Kamis, 26 Maret 2020

Tren Peningkatan Produksi Padi Sawah, ditengah Wabah; menguji ketahanan pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. World Health Organization (WHO) mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. Food and Agriculture Organization (FAO) menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.
Merebaknya covid19 mewarnai berbagai pemberitaan berbagai media, tak kecuali media sosial. Tak sedikit yang menyikapinya dengan kepanikan walaupun berbagai kalangan intelektual juga mencoba meredam kepanikan dengan pemberitaan berimbang yang lebih rasional. Berawal dari upaya membatasi penularan dengan berbagai kebijakan yang mengurangi frekwensi temu muka secara langsung, bahkan menuju lockdown city, maka kekhawatiran akan melambatnya kinerja perekonomian pun mulai diantisipasi oleh pasar. Kemungkinan akan menurunnya tingkat produktivitas, bisa saja berdampak pada penurunan penyediaan agregat (supply) baik barang atau jasa. Wabah yang mendunia secara global juga akan berdampak pada pola perdagangan internasional, sehingga kekurangan supply untuk memenuhi permintaan agregat (demand) belum tentu dapat dipenuhi dari impor.
Sebagai kebutuhan paling mendasar, maka ketahanaan pangan adalah hal krusial yang patut mendapat perhatian ditengah wabah. Pada masa perang dunia, bahan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan logistik militer. Ketahanan pangan pada masa itu (dan harusnya sepanjang masa) sangat erat kaitannya dengan ketahanan negara. Perang dalam arti sebenarnya memang tidak sedang terjadi di negeri ini. Memerangi virus yang mewabah, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama warga bangsa, dan bukan lagi menjadi tanggung jawab semata mata dari Gugus Tugas yang dibentuk.
Bicara data pangan untuk Provinsi Bengkulu, terutama komoditas pangan pokok, tentu tidak akan terlepas dari data padi, seperti halnya di sebagian besar wilayah republik ini. Ketidakakuratan data produksi padi telah diduga oleh banyak pihak sejak 1997. Walaupun sudah diduga sejak lama, upaya untuk memperbaiki metodologi perhitungan produksi padi baru dilakukan pada tahun 2015. Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) berupaya memperbaiki metodologi perhitungan luas panen dengan menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
KSA memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR/BPN untuk mengestimasi luas panen padi. Penyempurnaan dalam berbagai tahapan perhitungan produksi beras telah dilakukan secara komprehensif mulai dari perhitungan luas lahan baku sawah hingga perbaikan perhitungan konversi gabah kering menjadi beras. Berdasarkan hasil Survei KSA, pola panen padi di Provinsi Bengkulu pada periode Januari sampai dengan Desember tahun 2019 relatif sama dengan pola panen tahun 2018. Jika dibandingkan dengan total luas panen padi pada 2018, luas panen padi pada 2019 mengalami penurunan sebesar 1.484 hektar (2,25 persen).
Kecenderungan menurunnya luas panen memang terlihat agak mengkhawatirkan dari sisi ketahanan pangan. Namun data lain menunjukkan kondisi yang cukup melegakan. Total produksi padi di Porvinsi Bengkulu pada 2019 sekitar 296.472 ton GKG, atau mengalami peningkatan sebanyak 7.662 ton (2,65 persen) dibandingkan tahun 2018. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi padi pada 2018 setara dengan 165.488 ton beras. Sementara itu, produksi pada 2019 sebesar 169.878 ton beras, atau mengalami peningkatan sebesar 4.390 ton (2,65 persen) dibandingkan dengan produksi tahun 2018.
Tren peningkatan produksi padi pada saat luas panen justru menurun memang dapat saja  terjadi jika pola intensifikasi berhasil diterapkan dalam proses produksi atau bisa juga melalui penerapan teknologi (pertanian padi) terkini yang jauh lebih efektif. Sementara penurunan luas panen, kedepan seharusnya bisa lebih diantisipasi dengan penyiapan sarana prasarana (saprodi) yang lebih baik. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun sebesar 1,63 persen, maka tren peningkatan produksi beras sebagaimana terjadi pada tahun lalu setidaknya memberikan gambaran bahwa ketahanan pangan lokal untuk komoditi ini relatif akan lebih baik. Kondisi ini menuntut asumsi adanya ketidakpanikan akan isu kekurangan ketersediaan, dan tentu saja situasi pasar yang normal sebagaimana biasa. Jangan ada yang bermain dengan aksi ambil untung untuk kepentingan pribadi. Dan satu hal lagi, semoga wabah ini segera berlalu karena wabah menjadi komponen yang tidak bisa diperhitungkan dalam model analisa runtun waktu (time series analysis), berbeda dengan faktor musiman (seasonal) dan siklus (cyclical).
Data produksi pangan yang akurat tentu menjawab data konsumsi disisi lain. Keduanya saling mengisi dan menghiasi catatan tentang pola distribusi pangan. Data produksi padi sebagaimana telah disebutkan, terus mengalami penyempurnaan. Demikian halnya data konsumsi yang berawal dari data jumlah penduduk. Sensus Penduduk 2020 pun bertujuan menyempurnakan data, menuju satu data kependudukan Indonesia. Mencatat Bengkulu, Mencatat Indonesia.


Bisakah Bengkulu Lebih Baik (lagi) ?!

