Selasa, 17 Oktober 2017

Petani Punah, yang lain ?

Bukan semata-mata pernyataan, namun sebuah hasil riset Pusat Penelitian Kependudukan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mensinyalir ancaman kepunahan petani. Presiden pun sempat mengungkapkan kerisauannya tentang banyaknya alumni program studi pertanian justru tidak bekerja dibidang pertanian, sebagaimana disampaikan pada acara Dies Natalis sebuah perguruan tinggi pertanian terbesar di negeri ini (Institut Pertanian Bogor). Pertanian secara umum mencakup setidaknya enam sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Masyarakat awam mengenal mereka yang berkutat dilapangan pekerjaan sub sektor tersebut sebagai petani, dan nelayan sebagai sebutan khusus bagi para pencari ikan diperairan umum. Kepunahan yang dirisaukan antara lain ketika ternyata hasil riset menemukan bahwa rata-rata usia sebagian besar petani berumur diatas 45 tahun, sementara kaum muda yang bersedia melanjutkan usaha tani keluarga hanya sekitar 3 persen. Memang, hasil riset hanyalah sebuah ukuran yang disebut statistik, berasal dari sampel dan bukan parameter populasi.
Tidak menariknya sektor pertanian untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan utama rumah tangga mungkin disebabkan oleh tidak adanya jaminan kesejahteraan. Walaupun hasil Sensus Pertanian terakhir mencatatkan Jambi sebagai sebuah provinsi dengan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian yang cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, namun Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai proxy indikator tingkat kesejahteraan masih mengkhawatirkan bagi petani. Daya tukar (term of trade) dari produk pertanian yang dihasilkan terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk produksi, termasuk yang harus dikonsumsi petani terus tergerus. Fenomena yang terjadi di provinsi ini seperti sebuah paradox, tidak menjanjikan kesejahteraan tetapi jumlahnya malah meningkat.
Telaah lanjutan dari fenomena ini menemukan bahwa sejatinya peningkatan jumlah rumahtangga pertanian hanya terjadi pada sub sektor perkebunan, diikuti alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan. NTP subsektor perkebunan tercatat memang selalu lebih tinggi dibanding subsektor pertanian lain (Berita Resmi Statistik, BPS). Rata-rata luas lahan yang dimiliki rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi sebesar 2,3 hektar tapi masih terdapat sekitar 15 persen rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Petani di Provinsi Jambi yang masih mau bertahan hidup dengan mengandalkan pertanian sebagai sumber pendapatan utama tentulah para petani kebun dan bukan petani di sub sektor pertanian lainnya. Kalaupun ada petani di subsektor lain yang masih bertahan, mungkin mereka juga memiliki kebun, atau berbagai sumber pendapatan lain diluar pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup, ataupun petani gurem yang terpaksa bertahan.
