Selasa, 21 September 2021

Sejuta Rumah untuk Negeri

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, demikian bunyi pasal 28 H ayat 1 UUD1945. Sudah lebih dari lima tahun pemerintah mencanangkan program sejuta rumah dengan target dan misi ; ketersediaan rumah layak huni, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kemudahan memperoleh rumah, dan menyasar semua kalangan. Program ini dimulai tahun 2015 didasarkan atas data backlog 11,4 juta kepemilikan dan 3,4 juta rumah tidak layak huni (BPS). Backlog rumah adalah salah satu indikator yang digunakan oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam rencana strategis (RENSTRA) maupun rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN) yang terkait bidang perumahan untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia. Definisi sederhana dari istilah backlog adalah kekurangan rumah, yaitu selisih antara jumlah keluarga dengan jumlah bangunan rumah yang ada.

Capaian program sejuta rumah tahun 2021 untuk wilayah I (Sumatera & Kalimantan) sampai dengan semester pertama berjumlah 134.973 unit atau sekitar 13,32 persen dari capaian nasional dengan target 337.602 unit pada desember 2021 (prognosis). Sementara untuk Provinsi Bengkulu pada periode yang sama telah terbangun 4.606 unit atau sekitar 0,45 persen dari capaian nasional. Bengkulu ditargetkan untuk mencapai 16.099 unit pada akhir tahun ini (BP2P Sumatera IV).

Kebutuhan rakyat akan perumahan dan pemukiman semakin mendesak ditambah kerusakan akibat bencana, maka pengerahan stakeholder dibidang perumahan dan kawasan permukiman merupakan hal penting mewujudkan kebijakan Satu Data Perumahan. Dokumen Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) melengkapi hal hal yang belum diatur dalam detail Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai roadmap yang jelas dan fokus pada penanggulangan permasalahan perumahan dan kawasan permukiman. Permasalahan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman akan menjadi masalah serius kedepan jika tidak dilakukan penataan dan pembentukan regulasi yang tepat.

Sejak tahun 2018 setidaknya sudah terbangun sejumlah rumah susun (rusun) di Provinsi Bengkulu, antara lain di Kabupaten Rejang Lebong (1 tower/3 lantai/42 unit), di Kabupaten Lebong (1 tower/3 lantai/42 unit), dan di Kota Bengkulu (1 tower/4 lantai/44 unit). Rencana usulan kegiatan pembangunan rumah susun dalam dua tahun kedepan antara lain ; 2 lokasi di Kota Bengkulu dan masing-masing 1 lokasi di Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Kaur. Program pembangunan rumah khusus (rusus) juga telah dilakukan sejak tahun 2017 dengan capaian sebanyak 213 unit yang menyebar di empat wilayah, yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Kaur, Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Muko-Muko yang kesemuanya diperuntukkan khsus bagi nelayan. Sementara itu program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau lebih dikenal dengan istilah rumah swadaya (ruswa) yang telah diluncurkan sejak tahun 2016 dengan sebaran pada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu telah mencapai 16.012 unit (BP2P Sumatera IV).

Basis data perumahan yang menggambarkan kondisi perumahan prov/kab/kota perlu dibangun sebagai dasar dalam perencanaan seperti tertuang dalam RENSTRA dan RP3KP sehingga bisa dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan untuk mewujudkan Satu Data Perumahan dengan memanfaatkan teknologi informasi (Permen PUPR 17/2016) dalam kerangka kebijakan Satu Data Indonesia (Perpres 39/2019). Menyadari akan kondisi data yang masih tersebar, tidak lengkap, minim kualitas dan kuantitas, tidak akurat serta lambat berproses, maka perlu dilakukan integrasi data untuk menjamin kualitas data yang aktual dan faktual.

Penyusunan basis data perumahan akan melibatkan masyarakat dalam pengumpulan data, bekerjasama dengan lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, serta berbagai badan/dinas/instansi terkait. Direktorat Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan, Kementerian PUPR telah membangun sebuah platform sistem informasi basis data (database) berbasis jaringan internet (online) yang dinamakan aplikasi e-Profil Perumahan yang dapat diakses melalui http://profil.perumahan.pu.go.id/.

September adalah bulannya para statistisi yang ditandai oleh Hari Statistik Nasional pada tanggal 26. Bicara statistik tentulah tidak akan terlepas dari maslah data. Mengingatkan kembali kutipan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada 16 agustus 2019 yang tegas mengatakan bahwa persoalan data pemerintah memang masih menjadi persoalan, padahal data adalah jenis kekayaan baru bagi bangsa dan harus diwujudkan kedaulatannya. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia pun diluncurkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Satu Data Indonesia adalah sebuah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar instansi pusat dan instansi daerah melalui pemenuhan standar data, metadata, interoperabilitas da menggunakan kode referensi dan data induk.

Dua tahun berjalan sejak diluncurkan, berbagai pihak yang berkecimpung dalam dunia pengelolaan data dan informasi telah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membangun berbagai sistem aplikasi mendukung kebijakan Satu Data Indonesia. Semangat membangun negeri lewat perencanaan berbasis data akurat telah melahirkan optimisme akan peningkatan derajat dan martabat bangsa dimata dunia. Pemulihan ekonomi pasca pandemi telah diawali oleh massifnya vaksinasi, menjadikan sehat sebagai modal untuk tangguh dan tumbuh. Masyarakat patut untuk terus diberikan literasi, menangkal hoaks yang seringkali menjadi duri. Statistisi akan terus mengelola informasi, memberikan interpretasi, menampilkan sejumlah publikasi dalam rangka diseminasi. Semua untuk negeri, yang sama-sama kita cintai.

#disarikan dari Rapat Koordinasi Sinkronisasi Basis Data Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Provinsi Bengkulu, Hotel Grage 31 Agustus 2021.

https://www.bengkulutoday.com/sejuta-rumah-untuk-negeri

 

Jumat, 16 Juli 2021

Sandungan Langkah

Dapur harus tetap berasap dan jangan sampai periuk nasi terguling. ungkapan pepatah tua seperti ini menjadi alasan mengapa seolah awam abai akan anjuran untuk berdiam dirumah saja selama masa pandemi. Bagi sebagian besar orang, melakukan aktivitas kegiatan untuk menghasilkan pendapatan memang tidak mesti keluar rumah, namun bagi sebagian (besar) yang lain terkadang tidak ada jalan lain selain harus keluar rumah. Berharap akan bantuan sosial dari pemerintah ataupun donatur lain diluar pemerintah sepertinya pun belum menjamin dapur akan tetap berasap. Ketidakhadiran ditempat seseorang biasa melakukan aktivitas ekonomi, entah itu di perkantoran, di pusat perbelanjaan, di persawahan/perkebunan dan atau di lokasi lokasi lainnya, bisa saja menggulingkan periuk nasi. Seberapa banyak yang masih memakai periuk untuk menanak nasi, atau seberapa banyak rumah yang dapurnya masih berasap jika memasak? Pertanyaan ini tentu tidak ditujukan untuk menemui jawaban bahwa modernisasi sudah membuat pertanyaan tersebut menjadi tidak relevan lagi dimasa kini. Justru merelevansikan pertanyaan yang berawal dari ungkapan pepatah tua diawal tadi harus dilakukan saat ini bahkan sampai nanti ketika tujuan bernegara sudah benar benar mewujud.

