Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. World Health Organization
(WHO) mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan
pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah
kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses
pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik,
untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan
dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. Food
and Agriculture Organization (FAO) menambahkan komponen keempat, yaitu
kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.
Merebaknya covid19
mewarnai berbagai pemberitaan berbagai media, tak kecuali media sosial. Tak
sedikit yang menyikapinya dengan kepanikan walaupun berbagai kalangan
intelektual juga mencoba meredam kepanikan dengan pemberitaan berimbang yang
lebih rasional. Berawal dari upaya membatasi penularan dengan berbagai
kebijakan yang mengurangi frekwensi temu muka secara langsung, bahkan menuju lockdown
city, maka kekhawatiran akan melambatnya kinerja perekonomian pun mulai
diantisipasi oleh pasar. Kemungkinan akan menurunnya tingkat produktivitas,
bisa saja berdampak pada penurunan penyediaan agregat (supply) baik
barang atau jasa. Wabah yang mendunia secara global juga akan berdampak pada
pola perdagangan internasional, sehingga kekurangan supply untuk
memenuhi permintaan agregat (demand) belum tentu dapat dipenuhi dari
impor.
Sebagai kebutuhan
paling mendasar, maka ketahanaan pangan adalah hal krusial yang patut mendapat
perhatian ditengah wabah. Pada masa
perang dunia, bahan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan logistik
militer. Ketahanan pangan pada masa itu (dan harusnya sepanjang masa) sangat
erat kaitannya dengan ketahanan negara. Perang dalam arti sebenarnya memang
tidak sedang terjadi di negeri ini. Memerangi virus yang mewabah, sudah
seharusnya menjadi tanggung jawab bersama warga bangsa, dan bukan lagi menjadi
tanggung jawab semata mata dari Gugus Tugas yang dibentuk.
Bicara data pangan untuk Provinsi Bengkulu, terutama komoditas pangan
pokok, tentu tidak akan terlepas dari data padi, seperti halnya di sebagian
besar wilayah republik ini. Ketidakakuratan data produksi padi telah diduga
oleh banyak pihak sejak 1997. Walaupun sudah diduga
sejak lama, upaya untuk memperbaiki metodologi perhitungan produksi padi baru
dilakukan pada tahun 2015. Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi
Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
berupaya memperbaiki metodologi perhitungan luas panen dengan menggunakan
metode Kerangka Sampel Area (KSA).
KSA memanfaatkan
teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang
berasal dari Kementerian ATR/BPN untuk mengestimasi luas panen padi.
Penyempurnaan dalam berbagai tahapan perhitungan produksi beras telah dilakukan
secara komprehensif mulai dari perhitungan luas lahan baku sawah hingga
perbaikan perhitungan konversi gabah kering menjadi beras. Berdasarkan hasil
Survei KSA, pola panen padi di Provinsi Bengkulu pada periode Januari sampai
dengan Desember tahun 2019 relatif sama dengan pola panen tahun 2018. Jika
dibandingkan dengan total luas panen padi pada 2018, luas panen padi pada 2019
mengalami penurunan sebesar 1.484 hektar (2,25 persen).
Kecenderungan
menurunnya luas panen memang terlihat agak mengkhawatirkan dari sisi ketahanan pangan.
Namun data lain menunjukkan kondisi yang cukup melegakan. Total produksi padi
di Porvinsi Bengkulu pada 2019 sekitar 296.472 ton GKG, atau mengalami
peningkatan sebanyak 7.662 ton (2,65 persen) dibandingkan tahun 2018. Jika
produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk,
produksi padi pada 2018 setara dengan 165.488 ton beras. Sementara itu,
produksi pada 2019 sebesar 169.878 ton beras, atau mengalami peningkatan
sebesar 4.390 ton (2,65 persen) dibandingkan dengan produksi tahun 2018.
Tren peningkatan
produksi padi pada saat luas panen justru menurun memang dapat saja terjadi jika pola intensifikasi berhasil
diterapkan dalam proses produksi atau bisa juga melalui penerapan teknologi
(pertanian padi) terkini yang jauh lebih efektif. Sementara penurunan luas
panen, kedepan seharusnya bisa lebih diantisipasi dengan penyiapan sarana
prasarana (saprodi) yang lebih baik. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata
pertahun sebesar 1,63 persen, maka tren peningkatan produksi beras sebagaimana
terjadi pada tahun lalu setidaknya memberikan gambaran bahwa ketahanan pangan
lokal untuk komoditi ini relatif akan lebih baik. Kondisi ini menuntut asumsi
adanya ketidakpanikan akan isu kekurangan ketersediaan, dan tentu saja situasi
pasar yang normal sebagaimana biasa. Jangan ada yang bermain dengan aksi ambil
untung untuk kepentingan pribadi. Dan satu hal lagi, semoga wabah ini segera
berlalu karena wabah menjadi komponen yang tidak bisa diperhitungkan dalam
model analisa runtun waktu (time series analysis), berbeda dengan faktor
musiman (seasonal) dan siklus (cyclical).
Data produksi
pangan yang akurat tentu menjawab data konsumsi disisi lain. Keduanya saling
mengisi dan menghiasi catatan tentang pola distribusi pangan. Data produksi
padi sebagaimana telah disebutkan, terus mengalami penyempurnaan. Demikian
halnya data konsumsi yang berawal dari data jumlah penduduk. Sensus Penduduk
2020 pun bertujuan menyempurnakan data, menuju satu data kependudukan
Indonesia. Mencatat Bengkulu, Mencatat Indonesia.