Begitu berpengaruhnya sub sektor perkebunan di dalam sektor pertanian di provinsi Jambi juga terlihat dari korelasi yang kuat antara NTP dan NTPR (nilai tukar petani perkebunan rakyat). Nilai koofisien korelasinya sangat tinggi (0,99) mendekati sempurna, berbeda dengan korelasi NTP terhadap nilai tukar petani di berbagai sub sektor lain yang nyaris tidak memiliki hubungan korelasi sama sekali. Sayangnya, pemasaran produk akhir komoditi perkebunan utama provinsi Jambi masih sangat dipengaruhi permintaan luar daerah, bahkan luar negeri, sehingga kondisi ekonomi daerah tujuan ekspor akan sangat memengaruhi perekonomian petani provinsi Jambi.
Data Sensus Pertanian 2013 menyebutkan bahwa 25 persen petani di provinsi Jambi berusia diatas 54 tahun (sekarang?). Jika demikian patutkah kita risau akan kemungkinan kepunahan petani ? Kepunahan petani yang manakah yang lebih merisaukan ? Negara manapun tentu akan lebih risau jika logistik pangan nya bermasalah. Seberapapun maju sebuah negara tetap akan mempertahankan kedaulatan pangan, bukan sekedar ketahanan pangan. Petani tanaman pangan yang beralih menjadi petani pe-kebun untuk mendapat pendapatan yang lebih baik, pun tetap butuh pangan. Kebanyakan petani harusnya lebih memilih ber-ekspansi ketimbang total beralih komoditi, dengan tetap mempertahankan komoditi tanaman pangan. Peran pemerintah untuk mengedepankan program lahan pangan berkelanjutan sangat menentukan kondisi kedaulatan pangan suatu daerah.
Series data NTP untuk subsektor tanaman pangan dan hortikultura menggambarkan kedua kelompok petani ini jauh dari kata dijamin untuk tidak beralih profesi. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terlihat begitu sulit menyetarakan indeks yang diterima (It) dengan indeks yang harus dibayar (Ib). Sesekali setara dalam nilai indeks (NTP=100), tapi kemudian kembali menukik. Sepertinya petani dikedua subsektor ini, antara lain petani padi, petani palawija, dan petani hortikultura perlahan akan ikut terancam punah. 
Berbagai program pemerintah untuk membuat petani mau bertahan belum memperlihatkan hasil yang berkelanjutan. Sebuah program yang berfokus pada peningkatan produksi komoditas tertentu (padi, jagung, kedelai) awalnya cukup berhasil, namun ketika kemudian muncul program peningkatan produksi untuk komoditas lain (bawang, cabai) produksi komoditas sebelumnya kembali anjlok dan komoditas program baru-lah yang meningkat. Sebagian besar petani beralih ke program yang baru dan meninggalkan yang lama, bukan karena latah melainkan sesungguhnya petani maupun lahan yang digunakan kedua program itu adalah sama (substitusi). Keterbatasan jumlah petani dan luasan lahan menjadikan berbagai program saling menggantikan dan bukan saling melengkapi. Petani yang semakin menua, lahan yang semakin terbatas membuat kedaulatan pangan mulai terancam. Kekhawatiran petani akan ketahanan pangan rumah tangga sudah cukup sering kita dengar, karena mereka semakin tidak mampu meningkatkan nilai tukar petani. Rumah tangga non pertanian mungkin belum begitu khawatir tentang ketahanan pangan karena mereka merasa mampu menukar pendapatannya dengan barang/jasa yang (masih) tersedia di pasar. Jikalau nanti petani (pangan) benar-benar punah, betapapun tingginya pendapatan kita, apalah gunanya jika pangan tidak lagi tersedia di pasar. Mensejahterakan petani bukanlah sekedar untuk ketahanan pangan, melainkan demi suatu kedaulatan pangan. Petani punah, yang lain “punah ranah”.