Pandemi yang masih menggelayuti negeri ini memaksa pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), di beberapa region bahkan dalam konsep kedaruratan. Tidak cukup dengan Jawa-Bali pengetatan PPKM pun diberlakukan pada 43 kota non Jawa-Bali lainnya. “New normal” yang digaungkan beberapa waktu lalu sempat memberikan angin segar akan bangkitya kondisi perekonomian. Beberapa indikator makro ekonomi memang memperlihatkan indikasi demikian, namun situasi belakangan seakan memupus harapan tersebut.

Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan bahwa pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak wabah pandemi Covid-19 sehingga diperlukan gercep, geber, dan gaspol. “Gercep” menurut Sandiaga adalah bergerak cepat, sementara “geber” adalah bergerak bersama-sama, memanfaatkan semua potensi untuk membangkitkan dan mempertahankan industri pariwisata. Sementara “gaspol” adalah menggarap semua potensi lapangan pekerjaan yang ada. Menyadari akan perlu adanya pemulihan yang seimbang dan simultan antara kesehatan dan persiapan bangkitnya ekonomi pariwisata dan ekonomi kreatif sebagai bagian dari pilar ekonomi untuk melanjutkan ekonomi nasional, maka sudah sepatutnya mendorong seluruh pelaku pariwisata melakukan adaptasi dengan memenuhi syarat protokol Cleanliness, Healthy, Safety and Environmental Sustainability (CHSE) atau memenuhi dari segi Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan dan Keberlanjutan Lingkungan (K4).

Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan seluruh aktivitas pariwisata hingga mati suri. Sekalipun semua orang ingin traveling, kesehatan diri dan keluarga jadi prioritas tertinggi saat ini. Maka, tetap tinggal di rumah jadi pilihan terbaik. Hal itu berdampak pada penurunan pendapatan sektor pariwisata secara global, termasuk Indonesia. Penerbangan dibatasi, hotel-hotel tidak terisi, hingga berbagai tempat wisata sepi pengunjung. Sebagai salah satu daerah potensi tujuan wisata, dampak pandemi mulai terasa di Bengkulu sejak awal triwulan kedua tahun 2020, pasca pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa virus Corona Wuhan telah menjangkiti 2 warga Indonesia pada maret.

Amatan rutin yang selalu dirilis oleh BPS pada tiap awal bulan terkait dengan indikator kepariwisataan antara lain adalah data transportasi dalam moda angkutan udara. Jumlah penumpang pesawat yang tercatat menggunakan moda angkutan ini melalui bandara Fatmawati baik “dari” (berangkat) maupun “ke” (datang) mulai menurun pada awal kuartal kedua 2020. Jika pada kondisi normal tahun sebelumnya (2019) total penumpang berkisar antara 52 ribu sampai 74 ribu orang setiap bulannya, sejak pandemi angka nya tidak lebih dari 10 ribu orang perbulan pada triwulan kedua 2020. Angka tersebut bergerak naik pada triwulan ketiga hingga mencapai kisaran 20 ribuan penumpang setiap bulan. Seiring penerapan kondisi “New Normal”, jumlah penumpang pada triwulan penghujung 2020 sepertinya mengindikasikan sebuah besaran “rataan baru” jumlah penumpang pesawat di bandara Fatmawati dengan kisaran 30 ribuan orang setiap bulannya. Sampai pertengahan tahun ini rataan penumpang perbulan tercatat masih di kisaran 30 ribuan orang. Sejauh ini sepertinya langkah mengejar normal untuk kondisi penerbangan baru mampu menggapai setengah.

Indikator kepariwisataan lain yang juga dirilis rutin setiap bulan adalah data hunian hotel berbintang. Seirama dengan data penerbangan, kondisi hunian hotel tahun 2019 sampai triwualn pertama 2020 berada pada kisaran 46-69 persen setiap bulannya. Kondisi hunian hotel memburuk ditriwulan kedua 2020 dengan kisaran hanya 14-21 persen perbulan dan sedikit merangkak menjadi 40 persen perbulan pada triwulan ketiga. Tingkat hunian memuncak di triwulan keempat dengan capaian 45-50 persen setiap bulannya. Langkah mengejar normal untuk hunian hotel sepertinya terkondisikan stagnan pada kisaran 32-38 persen saja sebagaimana tercermin dari data amatan sampai dengan pertengahan tahun 2021. Sepertinya indikator tingkat hunian hotel ini pun baru mampu menggapai setengah dari kondisi normal.

Bagaimana kondisi kedepan, apakah kepariwisatan akan mampu bertahan? Berpikir positif di tengah masa sulit tak selalu mudah. Namun, adaptasi dan fleksibilitas adalah kunci utama yang harus dipegang siapa saja yang berkecimpung dalam industri hospitality & tourism. Bagaimanapun juga, perubahan adalah satu-satunya hal yang terus terjadi di dunia. mengubah strategi untuk bisa bertahan di masa pandemi jadi langkah realistis yang bisa dilakukan penggiat pariwisata. Masih ada harapan untuk masa depan pariwisata setelah pandemi. Hal yang terpenting dilakukan saat ini adalah fokus pada pengendalian pandemi secara agresif: tes, tracing, isolasi, dan perawatan pasien. Pemulihan ekonomi akan mudah dilakukan kemudian ketika jumlah kasus melandai dan menunjukkan tren positif.

Dua indikator kepariwisataan yang dikemukakan mungkin tidak sepenuhnya merepresentasi kondisi yang mampu memprediksi situasi kedepan. Walaupun tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan situasi, setidaknya menuju setengah upaya menggugah rasa. Rasa untuk selalu berpikir analitik yang kelak meriap menjadi candu. Kecanduan positif tentunya, bukan sebaliknya. Melepaskan diri dari candu merupakan salah satu cara membawa hidup lebih bahagia, tenang dan bijaksana. Apa candumu? Apakah berita, media sosial, atau grup percakapan berbaris-baris yang menghadirkan kepanikan, ketakutan dan perasaan tidak tenang? Menghentikan kecanduan akan hal-hal yang menghadirkan kepanikan, ketakutan dan perasaan tidak tenang akan menyelematkan Temukan dan lakukan langkah konkret agar hidup lebih bahagia, tenang dan bijaksana. Berharap menggelorakan semangat bertarung untuk selalu menggenapkan langkah, jangan cuma setengah. Semoga pandemi yang menjadi sandungan tidak membuat jatuh terjerembab.

https://www.garudadaily.com/sandungan-langkah


Senin, 22 Maret 2021

Pertanian, Sekedar Pelarian

Kinerja perekonomian dalam jangka panjang akan merubah corak perekonomian sebuah wilayah. Perubahan corak perekonomian suatu wilayah secara teoritis akan bergerak dari apa yg biasa disebut sebagai perekonomian tradisional ke modern, dari agraris ke non agraris, dari primer ke skunder, atau berbagai istilah lain yang senada. Suatu wilayah/region akan mengalami transformasi struktural baik secara alamiah ataupun atas adanya suatu rekayasa kebijakan yang mengarah pada capaian tertentu.