Pengalaman menunjukkan bahwa mempertahankan suatu prestasi jauh lebih sulit ketimbang meraihnya. Bertahan pada kisaran 5 persen selama kurun waktu lebih dari 5 tahun terakhir dalam hal kinerja positif perekonomian yang direpresentasikan oleh laju pertumbuhan ekonomi, menjadikan Bengkulu seolah “tumbuh seiring” dengan kinerja perekonomian nasional. Tentu saja terdapat perbedaan antar keduanya, setidaknya jika dilihat dari struktur komponen penyusunnya. Riap tumbuh masing masing sektor yang juga beragam, memperlihatkan sumber pertumbuhan (source of growth) perekonomian Bengkulu relatif berbeda dengan perekonomian nasional. Perdagangan (besar, eceran dan reparasi kendaraan) merupakan sumber pertumbuhan utama, selain sektor Pertanian (include; Perikanan & Kehutanan) dan sektor Administrasi Pemerintahan, ini jika dilihat dari sisi produksi (production approach). Sementara jika dilihat dari sisi pengeluaran (expenditure approach), Konsumsi (terutama rumahtangga) merupakan sumber pertumbuhan utama. Sedangkan perekonomian nasional didorong oleh Industri Manufaktur sebagai mesin pertumbuhan sisi produksi dan Pembentukan Modal Tetap Bruto di sisi pengeluaran.
Skema tujuan pembangunan berkelanjutan (social development goal’s) setidaknya memposisikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai sebuah “syarat cukup” keberlangsungan pembangunan. Mesin pertumbuhan (engine of growth) yang menjamin keberlanjutan setidaknya harus berdampak ganda (multiplier effect), menyerap output sektor lain sebagai input (backward) sekaligus menjadi input bagi sektor lain (forward). Tumbuhnya perekonomian yang bukan sekedar tumbuh, butuh semaian bibit unggul perencanaan, pupuk penganggaran yang pas, siraman air akuntabilitas dan curahan sinar mentari pengawasan.
Kinerja positif perekonomian Bengkulu setidaknya juga didukung oleh terkendalinya inflasi, tingkat pengangguran yang rendah, nilai tukar petani yang membaik serta tren kemisikinan yang cenderung terus menurun. Indikator tersebut menggambarkan kondisi makro ekonomi yang relatif baik. Jika hal ini terkategori baik, apakah mungkin bisa menjadi lebih baik (lagi) ? Data history dalam sebuah “sistem” yang sedang terjadi, dapat digunakan untuk membangun sebuah model matematis dalam menyederhanakan permasalahan. Model tersebut akan menjawab keraguan pernyatan ilmiah (hypothesis) bahwa “Bengkulu bisa lebih baik lagi”.
Statistisi mengukur tingkat kepercayaan untuk menjawab keragu-raguan hypothesis dalam sebuah selang kepercayaan (confidence interval) mendekati nilai 100 persen. Pada akhirnya dalam pengambilan keputusan terhadap keraguan akan sebuah hypothesis tetap akan mengandung unsur kesalahan. Kesalahan yang mungkin dapat terjadi terbagi kedalam dua type kesalahan. Kesalahan jenis pertama adalah ketika ternyata keputusan yang diambil adalah “menolak pernyataan yang benar”. Misal dinyatakan bahwa Bengkulu bisa lebih baik lagi, tapi kita menolak pernyataan tersebut (base on data history) padahal memang seharusnya bisa lebih baik. Kesalahan jenis yang lain adalah ketika keputusan yang diambil adalah menerima pernyataan yang salah. Dalam hal ini dapat dimisalkan bahwa pernyataan Bengkulu bisa lebih baik lagi, kita terima (base on data history) padahal ternyata tidak bisa lebih baik. Menolak sebuah kebenaran dan atau menerima suatu ketidakbenaran, sama-sama merupakan sebuah kesalahan. Dalam keseharian, kita tentu tahu mana yang lebih sering terjadi.
Data dengan series yang panjang sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah model ekonomi, menyusun strategi, merekayasa struktur perekonomian dalam pencapaian tujuan. Mencatat apapun, menumbuhkembangkan bank data, merepresentasikan keutuhan perubahan dari masa ke masa. Data yang mencerdaskan bangsa mengedepankan kejujuran sebagai panglima, mengakui kemungkinan kesalahan untuk menjadi koreksi. Sekali lagi mari mencermati tanya, “bisakah Bengkulu lebih baik (lagi) ?” Jika kita punya data akurat, tentu jawabnya kita dapat. Mari membiasakan diri untuk mencatat. Bengkulu adalah bagian penting sejarah Indonesia. Mencatat Bengkulu, Mencatat Indonesia.


Menakar Kepercayaan, Menuju INDONESIA MAJU

Tujuh dekade republik yang sama kita cintai ini, terus berbenah diri dalam proses perencanaan pencapaian tujuan berbangsa. Sebuah proses perencanaan dalam konteks pencapaian tujuan setidaknya diawali sebuah kerangka pikir teoritis yang akan melahirkan pilihan kebijakan terukur, di dalam nya tentu menuntut ketersediaan Data sebagai indikator, baik sebagai indikator masukan, indikator proses ataupun indikator keluaran, bahkan bisa jadi sebagai indikator outcome. Sebuah bangsa yang menyebut diri sebagai suatu negara, setidaknya mensyaratkan penguasaan wilayah yg diakui dunia internasional dengan sejumlah penduduk sebagai warganya.
Dasar hitung paling sederhana untuk pendekatan penghitungan sistem neraca nasional (system national account) dari berbagai pendekatan (produksi, pengeluaran dan pendapatan) mengacu pada besaran jumlah penduduk sebagai indikator. Pencatatan lengkap nya menjadi sangat krusial dan direkomendasikan oleh PBB untuk diselenggarakan setidaknya dalam sepuluh tahun sekali. Sesuatu yang berbeda akan coba diterapkan dalam pelaksanaan pencatatan tahun ini, sebagai apa yang disebut SENSUS PENDUDUK 2020. Sebelum ini, sensus dilakukan dengan langsung mencacah door to door pada seluruh wilayah dengan tidak membiarkan seorangpun terlewat cacah (metode tradisional). Negara negara maju dengan pencatatan sipil yang relatif bagus, telah meninggalkan metode tradisional dalam pelaksanaan sensus penduduk, dan beralih pada metode registrasi.
