perikanan dan subsektor jasa pertanian. De mikian pula tidak ada balita yang meninggal karena sakit pada rumah tangga subsektor peternakan, subsektor kehutanan dan subsektor jasa pertanian.
Hasil penghitungan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang didekati dengan melakukan scoring pada indikator-indikator penyusunnya, yang termasuk dalam dimensi ketersediaan pangan, dimensi keterjangkauan pangan dan dimensi pemanfaatan pangan menghasilkan nilai indeks untuk Provinsi Jambi sebesar 78,21 dan berada pada peringkat 18 dari seluruh provinsi di Indonesia. Indeks tersebut masuk dalam kriteria cukup, berarti bahwa ketahanan pangan rata-rata rumah tangga di Provinsi Jambi adalah cukup baik.
Ketahanan pangan di masing-masing kabupaten/kota juga cukup baik, bahkan dua kab/kota mendapat kriteria tinggi yang berarti ketahanan pangan di dua kabupaten/kota ini sangat baik. Dua kabupaten/kota dengan kriteria tinggi di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Kerinci dengan IKP sebesar 84,12 dan Kota Sungai Penuh dengan IKP sebesar 83,46. Sedangkan sembilan kabupaten/kota yang lain mendapat kriteria cukup, dengan kisaran IKP antara 75,40 sampai dengan 80,79 dengan IKP terendah di Kabupaten Tebo namun masih terkategori cukup baik.
Lantas mengapa petani pun masih merasa takut ? Jika petani saja takut, apatah kita yang bukan petani tidak merasa jauh lebih takut ? Terkadang kita lupa bahwa uang bukanlah segalanya ketika sesuatu yang mau kita beli tidak tersedia dipasar. Petani ataupun bukan petani, kita masih tetap butuh pangan. Mari kita nantikan hasil perjuangan para prajurit yang mengemban misi mempertahankan kedaulatan pangan. Kalo misi telah diemban pantang surut kebelakang. Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas, demikian semboyan mereka, yang sangat membanggakan kita.  publish@jambiupdate.com 
dimuat dalam OPINI harian Jambi Ekspres, Sabtu 31 Januari 2015

Jumat, 30 Januari 2015

Tipisnya Modal Sosial

Berbagai strategi pembangunan yang dilakukan membutuhkan faktor kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi dasar dalam menentukan perkembangan dan keberlanjutan pembangunan. Modul sosial budaya dalam cakupan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mencoba mengukur besaran indeks modal sosial. Nilai indeks modal sosial Indonesia hanya sebesar 59,34; sebuah nilai yang belum bisa dikategorikan baik (skala indeks 0-100). Nilai indeks tertinggi dimiliki oleh Jawa Timur (63,16) sementara yang terendah adalah Kepulauan Riau (46,57). Dimana posisi Jambi ? Dengan nilai indeks sebesar 55,79 posisi Jambi berada dibawah rata-rata nasional bahkan hanya menempati peringkat ke-27 dari 33 provinsi. Sikap percaya terhadap tokoh merupakan variabel utama yang mampu menjelaskan variabilitas indeks sebagaimana dimaksud. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah variabel aksi bersama, toleransi dan sikap percaya kepada tetangga.
Kepercayaan (trust), timbal balik (reciprocal) dan interaksi sosial merupakan tiga unsur utama dalam modal sosial. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama, 2002). Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas. Adanya high-trust akan melahirkan solidaritas kuat yang mampu membuat masing-masing individu bersedia mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Bagi masyarakat low-trust dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya. Jika low-trust terjadi dalam suatu masyarakat, maka campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan bimbingan.
Unsur penting kedua dari modal sosial adalah timbal balik (reciprocal), dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu yang dapat muncul dari interaksi sosial. Unsur yang selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup kepercayaan dan lingkup hubungan timbal balik. Jaringan sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Modal sosial dapat bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga ekonomi.

Modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khususnya peranan, aturan, precedent dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutnya dikembangkan dalam usaha penigkatan taraf hidup dan kesejahteraan.

Level mekanisme modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri merupakan upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh seseorang atau kelompok lain. Ciri penting modal sosial sebagai sebuah capital dibandingkan dengan bentuk capital lainnya adalah asal-usulnya yang bersifat sosial. Relasi sosial bisa berdampak negatif ataupun positif terhadap pembentukan modal sosial tergantung apakah relasi sosial itu dianggap sinergi atau kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicapai diatas kekalahan orang lain (zero-sum game).