Proses transformai struktural setidaknya ditandai oleh perubahan struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja. Sistem neraca nasional (system national account) yang kini dipakai, membagi klasifikasi lapangan usaha pada nilai produk domestik bruto (PDB) kedalam beberapa kategori, dalam rilis berita resmi statistik (BPS) setidaknya ditampilkan 17 kategori, sebelumnya biasa dikemas dalam 9 sektor lapangan usaha. Walaupun berbeda jumlah klasifikasi kategori lapangan usaha, namun tata urutan penyajiannya tetaplah bermula dari kelompok sektor primer (agriculture) kemudian kelompok sektor skunder (manufacture) dan ditutup oleh sektor tersier (service). Tata urutan inilah yang menjadi titik awal sebuah perekonomian mulai bertransformasi dalam jangka panjang.

Pada awalnya pangsa sektor primer selalu lebih besar dari sektor sekunder dan seterusnya tersier, ketika sebuah perekonomian dikatakan masih tradisional. Besaran pangsa masing-masing kategori lapangan usaha dalam jangka pendek mungkin cenderung bersifat konstan, tapi perlahan berubah mengikuti arah transformasi.Transformasi struktural juga ditandai oleh perubahan struktur penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian. Hal ini terkait dengan daya serap masing-masing sektor  ekonomi yang idealnya sejalan dengan perubahan struktur ekonomi.

Menelisik data terakhir (2020), sektor pertanian masih menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding sektor lain disaat pandemi membayang-bayangi. Pada skala nasional, pangsa sektor ini bahkan meningkat sekitar 1 persen dari tahun -tahun sebelumnya dari kisaran 13 persen menjadi 14 persen dalam pembentukan PDB. Peningkatan pangsa sektor pertanian merambat lurus pada hampir semua pergeseran pangsa sektor lain yang menyebabkan penurunan pangsa sektor lain secara merata. Sementara itu, pangsa tenaga kerja sektor pertanian di level nasional meningkat 2 persen dari tahun-tahun sebelumnya dari kisaran 28 persen menjadi 30 persen. Sektor ini terpaksa menyerap tenaga kerja lebih dari 2 kali lipat kontribusi nilai tambahnya dalam pembentukan PDB. Pola pergeseran pangsa tenaga kerja tidak sama halnya dengan pergeseran pangsa nilai tambah bruto. Penurunan pangsa tenaga kerja terjadi pada sektor-sektor sekunder/manufaktur, sedangankan pada sektor-sektor tersier/jasa sedikit mengalami kenaikan.

Potret data yang sama untuk Bengkulu, menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 28,36 persen pada pembentukan PDRB tahun 2020, sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2019 (28,17 persen) namun lebih rendah dari tahun 2018 (28,66 persen). Dengan kata lain sebenarnya bisa dikatakan kontribusi sektor ini relatif konstan. Hal senada juga terjadi pada sektor-sektor yang lain, atau secara umum dapat juga dikatakan bahwa tidak/belum terjadi transformasi struktur ekonomi dalam kurun waktu tiga tahun tersebut.

Bagaimana dengan tenaga kerja ? Pangsa tenaga kerja sektor pertanian tercatat sebesar 46,88 persen di tahun 2020, sebuah angka yang menggambarkan dominasi penggunaan tenaga kerja. Angka ini meningkat lebih dari 2 persen dibanding kondisi 2019 (44,65 persen), namun turun lebih dari 3 persen dibanding tahun 2018 (49,98 persen). Jika pada 2019 (sebelum pandemi) sektor pertanian terpaksa menyerap tenaga kerja 1,58 kali kontribusi nilai tambah nya dan ini lebih kecil dari tahun sebelumnya (1,74 kali), pandemi mengakibatkan sektor pertanian dipaksa kembali meningkatkan penyerapan tenaga kerja menjadi 1,65 kali dari pangsa PDRB nya.

Sektor perdagangan merupakan sektor dengan kontribusi PDRB terbesar berikutnya yang juga terpaksa menyerap tenaga kerja lebih besar dari kemampuannya menyumbangkan nilai tambah. Dengan kontribusi PDRB sekitar 14 persen, sektor ini memiliki pangsa tenaga kerja sekitar 16 persen. Kontribusi kedua sektor ini (pertanian & perdagangan) dalam penyerapan tenaga kerja mencapai lebih dari 63 persen namun hanya membentuk nilai tambah sekitar 43 persen. Catatan khusus untuk sektor pertanian pada masa pandemi adalah bahwa terjadinya peningkatan pangsa tenaga kerja tidak menyebabkan peningkatan pada pangsa PDRB walaupun laju pertumbuhannya menunjukkan tren positif (0,38 persen).

Beberapa pemerhati mengatakan bahwa pandemi memperlihatkan betapa tangguhnya sektor pertanian. Tetap tumbuh positif ketika yang lain mengalami kontraksi. Pandemi membuat proses transformasi struktural menjadi terhambat bahkan mungkin membuatnya berbalik arah. Jika demikian halnya, yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah benar sektor pertanian telah teruji ketangguhannya oleh pandemi ? Atau sebenarnya semata hanya tempat pelarian ?

Pasat jalan karena ditempuh. Jikalau tersesat kembalilah ke pangkal. Setinggi apapun bangau terbang, pastikan kembali. Dari pertanian “proses transformasi” bermula, jadikan sebagai pijakan dan jangan sekedar pelarian.

https://www.garudadaily.com/pertanian-sekedar-pelarian 

Konversi dalam Kalkulasi Produksi

Wacana impor beras yang belakangan digagas pemerintah menuai kontroversi para pemerhati, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi pertanian. Tanda tanya muncul ketika BPS memperkirakan bahwa produksi padi justru akan mencapai puncak pada periode sub round pertama tahun ini. Perkiraan masa puncak panen raya padi memang relatif hampir bersamaan di sebagian besar sentra produksi padi, tentu dengan catatan jika tidak ada serangan hama atau bencana alam yg melanda. Sehingga secara nasional produksi beras diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan pangan. Namun demikian spasial data dalam rilis berita resmi statistik memberikan gambaran bahwa tingkat kecukupan penyediaan beras untuk konsumsi yang bersumber dari produksi lokal, berbeda-beda antar wilayah. Sepanjang tahun 2020 beberapa wilayah bisa dikatakan surplus, sementara beberapa wilayah lain mengalami defisit. Suatu wilayah dikatakan surplus jika produksi nya lebih besar dibanding kebutuhan untuk konsumsi, sebaliknya dikatakan defisit ketika kebutuhan konsumsi lebih tinggi daripada produksi. Kalkulasi nasional yang masih surplus sebenarnya masih bisa menjamin ketercukupan kebutuhan beberapa wilayah yang defisit, dengan pendistribusian antar wilayah secara proporsional.