Berbekal pencatatan sipil yang sudah ada, maka sensus penduduk kali ini akan mencoba mengkombinasikan data dasar dari Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan, Kementerian Dalam Negeri dengan verifikasi dan pencacahan lapangan. Metode ini diharapkan mengantarkan proses transisi menuju metode pelaksanaan sensus penduduk sebagaimana di negara maju.
Tidak hanya mengkombinasikan metode sensus nya, pengumpulan data lapangan akan menerapkan multimode data collection. Masyarakat diharapkan untuk berpartisipasi secara mandiri untuk mengupdate data diri beserta anggota keluarganya melalui sensus penduduk online pada tahap pertama pelaksanaan (15 februari s/d 31 maret), baru kemudian akan di lanjutkan sensus penduduk wawancara pada tahap berikutnya (1-31 juli) untuk yang belum melakukan sensus penduduk online.
Tingkat partisipasi dalam sensus penduduk online sedianya akan mengindikasikan besaran modal sosial dari sisi kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah, percaya akan pentingnya data yang akurat dan terkini akan termanfaatkan dengan baik. Kepastian perlindungan keamanan data pribadi tentu harus dijamin oleh undang-undang dan didukung oleh penerapan teknologi informasi termutakhir.
Kejujuran menjadi sangat penting dalam menjamin kualitas data yang kelak akan dimanfaatkan dalam proses perencanaan pencapaian tujuan nasional. Partisipasi jujur, menakar modal sosial, menuju Indonesia Maju. Mari bersama Mencatat Indonesia.

Modal Sosial ; Tipis dan Kian Tergerus

Berbagai strategi pembangunan yang dilakukan membutuhkan faktor kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi dasar dalam menentukan perkembangan dan keberlanjutan pembangunan. Suatu besaran indeks yang pernah diukur menunjukkan masih tipisnya akumulasi modal sosial bahkan dengan kecenderungan yang semakin menipis di beberapa wilayah. Nilai indeks modal sosial Indonesia yang terakhir di publikasikan oleh BPS hanya sebesar 49,45; sebuah nilai yang belum bisa dikategorikan baik (skala indeks 0-100). Nilai indeks tertinggi dimiliki oleh Jawa Tengah (55,62) sementara yang terendah adalah Kepulauan Riau (38,00). Kecenderungan menipisnya modal sosial setidaknya terlihat dari menurunnya angka Indeks Modal Sosial dari angka sebelumnya sebesar 59,34 walaupun BPS menerapkan sedikit perubahan metodode dan variabel dalam pengukuran indeks. (BPS:statistik modal sosial)
Kepercayaan (trust), timbal balik (reciprocal) dan interaksi sosial merupakan tiga unsur utama dalam modal sosial. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama, 2002). Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas. Adanya high-trust akan melahirkan solidaritas kuat yang mampu membuat masing-masing individu bersedia mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Bagi masyarakat low-trust dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya. Jika low-trust terjadi dalam suatu masyarakat, maka campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan bimbingan.
Unsur penting kedua dari modal sosial adalah timbal balik (reciprocal), dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu yang dapat muncul dari interaksi sosial. Unsur yang selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup kepercayaan dan lingkup hubungan timbal balik. Jaringan sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Modal sosial dapat bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga ekonomi.
Modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khususnya peranan, aturan, precedent dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutnya dikembangkan dalam usaha penigkatan taraf hidup dan kesejahteraan.
Level mekanisme modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri merupakan upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh seseorang atau kelompok lain. Ciri penting modal sosial sebagai sebuah capital dibandingkan dengan bentuk capital lainnya adalah asal-usulnya yang bersifat sosial. Relasi sosial bisa berdampak negatif ataupun positif terhadap pembentukan modal sosial tergantung apakah relasi sosial itu dianggap sinergi atau kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicapai diatas kekalahan orang lain (zero-sum game).
Persentase rumah tangga yang memiliki rasa percaya terhadap aparatur pemerintah hanya sebesar 81,73 persen. Lebih rendah daripada tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat (88,17%) maupun tokoh agama (92,02%). Demikian pula halnya dengan jumlah rumah tangga yang percaya terhadap tetangganya, dimana rasa percaya untuk menitipkan rumah sebesar 82,28%, bahkan rasa percaya menitipkan anak jauh lebih kecil (64,37%).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh suku bangsa ataupun agama lain dilingkungan tempat tinggal terkadang disikapi dengan rasa tidak/kurang senang. Hasil survey menunjukkan hanya 67,70 persen rumah tangga yang senang jika kegiatan diselenggarakan oleh suku bangsa lain dan jika diselenggarakan oleh agama lain hanya 42,81 persen yang merasa senang.
Lingkungan tempat tinggal yang mengadakan pertemuan warga masih cukup banyak. Lebih dari separuh rumah tangga (59,13%) menyatakan di lingkungannya masih terdapat pertemuan warga berupa rapat, baik yang dilakukan secara rutin sekali dalam seminggu, sekali dalam sebulan maupun sekali dalam beberapa bulan. Sementara, sekitar 19,28 persen rumah tangga menyatakan tidak ada pertemuan warga di lingkungan tempat tinggalnya, dan 21,59 persen rumah tangga menyatakan tidak tahu mengenai ada tidaknya pertemuan warga tersebut.