publish dalam rubrik OPINI di harian Jambi Independent 17 Oktober 2017


Kamis, 12 Oktober 2017

Tumbuh Timpang Perkotaan

Kajian dan berbagai penelitian berdimensi regional, terutama mengenai regional equality dan spatial distribution of resources, akan selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara kepulauan seperti Indonesia. Ketertinggalan suatu wilayah dibandingkan wilayah lain biasanya dilihat dari sisi ketersediaan infrastruktur perkotaan. Sebuah kementerian bahkan menyebut kekuranglengkapan infrastruktur (perkotaan) sebagai sebuah indikator ketertinggalan suatu wilayah (desa). Maka bermunculanlah proyek pembangunan yang mengatasnamakan pengentasan desa tertinggal dengan serangkaian pendampingan. Urbanisasi sebagai sebuah masalah klasik perkotaan, sepertinya pun belum mampu diatasi. Alih-alih mengurangi, arus urbanisasi cenderung meningkat dan membawa serangkaian masalah sosial lainnya. Geliat perekonomian menampakkan laju yang signifikan dan membuat wilayah perkotaan semakin terlihat gemerlap dan terdengar hingar bingar.
Perkotaan muncul sebagai pusat pertumbuhan baru diberbagai belahan dan pelosok negeri, demikian pula halnya di Provinsi Jambi. Kinerja perekonomian yang tergolong tinggi dalam koridor ekonomi wilayah Sumatera, bahkan pernah menjadi yang tertinggi se-Sumatera, membersitkan pendar cahaya gemerlap cikal bakal perkotaan-perkotaan baru. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan inflasi yang cukup terkendali menjadikan indikator kemiskinan maupun tingkat pengangguran berada pada kategori moderat. Sebuah kondisi yang bisa melenakan pengambil kebijakan. Keberanian untuk mengambil terobosan kebijakan dan tidak cepat puas atas kondisi ini, menuntut kajian lebih dalam.
Pemerintah (pembuat kebijakan dan perencana pembangunan) pada masa lalu (mungkin sampai kini masih), memfokuskan pembangunan ekonomi melalui strategi pertumbuhan ekonomi yakni usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Mereka sangat percaya hal itu akan menghasilkan apa yang disebut trickle down effects atau dampak merembes ke bawah yang akan berdampak pada terpecahkannya masalah-masalah makro ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Pengeluaran merupakan proxy dari pendapatan yang sering digunakan dalam berbagai kajian tentang ketimpangan.
Indikator ketimpangan pengeluaran penduduk yang terakhir dirilis oleh BPS pun menyebutkan bahwa ketimpangan di Provinsi Jambi cenderung menurun dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,335 (maret 2017). Hal ini senada dengan indikator ketimpangan Bank Dunia (persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah) sebesar 20,72 persen atau terkategori ketimpangan rendah (diatas 17 persen).  Jika sebelumnya dikatakan bahwa kinerja ekonomi provinsi ini melaju lebih cepat dibanding provinsi lain diwilayah Sumatera, maka tidak demikian halnya dengan ketimpangan.
Data terakhir menyebutkan bahwa ketimpangan di provinsi Jambi hanya terlihat lebih baik daripada Bengkulu dan Sumatera Selatan tetapi tidaklah lebih baik dibandingkan 7 provinsi lain di Sumatera. Meskipun keterbandingan ini bersifat relatif, namun setidaknya ini menjadikan pemantik semangat untuk tidak terlena dalam sebuah kondisi. Ketimpangan perkotaan berbeda nyata dengan ketimpangan pedesaan, hal ini hampir terjadi pada semua wilayah. Namun untuk provinsi Jambi, kondisi perbedaan ini lebih terlihat nyata dibandingkan provinsi lain di wilayah Sumatera. Gini Ratio perkotaan tercatat sebesar 0,384 sedangkan di pedesaan hanya sebesar 0,284 atau berbeda 100 basis poin. Perbedaan ini merupakan yang tertinggi di Sumatera, provinsi lain hanya memiliki perbedaan pada kisaran 50-80 basis poin.
Perbedaan ketimpangan pengeluaran penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi Jambi menjadi sebuah fenomena yang menuntut justifikasi. Ketika sebuah wilayah mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat ternyata ketimpangan perkotaan menjadi signifikan dibandingkan pedesaan. “Perdagangan” dan “Lembaga Keuangan” belakangan memang sering disebut sebagai sektor yang cukup berperan dalam pembentukan nilai tambah PDRB disamping sektor “Pertambangan” jika dilihat dari sisi produksi (production approach). PDRB sisi pengeluaran (expenditure approach) terbukti masih ditopang oleh komponen “Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga” (C) dan belum memperlihatkan andil komponen-komponen investasi sebagai indikasi kualitas pertumbuhan ekonomi.
Jika pengeluaran dianggap sebagai proxy dari pendapatan maka besarnya andil pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam perekonomian tentulah menggambarkan pendapatan. Lantas geliat perekonomian manakah yang memberikan pendapatan tersebut pada sebagian besar masyarakat, sementara sektor yang berandil besar ternyata sebagaimana disebutkan diatas ?! buble economy ataukah underground economy yang bekerja ? Hilirisasi sebatas angan, transformasi struktur ekonomi pun berjingkrak tak tentu arah. Letak geografis lah yang memberikan nafas perekonomian, dari segenap penjuru “arus barang dan jasa” datang memenuhi hasrat anak negeri. Untung saja masih bisa dinikmati, entah kapan “arus” itu cuma akan sempat singgah sejenak dan segera berlalu, mungkin ketika ketimpangan itu semakin ternganga.
Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang ada (kapitalis dan sosialis) mulai kurang disukai. Konsep yang dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growth) dipandang lebih cocok untuk diterapkan. Hanya melalui peningkatan nilai tambah (value added) PDRB akan ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasarnya adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi memang merupakan persyaratan utama (neccesery condition) untuk mengurangi kemiskinan. Namun dengan hanya memacu pertumbuhan ekonomi saja (pemusatan), baik dari sudut spasial maupun sektoral, bukanlah persyaratan yang cukup (sufficient condition) untuk mengatasi masalah kemiskinan karena akan memunculkan trade off terhadap pemerataan yang cenderung buruk.