Bengkulu merupakan salah satu provinsi yang termasuk sebagai wilayah terkategori defisit dalam hal ini. Dengan luasan panen sebesar 64.137 hektar pada 2020, Bengkulu mampu menghasilkan 292.834 ton gabah kering giling (GKG). Jika dikonversikan ke beras, akan setara dengan 167.793 ton beras. Sementara konsumsi perkapita penduduk yang berkisar 78,27 kg per tahun mengkalkulasi perkiraan kebutuhan beras tahun 2020 sebesar 196.944 ton. Terdapat selisih sebesar 29.150 ton yang mengindikasikan adanya defisit penyediaan beras dari produksi lokal. Hal ini yang bisa menimbulkan terjadinya proses impor ke wilayah Bengkulu, tentu masih dalam konteks perdagangan antar wilayah. Defisit beras bukanlah kali pertama terjadi untuk wilayah Bengkulu, tahun sebelumnya (2019) nilai defisit mencapai angka 25.981 ton, lebih rendah dibanding tahun 2020. Jangan pula serta merta mengatakan pandemi sebagai penyebab meningkatnya defisit.

Beras hanyalah salah satu komoditi dari sejumlah komoditas pangan yang diwacanakan akan diimpor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Istilah “konversi” yang disebutkan dalam memperkirakan ketersediaan beras lokal merupakan sejurus pemaksaan matematis dalam kalkulasi. GKG seolah dipaksa digiling dan disosoh menjadi beras dalam perhitungan dengan sebuah konstanta konversi, walaupun pada kenyataannya belum tentu terjadi proses penggilingan dan penyosohan terhadap seluruh padi dalam periode tersebut. Satu hal lagi yang perlu diingat adalah jika pun seluruh GKG memang telah menjadi beras, belumlah tentu konsumen akan serta merta bisa menemukannya di pasar dan segera menanaknya menjadi nasi. Maka konsepsi surplus pun menjadi suatu hal yang masih perlu diperdebatkan jika akan dihubungkan dengan stabilitas harga. Sekali lagi tidak hanya beras, komoditas pangan apapun akan sama halnya. Satu contoh lagi ketika dikatakan bahwa dari data jumlah ternak sapi dikalkulasi per ekor nya akan menghasilkan rata-rata sekian kilogram daging, lantas dikatakan produksi daging sapi akan bisa mencukupi kebutuhan daging. Hanya harimau dan sejenisnya yang bisa melihat sapi sebagai santapan siap saji, itu pun jika terletak dalam jangkauan penerkaman.

Betapa pentingnya sektor pertanian dalam konteks ketahanan pangan menjadikannya wajib mewarnai corak perekonomian suatu negara. Kegagalan perang yang dialami beberapa negara antara lain tercatat dalam sejarah karena logistik pangan yang tidak mencukupi. Kinerja perekonomian dalam jangka panjang akan merubah corak perekonomian sebuah wilayah. Perubahan corak perekonomian suatu wilayah secara teoritis akan bergerak dari apa yg biasa disebut sebagai perekonomian tradisional ke modern, dari agraris ke non agraris, dari primer ke skunder, atau berbagai istilah lain yang senada. Suatu wilayah/region akan mengalami transformasi struktural baik secara alamiah ataupun atas adanya suatu rekayasa kebijakan yang mengarah pada capaian tertentu.

Proses transformai struktural setidaknya ditandai oleh perubahan struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja. Sistem neraca nasional (system national account) yang kini dipakai, membagi klasifikasi lapangan usaha pada nilai produk domestik bruto (PDB) kedalam beberapa kategori, dalam rilis berita resmi statistik (BPS) setidaknya ditampilkan 17 kategori, sebelumnya biasa dikemas dalam 9 sektor lapangan usaha. Walaupun berbeda jumlah klasifikasi kategori lapangan usaha, namun tata urutan penyajiannya tetaplah bermula dari kelompok sektor primer (agriculture) kemudian kelompok sektor skunder (manufacture) dan ditutup oleh sektor tersier (service). Tata urutan inilah yang menjadi titik awal sebuah perekonomian mulai bertransformasi dalam jangka panjang.

Pada awalnya pangsa sektor primer selalu lebih besar dari sektor sekunder dan seterusnya tersier, ketika sebuah perekonomian dikatakan masih tradisional. Besaran pangsa masing-masing kategori lapangan usaha dalam jangka pendek mungkin cenderung bersifat konstan, tapi perlahan berubah mengikuti arah transformasi.Transformasi struktural juga ditandai oleh perubahan struktur penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian. Hal ini terkait dengan daya serap masing-masing sektor  ekonomi yang idealnya sejalan dengan perubahan struktur ekonomi.

Menelisik data terakhir (2020), sektor pertanian masih menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding sektor lain disaat pandemi membayang-bayangi. Pada skala nasional, pangsa sektor ini bahkan meningkat sekitar 1 persen dari tahun -tahun sebelumnya dari kisaran 13 persen menjadi 14 persen dalam pembentukan PDB. Peningkatan pangsa sektor pertanian merambat lurus pada hampir semua pergeseran pangsa sektor lain yang menyebabkan penurunan pangsa sektor lain secara merata. Sementara itu, pangsa tenaga kerja sektor pertanian di level nasional meningkat 2 persen dari tahun-tahun sebelumnya dari kisaran 28 persen menjadi 30 persen. Sektor ini terpaksa menyerap tenaga kerja lebih dari 2 kali lipat kontribusi nilai tambahnya dalam pembentukan PDB. Pola pergeseran pangsa tenaga kerja tidak sama halnya dengan pergeseran pangsa nilai tambah bruto. Penurunan pangsa tenaga kerja terjadi pada sektor-sektor sekunder/manufaktur, sedangankan pada sektor-sektor tersier/jasa sedikit mengalami kenaikan.

Potret data yang sama untuk Bengkulu, menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 28,36 persen pada pembentukan PDRB tahun 2020, sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2019 (28,17 persen) namun lebih rendah dari tahun 2018 (28,66 persen). Dengan kata lain sebenarnya bisa dikatakan kontribusi sektor ini relatif konstan. Hal senada juga terjadi pada sektor-sektor yang lain, atau secara umum dapat juga dikatakan bahwa tidak/belum terjadi transformasi struktur ekonomi dalam kurun waktu tiga tahun tersebut.