Persentase rumah tangga menurut tingkat partisipasi mengikuti pertemuan warga di lingkungan tempat tinggal dalam setahun terakhir (tidak termasuk sekitar 40 persen rumah tangga yang menyatakan tidak tahu/tidak ada pertemuan warga di lingkungan tempat tinggalnya) masih cukup tinggi. Lebih dari separuh rumah tangga (84,96%) masih mau berpartisipasi dalam pertemuan warga di lingkungan tempat tinggalnya, walaupun mayoritas rumah tangga berpartisipasi dengan intensitas jarang (40,21%). Cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal dapat berbeda-beda sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Data menunjukkan sekitar 52,34 persen rumah tangga menyatakan musyawarah sebagai cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan di lingkungan tempat tinggalnya. Namun masih terdapat 36,15 persen rumah tangga yang menyatakan tidak mengetahui cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut kurang menaruh perhatian pada permasalahan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
Partisipasi dalam kegiatan sosial keagamaan setidaknya sering diikuti oleh 60,28 persen rumah tangga. Sedangkan kegiatan sosial kemasyarakatan diikuti oleh 29,46 persen rumah tangga. 76,33 persen rumah tangga sering berpartisipasi dalam kegiatan bersama membantu warga yang terkena musibah dan persentase rumah tangga yang berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk kepentingan umum sebanyak 42,36 persen.
Menjadikan modal sosial sebagai modal pembangunan bukanlah perkara mudah. Namun jika modal sosial terus menipis maka bukan tidak mungkin pembangunan yang telah dilakukan akan menggerus nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara. Dapatkah kita bayangkan jika masyarakat tidak lagi percaya kepada aparatur pemerintah, tidak lagi hormat pada tokoh masyarakat ataupun tokoh agama ? Sementara tidak lagi ada yang peduli terhadap lingkungannya, tidak ada lagi toleransi dan rasa percaya terhadap tetangga. Pastilah semua mengantarkan kita ke ambang kehancuran.
Modal sosial merupakan sumberdaya yang melekat pada hubungan sosial. Modal sosial tidak akan langgeng tanpa kehadiran kelompok atau organisasi yang menopangnya. Sebaliknya keberadaan kelompok atau organisasi dalam masyarakat tidak dapat terbangun dengan kuat tanpa modal sosial. Masih adakah teladan yang bisa kita harapkan mampu merekatkan hubungan sosial antar masyarakat ? Tidak seharusnya republik ini mengalami penipisan modal sosial secepat ini. Pertumbuhan ekonomi kah yang salah, atau pemanfaatannya yang kurang pas ? Paradigma pembangunan semestinya meletakkan manusia (mahluk sosial) bukan sebagai obyek melainkan menjadi subyek dari pembangunan itu sendiri. Mari berkaca pada diri kita masing-masing, berapa besar modal sosial yang bisa kita sumbangkan untuk negeri yang (katanya) sama kita cintai ini. Negeri yang katanya ber Bhineka Tunggal Ika
#MencatatIndonesia

Memintal Benang Merah Perstatistikan

Betapa repotnya negara mengurusi berita “hoax” akhir akhir ini. Media yang paling sulit untuk bisa dikendalikan dalam masifnya penyebaran “hoax” adalah media sosial. Para penyebar (sumber awal) berita hoax berupaya membentuk ataupun menggiring opini masyarakat secara lebih luas dengan sangat tendensius. Masing-masing berita hoax memiliki arah tujuan pembentukan opini dengan motif tertentu. Yang paling sering mengemuka adalah tujuan politis tentunya, walaupun banyak juga tertuju pada pembentukan opini lain. Sumber awal sebuah berita hoax lah yang paham betul apa dan kearah mana sebenarnya sebuah opini akan diarahkan oleh suatu yang disebar, sementara penyebar penyebar berikut (re-share) kebanyakan tidak paham secara utuh maksud tersebut.
Menulis opini disebuah media cetak, pun sebenarnya hendak bermaksud membentuk dan menggiring opini pembaca. Dampaknya sangat bergantung pada gaya dan konten dari tulisan tersebut. Tulisan yang didasarkan pada data dan informasi yang terpercaya tentu akan memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini di ujung tulisan. Data dan informasi bisa jadi berasal dari penulis sendiri, atau institusi maupun berupa kajian literature. Jika penulis menggunakan data dan informasi hasil observasi sendiri tentu tingkat kepercayaan pembaca akan sangat bergantung pada kapabilitas sipenulis pada pokok bahasan yang ditulisnya menurut ukuran pembaca secara subjektif. Penggunaan data yang berasal dari sumber lain diluar si penulis lebih sering di gunakan. Ini tentunya diharapkan dapat lebih meyakinkan pembaca ketika disebutkan bahwa sumber informasi dari bahan tulisan adalah institusi terpercaya.
Jelang Pilkada, jelang PEMILU dan jelang Pilpres; perang opini pun terjadi didasarkan data sebagai amunisi. Data yang sama bahkan dari sumber informasi yang sama terkadang berupaya menggiring opini kearah yang berseberangan. Kenapa bisa begitu ? Data bisa mencerdaskan bangsa, tapi juga bisa digunakan untuk mem-bodohi adak bangsa. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sebuah institusi penghasil data yang sudah terlanjur dilabeli sebagai pelopor data statistik terpercaya di negeri ini sering dijadikan sebagai sumber data oleh beberapa penyebar opini. Seolah mirip MUI yang berhak dan dipercaya melabeli produk halal, ketika sebuah data disebutkan berasal dari BPS maka label valid pun seakan melabeli data tersebut. Padahal ada juga konsumen yang tidak memerhatikan apakah ada label halal MUI pada suatu produk sebelum dikonsumsinya.