publish dalam rubrik OPINI harian Jambi Independent 12 Oktober 2017

Kamis, 27 April 2017

IPM Provinsi Jambi 2016

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jambi tahun 2016 sebesar 69,62 atau meningkat 0,73 poin dari tahun sebelumnya yang bernilai 68,89


peningkatan yang relatif baik diantara provinsi-provinsi lain di wilayah Sumatera


Jumat, 24 Maret 2017

recovery Optimisme Konsumen



Kelesuan ekonomi global yang diikuti oleh perlambatan ekonomi nasional memberi pegaruh nyata pada perekonomian regional. BPS mencatat perumbuhan ekonomi nasional  pada 2016 hanya sebesar 4,88 persen. Meskipun tumbuh cukup tinggi, perekonomian Provinsi Jambi cenderung stagnan (untuk tidak mengatakan mengalami perlambatan). Atas dasar harga konstan tahun 2010, kinerja perekonomian 2016 tumbuh 4,37 persen. “Pertanian” secara umum masih menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) pada periode ini dengan kontribusi sebesar 1,73 persen sumber pertumbuhan (source of growth). Hal ini ditengarai terkait dengan kebijakan UPSUS PAJALE yang dikawal Mabes TNI-AD atas instruksi presiden. Laju pertumbuhan pada tahun sebelumnya mencapai 4,20 persen, sedikit lebih lambat daripada tahun ini.
Data ketenagakerjaan yang dirilis BPS untuk periode agustus 2016 memperlihatkan adanya peningkatan lebih dari 72 ribu orang angkatan kerja dibanding periode yang sama tahun 2015. Peningkatan jumlah angkatan kerja ini belum sepenuhnya mampu diserap oleh lapangan kerja yang tersedia sehingga masih menyisakan sejumlah penggangguran di Provinsi Jambi. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 4 persen, relatif menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (4,34 persen).
Mengiringi rilis data pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan, turut pula dirilis hasil Survey Tendensi Konsumen (STK) yang dilakukan terhadap sekitar 14 ribu rumah tangga diseluruh Indonesia. Survey dimaksud antara lain menghasilkan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada triwulan berjalan dan perkiraan untuk triwulan mendatang. Indeks mencerminkan optimisme konsumen ketika nilainya berada diatas angka 100, sebaliknya dikatakan pesimis jika dibawah angka 100. Variabel pembentuk ITK terdiri atas; pendapatan rumah tangga, kaitan inflasi terhadap konsumsi, serta tingkat konsumsi beberapa komoditi.
Sejak pertama kali diluncurkan (triwulan I tahun 2011) sampai triwulan IV tahun 2014, ITK provinsi Jambi selalu berada di level optimis (diatas angka 100). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Jambi cenderung untuk selalu optimis melihat perekonomian. Pendapatan bukanlah hal yang membayangi optimisme konsumen, naik turunnya harga juga tidak menjadi persoalan serius yang mempengaruhi konsumsi. Pola konsumsi konsumen di Jambi pun ternyata cukup fleksibel untuk menyesuaikan. Tendensi konsumen di Jambi memperlihatkan pola seasonal, perlahan meningkat dari triwulan pertama ke triwulan kedua dan mencapai puncak pada triwulan ketiga, selanjutnya sedikit menurun di triwulan keempat, namun kesemuanya masih di level optimis.
 