Bagaimana dengan tenaga kerja ? Pangsa tenaga kerja sektor pertanian tercatat sebesar 46,88 persen di tahun 2020, sebuah angka yang menggambarkan dominasi penggunaan tenaga kerja. Angka ini meningkat lebih dari 2 persen dibanding kondisi 2019 (44,65 persen), namun turun lebih dari 3 persen dibanding tahun 2018 (49,98 persen). Jika pada 2019 (sebelum pandemi) sektor pertanian terpaksa menyerap tenaga kerja 1,58 kali kontribusi nilai tambah nya dan ini lebih kecil dari tahun sebelumnya (1,74 kali), pandemi mengakibatkan sektor pertanian dipaksa kembali meningkatkan penyerapan tenaga kerja menjadi 1,65 kali dari pangsa PDRB nya.

Sektor perdagangan merupakan sektor dengan kontribusi PDRB terbesar berikutnya yang juga terpaksa menyerap tenaga kerja lebih besar dari kemampuannya menyumbangkan nilai tambah. Dengan kontribusi PDRB sekitar 14 persen, sektor ini memiliki pangsa tenaga kerja sekitar 16 persen. Kontribusi kedua sektor ini (pertanian & perdagangan) dalam penyerapan tenaga kerja mencapai lebih dari 63 persen namun hanya membentuk nilai tambah sekitar 43 persen. Catatan khusus untuk sektor pertanian pada masa pandemi adalah bahwa terjadinya peningkatan pangsa tenaga kerja tidak menyebabkan peningkatan pada pangsa PDRB walaupun laju pertumbuhannya menunjukkan tren positif (0,38 persen).

Beberapa pemerhati mengatakan bahwa pandemi memperlihatkan betapa tangguhnya sektor pertanian. Tetap tumbuh positif ketika yang lain mengalami kontraksi. Pandemi membuat proses transformasi struktural menjadi terhambat bahkan mungkin membuatnya berbalik arah. Jika demikian halnya, yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah benar sektor pertanian telah teruji ketangguhannya oleh pandemi ? Atau sebenarnya semata hanya tempat pelarian ? Bukan makan namanya kalo belum ketemu nasi, catatan ini hanyalah sebuah kalkulasi.

https://www.bengkulutoday.com/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras

https://www.wartaprima.com/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras

https://bengkulu.siberindo.co/20/03/2021/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras/

https://hwnews.id/konversi-dalam-kalkulasi-produksi-catatan-bengkulu-defisit-beras/ 

Sabtu, 20 Februari 2021

Surplus : Ambiguitas dalam Konteks Interregional

Sepanjang tahun 2020, neraca perdagangan luar negeri secara nasional masih mencatatkan kondisi surplus. Meskipun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya surplus itu tergerus, namun ini menunjukkan bahwa nilai ekspor masih lebih besar daripada nilai impor. Komponen ekspor (X) dalam pembentukan nilai produk domestik bruto (PDB) pada periode yang sama berkontribusi sebesar 17,17 persen, sementara komponen impor (M) memiliki pangsa 16,02 persen sehingga komposisi ekspor neto (X-M) dalam PDB pun bernilai positif, yaitu sekitar 1,15 persen. Ekspor dan impor dalam konteks penghitungan PDB terkait terminologi “domestik” dibatasi oleh konsep wilayah negara/nasional, dalam hal ini tentu NKRI. Barang atau jasa yang bergerak melewati batasan tersebut yang akan menentukan sebuah nilai dikatakan sebagai ekspor (jika keluar) atau impor (jika masuk).

Analog dengan hal tersebut, dalam perhitungan produk domestik regional bruto (PDRB) yang dikatakan “domestik” tentu dibatasi oleh konsep wilayah sebuah region, bisa provinsi/kabupaten/kota dan seterusnya sampai area terkecil yang memungkinkan untuk dijadikan batasan. Namun demikian bukan tidak mungkin sebuah region bisa saja melakukan ekspor maupun impor melewati batas negara, sehingga kedua komponen tersebut dalam perhitungan PDRB akan mencakup ekspor luar negeri maupun antar daerah/region dan juga impor luar negeri maupun antar daerah/region.

Nilai perdagangan luar negeri pada setiap bulan nya selalu dirilis dalam berita resmi statistik oleh BPS sampai level provinsi sehingga untuk neraca perdagangan luar negeri dari masing-masing provinsi pun dapat diketahui oleh publik. Sementara itu besaran PDRB yang memuat komponen ekspor neto (expenditure approach) dirilis secara triwulanan. Mencermati kedua jenis pemberitaan sebagaimana tersebut (waktu rilis nya berbeda) akan memperlihatkan kondisi yang lebih utuh tentang ketergantungan ekonomi sebuah wilayah dengan wilayah lain diluar region tersebut. Alih alih memberikan sebuah informasi, bisa jadi rilis ekspor-impor pada skala provinsi justru menimbulkan ambiguitas jika pemerhati tidak menyandingkannya dengan rilis PDRB. Bisa jadi sebuah region mencatatkan surplus perdagangan luar negeri sepanjang tahun 2020 tapi komposisi ekspor neto dalam PDRB nya bernilai negatif.

Sebagai contoh, pada periode tahun 2020 perdagangan luar negeri Provinsi Bengkulu mengalami surplus artinya nilai ekspor komoditas dari Bengkulu keluar negeri lebih besar daripada nilai impor (barang/jasa) dari luar negeri. Namun jika dilihat pangsa ekspor (X) dalam pembentukan PDRB provinsi Bengkulu, nilainya jauh lebih kecil daripada pangsa impor (M). Komponen ekspor memberikan kontribusi 33,5 persen terhadap total PDRB Bengkulu, sedangkan impor memiliki pangsa sebesar 60,7 persen sehingga menjadikan ekspor neto (X-M) berkontribusi negatif dalam pembentukan PDRB yaitu sekitar minus 27,2 persen. Ketika dikatakan Bengkulu mengalami surplus perdagangan luar negeri tentu akan menjadi headline pemberitaan yang menggambarkan kinerja positif sebuah perekonomian, namun rilis PDRB pada kesempatan berikut sangat jarang menyoroti komposisi persamaan makro ekonomi dan cenderung melihat kinerja sektoral/lapangan usaha.

Ilustrasi tentang ekspor neto sebagai indikator makro ekonomi untuk kasus Bengkulu menyiratkan bahwa sebenarnya ekonomi Bengkulu memiliki ketergantungan yang relatif tinggi dengan daerah lain diluar Bengkulu. Bengkulu tentu bukanlah satu-satunya daerah yang memiliki ketergantungan dengan wilayah lain jika dilihat dari besaran ekspor neto dalam pembentuk PDRB. Setidaknya ada 5 provinsi di Sumatera (termasuk Bengkulu) yang memiliki pangsa ekspor neto negatif; Sumatera Selatan sebesar minus 8,39 persen, Lampung minus 5,65 persen, Aceh minus 24,23 persen dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar minus 4,10 persen. Provinsi lain di Sumatera memiliki ekspor neto positif; Jambi sebesar 20,25 persen, Sumatera Utara 7,28 persen, Sumatera Barat 2,76 persen, Kepulauan Riau 7,22 persen dan Riau sebesar 22,18 persen.