Beberapa opini yang termuat di media cetak lokal maupun nasional se-nusantara dipenuhi oleh tulisan yang menggunakan data BPS dan bahkan ditulis oleh “orang dalam” BPS. Label “halal” seolah menjamin tulisan tersebut hampir pasti dimuat oleh redaksi. Kali ini BPS berhasil memotivasi “orang dalam” nya untuk mendiseminasikan output institusinya ke publik melalui media cetak. Kolom opini pun jadi ajang perlombaan tampil para penulis baru dari BPS. Yang menarik untuk dicermati adalah apakah ada tendensi dari tulisan mereka ? Niat mencerdaskan bangsa tentu ya, tapi menggiring opini, sepertinya tidak. Sebagai orang dalam dari sebuah institusi penghasil data, mereka sebenarnya lebih memahami proses bagaimana data itu dihasilkan, tidak pada menggiring opini dengan data tersebut. Ketika tanpa sengaja atau pun disengaja ternyata tulisan mereka mampu menggiring opini pembaca, tentu lebih pada kemampuan atau maksud pribadi masing-masing penulis dan bukan pada kapabilitasnya sebagai warga BPS. Satu hal lagi yang bisa dipastikan adalah tulisan opini tersebut tentu bukan hoax. Lantas jika tulisan itu dimunculkan dalam kolom opini oleh redaksi media cetak, mungkin redaksi bermaksud memancing pembaca lain untuk beropini setelah membaca tulisan tersebut.
Menjelang Hari Statistik Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 26 September, setidaknya mengingatkan kita pada pentingnya meningkatkan literasi statistik di kalangan masyarakat luas. Setidaknya ini bisa menangkal bahaya laten penggiringan opini akibat pemberitaan hoax yang cenderung semakin masif. Data yang mencerdaskan bangsa, tentu berawal dari kerja statistik yang terukur, mulai dari proses pengumpulan, pengolahan, penyajian maupun analisanya. Proses tersebut patut didukung oleh kaidah dan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kaidah ilmiah menuntut kejujuran walaupun tidak juga bisa luput dari kesalahan. Mereka yang berkutat dibidang statistik atau bisa disebut sebagai seorang statistisi sangat paham bagaimana cara menangkal hoax dengan pencarian fakta dan data yang benar. Namun terkadang, mencari benang merah antara “pintalan interpretasi” berbagai data yang berserak menjadi kendala bagi seorang statistisi murni.
Akademisi dengan berbagai kajian keilmuan yang lain diluar statistik lah yang diharapkan mampu menghasilkan pintalan benang merah tersebut, lalu secara bersama menenun nya menjadi “kain analisis” dalam sebuah forum kajian. Apakah kelak kain itu bermotif tertentu sangatlah bergantung pada objektifitas dan fokus kajian. Sekali lagi dituntut keseriusan me-literasi statistik dalam rangka mencerdaskan bangsa. Jikalau subjektivitas kembali melandasi tenunan “kain analisis” yang dipublis dimuka umum, apatah bedanya dengan hoax. Ini mungkin yang bisa disebut melacur kan keilmuan, dan semua jenis pelacuran sangatlah menjijikkan. Lantas sesiapa yang kemudian menggunakan kain tersebut menjadi pakaian berjahit akan tampak menjijikkan pula, walau model nya dirancang desainer terkenal sekalipun.
Kapas yang berkualitas, dipintal menjadi benang, dirajut menjadi kain, dijahit menjadi pakaian, didesain secara apik, serasi dipakai dibadan, tampil anggun dimuka umum, dipandang elok oleh khalayak. Data berkualitas, interpretasi tepat, analisa mendalam, kebijakan tepat dan terukur, program aksi menyentuh, birokrasi visioner dan bermartabat. Milenial terkadang tidak paham majas hyperbola, budaya timur yang membedakan kita dengan barat. Perlu berulang membaca untuk memahaminya. Tidak cukup dengan “skimming”. Pasat jalan karena ditempuh, hafal kaji karena diulang.
Semua berawal dari pencatatan. Catatan yang sesuai dengan realita. Catatan yang merangkum semua. Catatan yang bersih. Catatan yang lengkap. Catatan tentang Kita, tentang semua catatan yang kita punya. Tentang Indonesia, karena Kita lah Indonesia. Sensus Penduduk 2020; Mencatat Indonesia. Dirgahayu perstatistikan Indonesia.

Statistik dalam Gulai Tempoyak; the power of Emak Emak

Statistik sebagai suatu ilmu biasa disebut statistika, setidaknya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana melakukan proses pengumpulan data, pengolahan, penyajian dan analisanya. Kata statistik sendiri merujuk pada ukuran-ukuran yang didapatkan dari sebagian populasi (sampel) biasanya digunakan untuk melakukan pendugaan (estimate) parameter. Sebagai cabang ilmu matematika, tidak banyak orang yang berusaha menyenangi ilmu ini, walupun sejatinya tidak ada yang bisa lepas dari keilmuan ini. Statistika hadir dalam berbagai kegiatan sehari hari tanpa disadari.
Ketika emak memasak gulai tempoyak misalnya, tidakkah kita ingat betapa beraninya si emak menarik kesimpulan tentang jaminan rasa yang mantap hanya dengan mencicipi sebagian kecil tetes kuah gulai saja. Kuah gulai yang diteteskan di telapak tangan, disentuh dengan ujung jari kemudian dicecap seujung lidah, wow … pas katanya. Itu statistik, tidak perlu mencicipi bermangkok gulai untuk memastikan rasa yang pas. Yakin akan kelengkapan bumbu, durasi memasak, suhu api tungku, adukan yang merata, dan sebagainya, telah menjamin teknik pengambilan sampel acak akan tetap menghasilkan rasa yang relatif sama dan pas.