Pada triwulan I dan II tahun 2015 ITK provinsi Jambi berada dilevel pesimis dengan besaran angka masing-masing hanya sebesar 91,66 dan 99,57 artinya persepsi konsumen terhadap perekonomian triwulan berjalan relatif pesimis dibandingkan triwulan sebelumnya. Pesimisme konsumen terutama disebabkan oleh rendahnya persepsi konsumen terhadap peningkatan pendapatan serta menurunnya tingkat konsumsi terhadap beberapa komoditi baik makanan maupun non makanan. Selanjutnya indeks merambat naik dan kembali optimis sepanjang kuartal ketiga 2015 sampai dengan kuartal ketiga 2016. Indeks kembali terkoreksi dipenghujung tahun 2016 walaupun masih terkategori optimis di angka 100,83
Tidak meningkatnya pendapatan setidaknya merubah pola konsumsi masyarakat. Inflasi yang terjadi di penghujung triwulan berjalan (awalnya terjadi deflasi) sedikit menggerus optimisme konsumen pada variabel “pengaruh inflasi terhadap tingkat konsumsi”. Pola konsumsi masyarakat bergeser dengan mengurangi porsi konsumsi non makanan. Pola konsumsi semestinya tidak akan banyak berubah seandainya masyarakat memiliki tabungan yang bisa digunakan sebagai sumber dana ketika pendapatan tidak meningkat ataupun ketika harga merangkak naik.
Nilai Tukar Petani (rasio indeks yang diterima dengan indeks yang harus dibayar) yang ditengarai mengindikasikan semakin mengkhawatirkannya kesejahteraan petani menjadi patut diperhatikan dengan seksama, walaupun untuk petani dalam konteks pertanian di Jambi tidaklah bisa disamakan dengan daerah lain. Petani yang tidak hanya menggantungkan sumber pendapatanya hanya pada sektor pertanian, melainkan juga bergantung kepada sektor lain diluar pertanian. Sehingga sesungguhnya yang diterima rumah tangga “si petani” masih sama atau bahkan lebih besar dibanding yang harus dikeluarkan.
Pada tahun ini survei Struktur Ongkos Usaha Tani (SOUT) akan kembali dilakukan oleh pemerintah untuk melihat bagaimana perubahan pola usaha tani untuk menghasilkan komoditas pertanian. Setidaknya ini akan memberi gambaran apakah pertanian masih merupakan lapangan usaha yang menjanjikan untuk digeluti. Sekaligus juga memetakan ketahanan pangan nasional untuk menuju kedaulatan pangan.

Menjadi catatan kita bersama bahwa tahun ini; recovery perekonomian sedikit mengurangi pengangguran, dan opitimisme pun mulai menyelimuti masyarakat. Bagaimana dengan kondisi mendatang ? Hasil survey yg sama menunjukkan persepsi konsumen yang lebih optimis untuk triwulan mendatang. ITK triwulan I tahun 2017 diperkirakan sebesar 98,78 atau relatif lebih rendah dibanding triwulan ini. Persepsi ini dibentuk oleh komponen rencana investasi konsumen meskipun belum didukung ekpektasi peningkatan pendapatan. Optimisme konsumen yang sedemikian menjanjikan, ditengah kinerja perekonomian yang sedemikian rupa menantikan kepemimpinan cerdas dengan ide-ide bernas untuk Jambi yang lebih baik (lagi). Sekali lagi kita kembali bertanya, bisakah ?! Silahkan, anda pasti tahu jawabannya.

Selasa, 07 Februari 2017

Pola Konsumsi di Provinsi Jambi

Survey Tendensi Konsumen yg dilakukan setiap triwulan menghasilkan nilai Indeks Tendensi Konsumen (ITK)
Indeks Volume Konsumsi merupakan salah satu komponen yang menjadi penyusun ITK
perbedaaan volume konsumsi masing-masing kelompok komoditi mencerminkan pola konsumsi masyarakat di Provinsi Jambi

pola triwulan I
pola triwulan II
pola triwulan III
pola triwulan IV



Jumat, 06 Januari 2017

Jambi menatap 2017

beberapa indikator makro ekonomi Provinsi Jambi antara lain memperlihatkan;
kecenderungan menurunnya kemiskinan (persentase penduduk miskin), berkurangnya pengangguran (tingkat pengangguran terbuka), sementara inflasi menunjukkan tren (kembali) menaik dan menahan laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat ... 
(angka pertumbuhan ekonomi 2016 merupakan angka sementara)
 

buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...