Jika disandingkan dengan tingkat kemiskinan berdasarkan data persentase jumlah penduduk miskin (kondisi September 2020) seolah memiliki korelasi, dimana ternyata 4 dari 5 provinsi dengan ekspor neto negatif adalah daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Sumatera; Bengkulu 15,3 persen, Sumatera Selatan 12,7 persen, Lampung 12,76 persen dan Aceh 15,43 persen. Hanya Bangka Belitung yang persentase jumlah penduduk miskin-nya relatif kecil (4,89 persen) walaupun ekspor neto nya bernilai negatif. Sedangkan persentase penduduk miskin pada 5 provinsi dengan nilai ekspor neto positif ternyata relatif lebih kecil (satu digit); Jambi 7,97 persen, Sumatera Utara 9,14 persen, Sumatera Barat 6,56 persen, Kepulauan Riau 6,13 persen dan Riau sebesar 7,04 persen. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Korelasi sebagai sebuah ukuran keeratan hubungan kausalitas secara matematis bisa saja dihitung terhadap besaran apapun. Namun demikian tentu sebuah hubungan harus didasarkan atas teori ilmiah yang bersesuaian sebelum ukuran keeratannya boleh dimaknai.

Kemiskinan yang dihitung atas konsepsi kebutuhan dasar dalam membangun garis kemiskinan (GK) sebagai pembatas antara miskin dan tidak miskin tentu sangat erat kaitannya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan minimum. Sama halnya dengan sebuah wilayah yang akan selalu berusaha mencukupi kebutuhan minimum wilayahnya baik dari produksi domestik maupun impor. Dengan jumlah penduduk miskin yg relatif tinggi dan ekspor neto bernilai negatif, namun inflasi Bengkulu sepanjang tahun 2020 bisa dikatakan cukup rendah. Sekedar catatan bahwa inflasi bisa didefinisikan sebagai indikasi kenaikan harga barang/jasa secara umum, namun dalam hal ini tidak bisa dikatakan sebuah wilayah dengan inflasi yg rendah memiliki harga lebih rendah dibanding daerah lain dengan inflasi yg lebih tinggi. Inflasi menggambarkan “perubahan harga” yg terjadi dari kondisi sebelumnya. Boleh jadi harga barang X di Bengkulu memang pada waktu yg sama sudah lebih tinggi daripada harga di daerah lain, sehinga ketika terjadi deflasi sekalipun di Bengkulu tidak akan membuat harga barang tersebut menjadi lebih rendah daripada di daerah lain yg mengalami inflasi. Disinyalir inflasi yg terpantau rendah sepanjang 2020 bukan disebabkan oleh melimpahnya penyediaan namun lebih disebabkan oleh daya beli konsumen yang rendah.

Jika dikaitkan dengan besarnya nilai minus ekspor neto Bengkulu, ketersediaan (supply) barang/jasa lebih bergantung pada impor yang menyebabkan margin perdagangan terbebani juga oleh margin pengangkutan. Ketika rilis pertumbuhan ekonomi memperlihatkan bahwa pandemi berdampak pada menurunnya kinerja sektor perdagangan dan sektor transportasi, sepertinya faktor ketergantungan terhadap wilayah lain sangat memengaruhi. Kontraksi pada sektor industri kemungkinan juga secara tidak langsung disebabkan oleh hal ini jika ternyata penyediaan bahan baku industri pun belum mampu diproduksi oleh domestik.

Banyak hal harus dicermati supaya ambiguitas tidak membayang-bayangi. Memahami sesuatu butuh ketelitian untuk tidak tergesa menjustifikasi persoalan. Benang kusut tak kan bisa dipintal, perlu diurai satu persatu. Kalau hanya bisa membual jangan harap negeri ini maju. (BK)

 https://www.bengkulutoday.com/surplus-ambiguitas-dalam-konteks-interregional

https://www.garudadaily.com/ketergantungan-sebuah-candu-perekonomian


Senin, 08 Februari 2021

Tumbuh, kok Minus ?!

Pasca rilis berita resmi statistik oleh BPS terkait pertumbuhan ekonomi tahun 2020, tahun yang dibayangi pandemi, media massa pun seakan kompak menuliskannya sebagai berita utama. Kata “kontraksi” diambil sebagai istilah lain yang dipakai oleh para penulis untuk menggantikan terminologi “pertumbuhan minus” dalam mendeskripsikan apa yg tengah terjadi dalam perekonomian. Alih-alih mampu membumikan cerita tentang kinerja perekonomian dalam kurun setahun, awam mungkin malah terjebak dalam bayang-bayang imajinasinya masing-masing. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) antara lain mengartikan kata kontraksi sebagai “pengerutan” (sehingga sebuah benda menjadi berkurang panjangnya).

Dalam terminologi kebahasaan (linguistik) istilah kontraksi adalah pemendekan suatu kata, suku kata, atau gabungan kata dengan cara penghilangan huruf yang melambangkan font di dalam kata tersebut. Kontraksi dalam tata bahasa tradisional, dapat mengakibatkan pembentukan kata baru dari kata yang disingkat tersebut. Hal ini umum terjadi terutama untuk tujuan memudahkan dan mempercepat pengucapan suatu kata dalam percakapan sehingga terdengar lancar dan luwes. Contoh kasus dalam bahasa Indonesia, kontraksi banyak terjadi pada bahasa tuturan ragam non formal. Hal ini disebabkan karena dalam tuturan non formal atau tuturan sehari-hari, para penutur ingin berbicara secepat mungkin dan sehemat mungkin tenaga. Penyingkatan-penyingkatan tersebut muncul misalnya pada kata-kata seperti “tidak” menjadi “tak”; “kenapa” menjadi “napa”; “enggak” menjadi “gak”; “sebentar” menjadi “ntar”; dan lain sebagainya.

Mendengar kata kontraksi sepintas bahkan mungkin terlintas pikir tentang wajah cemas seorang bumil akibat sesuatu yang menjadikannya hasus menahan sakit. Tapi kita tentu tidak sedang membicarakan hal tersebut walau mungkin jika dihubung-hubungkan, ada saja yg menjadikannya berhubungan, setidaknya secara asal-usul kata. Bicara tentang tumbuh (pertumbuhan), video iklan sebuah produk yang masih bisa kita ingat pernah memakai tagline, “tumbuh itu keatas, bukan kesamping …” untuk mengatakan produknya bisa menambah tinggi badan dan menjadikan postur ideal (seimbang dengan berat badan). Jika demikian maka kemanakah arah tumbuh yang terbayang untuk istilah tumbuh minus (negatif) ?!