Metodologi yang teruji setidaknya akan memberikan jaminan kualitas data statistik yang baik, setidaknya berkaca dari keberanian si Emak memastikan rasa gulai tempoyak, itu lah “the power of Emak emak” dan semua percaya akan rasanya yang memang “maknyus”.
Sebagai sebuah organisasi, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengusung visi menjadi “pelopor data statistik terpercaya untuk semua” memiliki tanggung jawab untuk berupaya memuaskan semua pihak akan data yang terpercaya. Sebagai institusi pemerintah maka BPS mengutamakan institusi pemerintah lain sebagai konsumen utama yang lebih dulu percaya akan kualitas data BPS. Sepertinya untuk poin ini, BPS sudah cukup berhasil mendapatkannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan lembaga kepresidenan yang dengan tegas mengatakan bahwa satu satunya data yang dipakai menjadi acuan adalah data BPS. Namun apakah “semua” sudah percaya ?
Tahun politik telah membawa “produk” lembaga ini menjadi bahan baku perdebatan antar kubu yang berseberangan. Bagai bubuk mesiu yang siap disulut, atau bola panas yang menggelinding liar; dua gajah bertarung, akankah pelanduk yang mati ditengah keduanya ? Ketika sebuah karya yang dihasilkan dipertanyakan oleh publik tentang validitasnya, (sebagai contoh kasus viralnya penurunan angka kemiskinan), maka sebagai suatu organisasi setidaknya segenap unsur akan merasa terusik. Keterusikan tidak harus menjadikan gerah dan merasa dipersalahkan. Bukankah semua telah dilakukan sesuai SOP ? Berpikir jernih mungkin akan membawa lembaga ini kembali melihat kedalam diri, dan bukan sebuah aib untuk mengatakan mungkin ada kekurangan atau suatu kesalahan dalam berbagai sisi. Anggaplah ini sebagai suatu ujian untuk mempertahankan kepercayaan konsumen akan apa yang selama ini dihasilkan organisasi.
Meskipun tidak semua data harus disajikan oleh lembaga ini, namun mempelopori berbagai elemen yang terkait dengan kegiatan  pengumpulan dan penyajian data berkualitas baik oleh perorangan maupun institusi menjadi visi besar BPS. Peningkatan kualitas data akan memunculkan tingkat kepercayaan konsumen pada sebuah institusi seperti BPS. Kejujuran ilmiah telah membawa organisasi BPS menjadi sebuah lembaga penyedia data yang terpercaya dinegeri ini. Membawa sebuah kajian ilmiah kedalam ranah politik (dengan tendensius) tentu tidak akan bertemu ujung pangkalnya. Jika dikembalikan ke visi organisasi , maka memang tidak hanya untuk pemerintah saja kepercayaan itu harus di dapat. Semua penikmat karya BPS pun harus percaya, atau setidaknya dipelopori untuk percaya. Media sosial yang begitu masif mengabarkan sesuatu terkadang memposisikan sebuah berita terombang ambing tak bertepi.
Mendiseminasikan hasil dalam bentuk publikasi diberbagai media, termasuk media sosial terbukti berhasil mengedepankan BPS sebagai sebuah organisasi penyedia data yang sering diacu. Independensi BPS dimata dunia pun termasuk diakui, bahkan oleh lembaga-lembaga dibawah naungan United Nation (UN). Berbagai institusi justru mengacu data BPS sebagai alat untuk mendukung analisa atas bermacam kepentingan. Statistik sebagai sebuah indikator  memang hanyalah alat, dan baru dapat dibunyikan dengan cabang keilmuwan yang lain. Seorang filsuf bahkan berkata bahwa ilmu dipengaruhi kekuasan pada zamannya, maka jika ada yang menganjurkan untuk “how to lie with statistic ?” bisa jadi itu atas kepentingan tertentu dan bisa jadi atas pengaruh (ambisi) kekuasaan.
Jejaring kerja BPS yang menyebar keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan komando vertikal dari pusat sampai dengan tingkat kecamatan (Koordinator Statistik Kecamatan) ditambah tenaga kontrak (Mitra Statistik) yang direkrut saat pelaksanaan sensus/survei tertentu memungkinkan terjaganya keterbandingan data antar wilayah. Keterbandingan data antar wilayah menjadi lebih bermakna ketika kualitas data pun memiliki kesamaan level akurasi maupun tingkat kekinian-nya (up to date). Jikalah pelayanan prima merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi yang paling sering didengungkan oleh berbagai institusi pemerintah, maka BPS memandang perlu untuk menambahkan upaya peningkatan kualitas data sebagai satu lagi tujuan reformasi birokrasi di dalam institusi tersebut.
Salah satu nilai inti (core values) BPS adalah “Amanah”, sebuah nilai yang patut dicermati dengan sangat hati-hati. Menjadikan sebuah organisasi terpercaya bukanlah perkara mudah, bahkan kalaupun sudah meraih kepercayaan tinggi pun, jauh lenih sulit untuk mempertahankannya. Kejujuran ilmiah menjadi dasar utama untuk tetap dipercaya bagi sebuah organisasi penyedia data seperti BPS. Suatu kesalahan mungkin saja dilakukan dalam sebuah proses pada serangkai kegiatan BPS, namun kebohongan tidak boleh terjadi. Ini yang akan membentuk paradigma tingkat kepercayaan terhadap organisasi. Ditarik kedalam dimensi ibadah sebagai seorang warga negara berideologi Pancasila, serangkaian kegiatan yang mengusung amanah sepatutnya dilakukan dengan penuh ketulusan.