Persentase rumah tangga di Jambi yang memiliki rasa percaya terhadap aparatur pemerintah hanya sebesar 91,17 persen. Lebih rendah daripada tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat (93,87%) maupun tokoh agama (97,58%). Sementara jumlah rumah tangga yang percaya terhadap tetangganya ternyata lebih kecil lagi, baik rasa percaya untuk menitipkan rumah (81,62%) ataupun menitipkan anak (60,07%).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh suku bangsa ataupun agama lain dilingkungan tempat tinggal terkadang disikapi dengan rasa tidak/kurang senang. Hasil survey menunjukkan hanya 77,88 persen rumah tangga yang senang jika kegiatan diselenggarakan oleh suku bangsa lain dan jika diselenggarakan oleh agama lain hanya 58,14 persen yang merasa senang.
Data juga memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga yang tidak pernah mengikuti suatu kelompok/organisasi mencapai 41,23 persen atau hanya terdapat 58,77 persen rumah tangga yang pernah mengikuti kelompok/organisasi. Partisipasi dalam kegiatan sosial keagamaan setidaknya sering diikuti oleh 74,12 persen rumah tangga. Sedangkan kegiatan sosial kemasyarakatan diikuti oleh 53,73 persen rumah tangga. 75,73 persen rumah tangga sering berpartisipasi dalam kegiatan bersama membantu warga yang terkena musibah dan persentase rumah tangga yang berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk kepentingan umum sebanyak 60,16 persen.
Menjadikan modal sosial sebagai modal pembangunan bukanlah perkara mudah. Namun jika modal sosial terus menipis maka bukan tidak mungkin pembangunan yang telah dilakukan akan menggerus nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara. Dapatkah kita bayangkan jika masyarakat tidak lagi percaya kepada aparatur pemerintah, tidak lagi hormat pada tokoh masyarakat ataupun tokoh agama ? Sementara tidak lagi ada yang peduli terhadap lingkungannya, tidak ada lagi toleransi dan rasa percaya terhadap tetanga. Pastilah semua mengantarkan kita ke ambang kehancuran.
Modal sosial merupakan sumberdaya yang melekat pada hubungan sosial. Modal sosial tidak akan langgeng tanpa kehadiran kelompok atau organisasi yang menopangnya. Sebaliknya keberadaan kelompok atau organisasi dalam masyarakat tidak dapat terbangun dengan kuat tanpa modal sosial. Masih adakah teladan yang bisa kita harapkan mampu merekatkan hubungan sosial antar masyarakat di Jambi ? Tidak seharusnya Jambi mengalami penipisan modal sosial secepat ini. Pertumbuhan ekonomi kah yang salah, atau pemanfaatannya yang kurang pas ? Paradigma pembangunan semestinya meletakkan manusia (mahluk sosial) bukan sebagai obyek melainkan menjadi subyek dari pembangunan itu sendiri. Mari berkaca pada diri kita masing-masing, berapa besar modal sosial yang bisa kita sumbangkan untuk negeri yang (katanya) kita cintai ini.
dimuat dalam OPINI harian Jambi Independent; rabu 28 Januari 2015Tipisnya Modal Sosial

Rabu, 28 Januari 2015

Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Provinsi Jambi 2013


Pertanian menampung sebagian besar angkatan kerja yang bekerja. Lebih dari 50 persen angkatan kerja bekerja diberbagai subsektor dalam sektor pertanian. Karakteristik sektor pertanian yang sangat mudah untuk dimasuki oleh pekerja menjadikannya sebagai wadah terbesar tenaga kerja. Tidak mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi,  tidak butuh keahlian khusus, responsif terhadap gender dan menyediakan kapasitas besar, merupakan faktor penyebab sektor pertanian masih menjadi andalan penggerak perekonomian. 
Banyaknya Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) hasil Sensus Pertanian 2013 meningkat sekitar empat persen jika dibandingkan hasil sensus yang sama tahun  2003. Fenomena ini berbeda dengan kondisi nasional yang justru cenderung menurun. Namun jika dirinci menurut subsektor peningkatan jumlah RTUP di Provinsi Jambi sebenarnya hanyalah terjadi pada sub sektor perkebunan. Sementara pada subsektor yang lain justru terjadi penurunan. Secara relatif terjadi penurunan persentase RTUP terhadap jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Persentasenya menurun dari 65,21 persen menjadi 52,64 persen, artinya peningkatan jumlah rumah tangga non pertanian relatif lebih cepat dibanding pertumbuhan RTUP.

Struktur Tenaga Kerja Provinsi Jambi 2005-2013


Pertanian masih mempunyai peranan penting dalam perekonomian Provinsi Jambi baik dalam pembentukan PDRB maupun dalam hal penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 45 tahun terakhir peranan sektor pertanian terus menurun dari kisaran 55 persen hingga akhirnya kurang dari 30 persen. Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Provinsi Jambi masih menempati porsi terbesar di antara semua sektor perekonomian pada tahun 2013. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian juga memiliki peran yang sangat strategis. Pada tahun yang sama, dari 2 juta penduduk yang bekerja, sekitar 44,2 persennya bekerja di sektor pertanian. Kecenderungan menurun juga terlihat pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebagaimana terilustrasikan secara grafis berikut ini :

 

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...