Pandemi memang menjadikan kinerja perekonomian baik nasional maupun regional mengalami kontraksi, sebuah kondisi perekonomian dimana jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya tidak mengalami peningkatan, bahkan justru sebaliknya. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ataupun produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai proxy pertumbuhan ekonomi yang telah dirilis oleh BPS memang memperlihatkan kondisi tersebut hampir merata diseantero nusantara. PDB merupakan sebuah besaran yang mengakumulasikan keseluruhan nilai tambah (value added) yang berhasil diciptakan dalam perekonomian suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Nilai tambah yang dihitung tentu saja mencakup seluruh komoditas ekonomi, baik berbentuk barang maupun jasa, sebagai sebuah “nilai” yang memang berhasil ditambahkan kedalam bentuk mula sebuah produk melalui sebuah proses produksi yang melibatkan berbagai faktor produksi sehingga merubahnya menjadi bentuk lain yang lebih bernilai secara ekonomis.

Sepotong pisang goreng yang dijajakan dipinggir jalan adalah bentuk lain buah pisang setelah seorang tukang gorengan menambahkan sebuah “nilai” melalui serangkaian proses produksi. Tukang gorengan adalah sebuah objek penanda kemana nilai tambah yang tercipta akan dikelompokkan dalam penyajian besaran PDB menurut sisi produksi (production approach) atau BPS biasa menyebutnya sebagai PDB menurut lapangan usaha. Tukang gorengan tentu juga akan beroleh surplus atas usaha nya memproduksi dan menjajakan gorengan, bersama beribu tukang gorengan yang lain. Surplus atas usaha, yang diperoleh oleh siapa pun atas bentuk usaha apa pun merupakan salah satu komponen nilai tambah bruto sebagai balas jasa atas kepemilikan faktor produksi (dalam hal ini adalah “entrepreneurship”), selain balas jasa atas faktor produksi lainnya. Penghitungan PDB dari akumulasi balas jasa faktor produksi disebut dengan pendekatan sisi pendapatan (income approach), biasanya hanya akan terlihat dalam sebuah Tabel Input Output. PDB dari sisi pengeluaran (expenditure approach) adalah bentuk lain yang biasa dihitung dan disajikan oleh BPS. Pada contoh kasus pisang goreng, pembeli yang mengkonsumsi pisang goreng tersebut akan menjadi penanda kemana jenis pengeluaran akan dikelompokkan (dalam hal ini tentu sebagai kelompok komponen Konsumsi Rumah Tangga). Sebuah proses pencatatan kegiatan perekonomian dalam suatu wilayah yang komprehensif terkait pelaku, baik dari sisi produsen maupun konsumen, jenis kegiatan, dan bagaimana proses produksi maupun distribusi-nya bukanlah sesuatu yang mudah hingga akhirnya mewujud dalam sebuah besaran indikator yang disebut “pertumbuhan”.

Senada dengan fenomena nasional, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu pun tumbuh minus walau hanya pada kisaran “nol koma nol sekian persen”. Perekonomian dalam kondisi normal semestinya memang akan mengalami pertumbuhan dari waktu kewaktu bahkan tanpa adanya campur tangan pemerintah sekalipun, bagaikan ilalang yang tak kenal musim. Ekonomi tentu saja tidak akan sekedar tumbuh bagai ilalang, jika pemerintah berhasil merekayasa strategi kebijakan dari sisi moneter maupun fiskal. Dalam runtun waktu (time series), perekonomian diharapkan selalu memiliki kecenderungan (trend) menaik dengan pola musiman (seasonal) yang terkontrol dalam sebuah siklus (cyclical) dengan pola yang terpetakan. Harapan semacam ini yang menjadikan istilah “tumbuh” selalu disematkan dalam rilis perkembangan perekonomian, maka istilah “tumbuh minus” pun menjadi biasa didengungkan.

Covid-19 seolah menjadi kambing hitam dalam hampir semua sebab kegagalan pada tahun 2020 dan hingga kini masih membayang-bayangi, sebuah variasi tak beraturan (irregular variation) dan menjadi sesuatu yg masih sulit diramalkan dalam kerangka analisa deret berkala atas kinerja perekonomian. Sebenarnya dengan besaran “nol koma nol sekian persen”, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu bisa dikatakan tidak berbeda nyata dengan kondisi sebelumnya. Tanda negatif/minus hanya menunjukkan bahwa besaran angka nya lebih kecil (<) dari tahun lalu. Besaran ini juga mengatakan bahwa PDRB provinsi Bengkulu tahun ini sama dengan “sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan sekian persen” PDRB tahun lalu, lantas dimana signifikansi pengaruh pandemi ?

Struktur PDRB tahun 2020 tidak menunjukkan adanya perubahan pangsa lapangan usaha dan relatif sama dengan tahun sebelumnya dengan “pertanian” sebagai kontributor utama (28%) diikuti “perdagangan” (14%) dan “administrasi pemerintahan” (10%). Dari ketiganya hanya “perdagangan” yang mengalami kontraksi sementara dua sektor yg lain masih bisa tumbuh positif. “Transportasi” dan “industri” adalah dua sektor utama lainnya yang juga mengalami kontraksi, sementara “jasa pendidikan” dan “konstruksi” memberikan kontribusi positif disisi lain. Ketujuh sektor yang disebutkan diatas setidaknya berkontribusi atas hampir 80 persen pangsa PDRB Provinsi Bengkulu.

Dengan postur yang hampir mirip dengan kondisi tahun sebelumnya, setidaknya pandemi telah berhasil menorehkan riasan baru pada wajah perekonomian Bengkulu. Sektor yang membutuhkan keterlibatan lebih banyak interaksi pelaku ekonomi terlihat lebih terdampak pandemi (perdagangan, transportasi, industri), berbeda dengan sektor yang tidak perlu melibatkan banyak pelaku. Administrasi pemerintahan memang tetap dijalankan dengan sebagian pola work from home dan fokus pada penanggulangan dampak pandemi, demikian halnya “jasa pendidikan” yang menerapkan pola daring. Kinerja positif sektor konstruksi lebih pada proyek infrastruktur pemerintah yang masih dipertahankan keberlanjutannya. Pertanian (mencakup semua subsektor) menjadi tumpuan harapan sebagian besar masyarakat, terlebih dimasa pandemi. Karakteristik sektor ini menjadikannya gampang dimasuki oleh siapapun sebagai pelaku, bahkan untuk sekedar menjadikannya sebagai subsisten. Hampir 47 persen penduduk Bengkulu bekerja di sektor pertanian dan hanya sekitar 16 persen yang menggeluti sektor perdagangan (Survei Angkatan Kerja Nasional) sehingga secara sosial ekonomi sepertinya pandemi belum/tidak terlihat memberikan pengaruh nyata dalam perekonomian.

Bagaimana postur PDRB sisi pengeluaran ? Komposisi komponen pembentuk PDRB pengeluaran juga relatif sama (untuk tidak mengatakannya sama persis) dengan kondisi tahun sebelumnya, antara lain dengan 63 persen Konsumsi Rumah Tangga, 41 persen PMTB, 19 persen Konsumsi Pemerintah, dan 2 persen Konsumsi LNPRT, serta “ekspor netto” yang masih menjadi faktor pengurang (bernilai negatif). Kinerja sisi pengeluaran bisa dibilang tidak berbeda nyata dengan kondisi tahun 2019 kecuali kinerja investasi yang sedikit terlihat menurun disamping kinerja ekspor yang juga terindikasi terdampak oleh kondisi pasar global yang mengakibatkan turunnya permintaan.