Profesional, Integritas dan Amanah (core values BPS) semestinya bukan nilai-nilai yang berdiri sendiri dan atau harus diberi skala prioritas tertentu. Semua harus berjalan paralel dan sinergis menuju visi organisasi. Apalah jadinya seseorang yang professional tapi tidak amanah berada dalam suatu organisasi ? atau sebaliknya amanah tapi tidak profesional, atau mungkin profesional tapi integritasnya diragukan ? Kepemilikan nilai-nilai inti BPS oleh segenap unsur organisasi BPS baik di pusat maupun di daerah mestinya memang berjalan paralel. Tidak boleh ada unsur yang tidak professional, tidak berintegritas dan tidak amanah. Merasa satu tubuh dari sabang sampai Merauke, pun Miangas sampai Pulau Rote memberi energi tambahan untuk membangun organisasi yang berkemampuan sama, berpeluang sama untuk dipercaya oleh “SEMUA”.
The power of emak emak, belakangan semakin viral menyusul kenekatan emak emak jaman now berpolitik. Insan statistik semestinya meneladani emak emak dalam membumikan statistik, tidak dengan kerumitan perhitungan matematisnya, melainkan dengan ke-simple-lan penggambaran nya. Keep it so simple. Maka statistik akan senikmat gulai tempoyak, bikinan emak.
Menjelang gelaran rutin sepuluh tahunan, Sensus Penduduk yang akan dihelat pada tahun 2020, BPS menggaungkan sebuah “narasi besar”. Indonesia yang sama kita cintai, bukan hanya pulau pulaunya, pun bukan sekedar gambar diatas peta. Indonesia adalah sebuah cerita, yang ditulis berbagai suku bangsa sebagai kalimat, dan setiap penduduk sebagai hurufnya. Tugas BPS adalah mengabadikan, mencatat itu semua, sebagai bekal untuk kemajuan negara, yang sama sama kita cintai (@provetic). SP2020, Mencatat Indonesia

Membumikan Visi Mereformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi menjadi sebuah keniscayaan bagi suatu organisasi untuk terus menjadi suatu institusi yang dipercaya seiring kemajuan teknologi informasi yang terus bergerak. Tuntutan utama dari publik akan adanya pelayanan prima mengharuskan organisasi menempuh berbagai inovasi dan mengadopsi teknologi terkini. Beberapa tahun belakangan, reformasi birokrasi terdengar nyaring digaungkan, mengiringi gempita nawacita dari istana. Mimpi-mimpi organisasi mengemuka dalam balutan apa yang mereka sebut sebagai “visi” dan berusaha digapai lewat berbagai “misi” yang diemban.
Aneka aksi yang mewarnai berbagai rangkaian kegiatan program pencapaian visi harus dipantau dengan indikator pencapaian sebagai monitoring evaluasi. Alih-alih menjadi dasar acuan pemberian reward bagi institusi pemerintah yang berhasil mereformasi birokrasi. Kementerian PAN-RB menentukan kenaikan Tunjangan Kinerja aparatur pemerintah didasarkan pada keberhasilan proses reformasi birokrasi masing-masing institusi. Membumikan visi organisasi dalam proses reformasi birokrasi sepertinya menjadi sebuah hal yang patut dikedepankan. Beberapa waktu berselang, sebuah institusi penyedia data seolah dipertanyakan oleh publik tentang ke-independensi-an-nya. Mari kita lihat, apa visi organisasi ini, dan hubungannya dengan pemenuhan tuntutan publik.
Sebagai sebuah organisasi, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengusung visi menjadi “pelopor data statistik terpercaya untuk semua” memiliki tanggung jawab untuk berupaya memuaskan semua pihak akan data yang terpercaya. Sebagai institusi pemerintah maka BPS mengutamakan institusi pemerintah lain sebagai konsumen utama yang lebih dulu percaya akan kualitas data BPS. Sepertinya untuk poin ini, BPS sudah cukup berhasil mendapatkannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan lembaga kepresidenan yang dengan tegas mengatakan bahwa satu satunya data yang dipakai menjadi acuan adalah data BPS. Namun apakah “semua” sudah percaya ?
Tahun politik telah membawa “produk” lembaga ini menjadi bahan baku perdebatan antar kubu yang berseberangan. Bagai bubuk mesiu yang siap disulut, atau bola panas yang menggelinding liar; dua gajah bertarung, akankah pelanduk yang mati ditengah keduanya ? Ketika sebuah karya yang dihasilkan dipertanyakan oleh publik tentang validitasnya, (sebagai contoh kasus viralnya penurunan angka kemiskinan), maka sebagai suatu organisasi setidaknya segenap unsur akan merasa terusik. Keterusikan tidak harus menjadikan gerah dan merasa dipersalahkan. Bukankah semua telah dilakukan sesuai SOP ? Berpikir jernih mungkin akan membawa lembaga ini kembali melihat kedalam diri, dan bukan sebuah aib untuk mengatakan mungkin ada kekurangan atau suatu kesalahan dalam berbagai sisi. Anggaplah ini sebagai suatu ujian untuk mempertahankan kepercayaan konsumen akan apa yang selama ini dihasilkan organisasi.
Meskipun tidak semua data harus disajikan oleh lembaga ini, namun mempelopori berbagai elemen yang terkait dengan kegiatan  pengumpulan dan penyajian data berkualitas baik oleh perorangan maupun institusi menjadi visi besar BPS. Peningkatan kualitas data akan memunculkan tingkat kepercayaan konsumen pada sebuah institusi seperti BPS. Kejujuran ilmiah telah membawa organisasi BPS menjadi sebuah lembaga penyedia data yang terpercaya dinegeri ini. Membawa sebuah kajian ilmiah kedalam ranah politik (dengan tendensius) tentu tidak akan bertemu ujung pangkalnya. Jika dikembalikan ke visi organisasi , maka memang tidak hanya untuk pemerintah saja kepercayaan itu harus di dapat. Semua penikmat karya BPS pun harus percaya, atau setidaknya dipelopori untuk percaya. Media sosial yang begitu masif mengabarkan sesuatu terkadang memposisikan sebuah berita terombang ambing tak bertepi.
Mendiseminasikan hasil dalam bentuk publikasi diberbagai media, termasuk media sosial terbukti berhasil mengedepankan BPS sebagai sebuah organisasi penyedia data yang sering diacu. Independensi BPS dimata dunia pun termasuk diakui, bahkan oleh lembaga-lembaga dibawah naungan United Nation (UN). Berbagai institusi justru mengacu data BPS sebagai alat untuk mendukung analisa atas bermacam kepentingan. Statistik sebagai sebuah indikator  memang hanyalah alat, dan baru dapat dibunyikan dengan cabang keilmuwan yang lain. Seorang filsuf bahkan berkata bahwa ilmu dipengaruhi kekuasan pada zamannya, maka jika ada yang menganjurkan untuk “how to lie with statistic ?” bisa jadi itu atas kepentingan tertentu dan bisa jadi atas pengaruh (ambisi) kekuasaan.
Jejaring kerja BPS yang menyebar keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan komando vertikal dari pusat sampai dengan tingkat kecamatan (Koordinator Statistik Kecamatan) ditambah tenaga kontrak (Mitra Statistik) yang direkrut saat pelaksanaan sensus/survei tertentu memungkinkan terjaganya keterbandingan data antar wilayah. Keterbandingan data antar wilayah menjadi lebih bermakna ketika kualitas data pun memiliki kesamaan level akurasi maupun tingkat kekinian-nya (up to date). Jikalah pelayanan prima merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi yang paling sering didengungkan oleh berbagai institusi pemerintah, maka BPS memandang perlu untuk menambahkan upaya peningkatan kualitas data sebagai satu lagi tujuan reformasi birokrasi di dalam institusi tersebut.
Salah satu nilai inti (core values) BPS adalah “Amanah”, sebuah nilai yang patut dicermati dengan sangat hati-hati. Menjadikan sebuah organisasi terpercaya bukanlah perkara mudah, bahkan kalaupun sudah meraih kepercayaan tinggi pun, jauh lenih sulit untuk mempertahankannya. Kejujuran ilmiah menjadi dasar utama untuk tetap dipercaya bagi sebuah organisasi penyedia data seperti BPS. Suatu kesalahan mungkin saja dilakukan dalam sebuah proses pada serangkai kegiatan BPS, namun kebohongan tidak boleh terjadi. Ini yang akan membentuk paradigma tingkat kepercayaan terhadap organisasi. Ditarik kedalam dimensi ibadah sebagai seorang warga negara berideologi Pancasila, serangkaian kegiatan yang mengusung amanah sepatutnya dilakukan dengan penuh ketulusan.
Profesional, Integritas dan Amanah (core values BPS) semestinya bukan nilai-nilai yang berdiri sendiri dan atau harus diberi skala prioritas tertentu. Semua harus berjalan paralel dan sinergis menuju visi organisasi. Apalah jadinya seseorang yang professional tapi tidak amanah berada dalam suatu organisasi ? atau sebaliknya amanah tapi tidak profesional, atau mungkin profesional tapi integritasnya diragukan ? Kepemilikan nilai-nilai inti BPS oleh segenap unsur organisasi BPS baik di pusat maupun di daerah mestinya memang berjalan paralel. Tidak boleh ada unsur yang tidak professional, tidak berintegritas dan tidak amanah. Merasa satu tubuh dari sabang sampai Merauke, pun Miangas sampai Pulau Rote memberi energi tambahan untuk membangun organisasi yang berkemampuan sama, berpeluang sama untuk dipercaya oleh “SEMUA”.
Presiden RI, Joko Widodo dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019 mengatakan, “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita. Kini data lebih berharga dari minyak. Oleh karena itu, kedaulatan data harus diwujudkan. Hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan, tidak boleh ada kompromi”. Resolusi United Nation 2020 (world population and housing census programme) menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi pelaksanaan Sensus Penduduk 2020 (SP2020) di Indonesia. Sensus Penduduk dan Perumahan Dunia 2020 disetujui pada saat Sidang ke-46 Statistical Commission dan diadopsi oleh United Nations Economic and Social CouncilIni. Hasilnya antara lain akan menjadi sumber data utama untuk merumuskan, melaksanakan, dan memantau kebijakan maupun program pengembangan sosial ekonomi inklusif dan kelestarian lingkungan. Pengukuran kemajuan Agenda 2030 untuk Sustainable Development Goals dapat terlihat dari hasil sensus tersebut.
Metode yang akan digunakan dalam pelaksanaan SP2020 mengharapkan peran aktif sebagian besar masyarakat untuk dapat berpartisipasi melalui sensus penduduk online yang merupakan salah satu moda pengumpulan data. Sensusu penduduk online akan dilakukan pada periode februari sampai dengan maret 2020. Tiap tiap jiwa, de facto atau pun de jure, sangatlah berarti. Bagaikan kepingan puzzle penggambaran keelokan alam nusantara. Tidaklah boleh ada yang terlewat. Tidak lah boleh ada yang tak tercatat. Mari bersama kita bantu BPS dalam Mencatat Indonesia.


buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...