New normal yang digagas untuk merubah mindset masyarakat terhadap pandemi seiring waktu justru perlahan menjadi bumerang akibat sikap apatis yang menggejala. Jika tak hendak membuat akar rumput perekonomian ikut tercerabut bahkan ketika kecambah nya mulai bertunas dan kambing hitam covid berniat menggagalkannya bertumbuh, mari kita pagari ladang ekonomi ini. Kelak kalo rumputnya sudah menghijau, kita akan memelihara beberapa ekor kambing, tapi tentu bukan yang hitam. Bukan juga yang putih, karena katanya “kambing putih” itu istilah lain dari pencitraan. Sampai hari ini sebagian besar kita sepertinya masih kompak menjadikan pandemi sebagai kambing hitam, sebagai segala bentuk penyebab kegagalan seolah melupakan pengakuan diri atas kebertuhanan. Cobaan, ujian atau hukuman ? atau mungkin pandemi sekaligus merupakan wujud ketiga-tiganya ?!

https://bengkulu.siberindo.co/07/02/2021/tumbuh-kok-minus

https://www.bengkulutoday.com/tumbuh-kok-minus

https://www.garudadaily.com/mengkambinghitamkan-pandemi-dalam-kontraksi-ekonomi


Kamis, 04 Februari 2021

Kepariwisataan : benarkah sebuah pilihan ?

Ide atau ajakan membangkitkan kepariwisataan dimasa pandemi covid masih saja mengemuka, baik ditataran nasional maupun regional. Bak menggapai langit, sungguh ini bukan pekerjaan mudah. Menjamin rasa aman atas kemungkinan tidak terpapar virus butuh upaya ekstra. Jika pun penjamin (dalam hal ini otoritas pemerintah) mengatakan bisa menjamin, namun keyakinan untuk merasa aman tetaplah menjadi putusan pribadi masyarakat selaku pelaku kegiatan. Data pengumpulan dana pihak ketiga pada industri perbankan yg katanya menembus angka seribu trilyun, setidaknya memperlihatkan bahwa masyarakat (utamanya kelas menengah) masih menahan diri untuk melakukan aktivitas dan konsumsi.

Bengkulu sebagai daerah potensi wisata pun ingin bangkit. Namun tentu patut ditelisik lebih jauh, apakah memang percepatan kebangkitan kepariwisataan memiliki efek pengganda yg besar untuk kemaslahatan dan cukup efektif mendorong percepatan kinerja perekonomian secara umum. Setidaknya ada 2 (dua) indikator dari Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis oleh BPS setiap bulannya terkait kepariwisataan yang bisa disimak. Rata-rata tingkat penghunian kamar hotel sepanjang tahun 2020 hanya mencapai 37,69 persen, jauh dibawah rata-rata dua tahun sebelumnya yang mencapai 62,32 persen (2019) dan 66,26 persen (2018). Data untuk periode Maret-Desember (pandemi) bahkan hanya mencapai 35 persen perbulan, padahal untuk periode yg sama di tahun sebelumnya bisa mencapai lebih dari 68 persen per bulan. Indikator lain adalah data transportasi udara (penerbangan) dari bandara utama (Fatmawati International Airport) yang terlihat senada dengan pergerakan data hunian hotel. Jumlah penumpang rata-rata perbulan sepanjang tahun 2020 hanya sebanyak 30.436 orang, dimana pada dua tahun sebelumnya mampu mencapai 64.533 orang (2019) dan 89.035 orang (2018) setiap bulannya. Khusus pada masa pandemi, jumlah penumpang pesawat tercatat hanya sekitar 27 ribu orang saja perbulannya, padahal biasanya bisa mencapai hampir 90 ribu orang sebelum pandemi.

Sebenarnya indikasi mulai menurunnya kinerja kepariwisataan sudah terlihat bahkan sebelum pandemi covid-19 menyerang dan menjadi hantu gentayangan sepanjang tahun 2020 hingga kini. Kepariwisataan sangat dekat dengan kebutuhan ide kreatif yang seolah ditantang atau diuji oleh adanya pandemi. Tidak untuk mengatakan bahwa membangkitkan kepariwisataan bukanlah hal yang penting, namun sangatlah bijak untuk membaca skala prioritas dalam perencanaan percepatan kinerja perekonomian. Tingkat ketebalan lapis demi lapis golongan masyarakat secara ekonomi sebuah wilayah menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan jenis suntikan kedalam perekonomian. Sama halnya jenis vaksin covid yang masih menjadi perdebatan.

Rilis BRS lainnya menyebutkan, transaksi perdagangan luar negeri Provinsi Bengkulu sepanjang tahun 2020 masih menunjukkan kondisi surplus sebesar US$ 150,45 juta, dengan nilai ekspor US$ 153,73 juta dan impor sebesar US$ 3,27 juta. Meskipun nilai surplus perdagangan ini lebih kecil dibanding tahun 2019 (turun 16,82 persen), tapi masih memperlihatkan kinerja positif. Jika dilihat jenis komoditi ekspor utamanya adalah Batubara dan Karet, menyusul kemudian CPO. Batubara sebagian besar diekspor ke India dan Philipina, sementara karet utamanya dikirim ke Spanyol dan juga India.

Butuh perhitungan lebih rumit untuk memastikan manakah yg lebih berdampak ganda kedalam perekonomian Bengkulu, kepariwisataan atau kah sektor lain. Pengganda dalam perekonomian setidaknya memperhitungan fakto-faktor produksi, baik dari sisi kepemilikan dan atau ketersediaannya dalam wilayah (domestik). Pengganda output dan pengganda tenaga kerja menjadi bahasan umum dalam melihat luasan capaian kinerja perekonomian suatu wilayah. Jika bicara komoditas ekspor utama sebagaimana disebutkan diatas tentu terbayang siapa dan berapa banyak yang terlibat dibalik produksi komoditas tersebut. Demikian halnya dengan sektor kepariwisataan, juga bisa dibayangkan.

Keterlibatan tentu tidak hanya cerita siapa dan berapa yg sudah terlibat, tetapi seberapa banyak lagi yang bisa dilibatkan untuk bisa memperkirakan keberlanjutan percepatan putaran roda perekonomian. Besaran output memang belum se-sempurna nilai tambah (value added). Masih banyak diperlukan sentuhan kreatif teknologi untuk menjadikan output maksimal menjadi sebuah nilai tambah dalam perekonomian. Terkait kajian sumber pertumbuhan (source of growth) nilai tambah perekonomian, BPS akan merilis data Produk Domestik Bruto tahun 2020 pada tanggal 5 Februari nanti. Mari belajar dari sesuatu yg belum sempurna menuju sebuah kesempurnaan.

https://www.garudadaily.com/kepariwisataan-benarkah-sebuah-pilihan


buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...