Kamis, 16 Juli 2020

turun sedikit dimasa covid: semakin sulit ?


Kekhawatiran akan berkepanjangannya masa pandemi covid-19 yang berdampak pada perekonomian riil semakin terlihat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berita resmi adanya kenaikan angka kemiskinan untuk periode Maret 2020, saat dimana covid-19 mulai menjangkiti seantero negeri. Persentase penduduk miskin secara nasional pada periode Maret 2020 diperkirakan mencapai 9,78 persen dari total penduduk. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 9,41 persen. Peningkatan persentase penduduk miskin pada Maret 2020 justru terlihat lebih cepat jika dibandingkan dengan persentase pada periode September 2019 yang juga pernah dirilis oleh BPS dimana angkanya sebesar 9,22 persen. Kondisi ini setidaknya memperlihatkan bagaimana pandemi covid-19 seolah menumbuhsuburkan kemiskinan, ataukah memang demikian ?
Fenomena di level nasional belum tentu berlaku sama antar daerah di nusantara. Cerita berbeda datang dari Bengkulu, dalam rilis disaat yang sama, kemiskinan di wilayah ini justru terlihat menurun. Persentase penduduk miskin turun sebesar 0,2 persen dari 15,23 persen pada Maret 2019 menjadi 15,03 persen pada Maret tahun ini. Lantas apakah pandemi covid-19 tidak berdampak pada tingkat kesejahteraan di wilayah ini ? Menurunnya persentase jumlah penduduk miskin sebenarnya bersifat relatif, pada kenyataannya secara absolut jumlah penduduk miskin meningkat dari 302.302 jiwa menjadi 302.579 orang. Jika dibandingkan dengan periode September 2019 persentase penduduk miskin juga terlihat meningkat dari 14,91 persen.
Bahwa sebenarnya tidaklah terlihat perbedaan nyata (significant) antar kedua fenomena diatas jika dilihat dari kekhawatiran terhadap dampak covid-19 bagi kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan yang terjadi adalah sama, bahwa pandemi memang memberi dampak buruk terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Pemahaman kewilayahan menjadikan upaya pemerintah daerah seharusnya lebih efektif dibandingkan upaya pemerintah pusat yang lebih bersifat makro. Dalam hal ini pemerintah daerah Provinsi Bengkulu terlihat lebih bisa menjaga penduduk disekitar garis kemiskinan untuk tetap mampu bertahan dan tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Tingkat kemiskinan yang dikatakan mengalami penurunan sebagaimana disebutkan sebelumnya merupakan sebuah angka/besaran yang lebih bersifat relatif. Sehingga terlihat seolah sulit dipahami ketika bersanding dengan sebuah angka absolut. Persentase penduduk miskin turun tetapi jumlah penduduk miskin bertambah ? Memang demikian adanya, bahwa persentase penduduk miskin adalah perbandingan antara jumlah “penduduk miskin” dibandingkan dengan jumlah “penduduk” (selanjutnya dinyatakan dalam bentuk persentase). Dalam bahasa matematis ibarat bilangan pecahan, ada “penyebut” dan “pembilang”. Beberapa operasi matematika antar bilangan pecahan bahkan mensyaratkan pentingnya untuk menyamakan “penyebut”. Seyogyanya membahasakan naik-turun-nya kemiskinan pun perlu menyamakan “penyebut”nya.
Ilustrasi sederhana nya kurang lebih begini; pada kondisi awal misalnya tercatat bahwa 10 dari 20 orang penduduk suatu RT dinyatakan miskin, atau secara persentase dikatakan terdapat 50 persen “penduduk miskin”. Beberapa waktu kemudian ketika dilakukan perhitungan kembali terjadi perubahan, “jumlah penduduk” RT tersebut bertambah menjadi 50 orang sementara “penduduk miskin” nya berjumlah 20 orang. Jika dihitung secara persentase maka tingkat kemiskinan turun menjadi 40 persen walaupun jumlah penduduk miskin naik sebanyak 10 orang. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa ada terminology “jumlah penduduk” yang harus disebutkan sebagai “penyebut” dalam membahasakan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian maka yang terjadi sesungguhnya bisa ditengarai, pertambahan penduduk provinsi Bengkulu jauh lebih cepat daripada laju pertumbuhan penduduk miskin. Dalam periode yang relatif singkat maka jika pertambahan penduduk tersebut merupakan pertambahan secara alami, kemungkinan terjadi pada rumah tangga yang memang memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan minimum. Jika pertambahan penduduk tersebut merupakan hasil migrasi, maka kemungkinan yang masuk merupakan orang-orang yang juga mampu memenuhi kebutuhan minimumnya.
Upaya mengentaskan kemiskinan menjadi semakin sulit ditengah pandemi covid. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2019 sebesar 14,70 persen naik menjadi 14,77 persen pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2019 sebesar 15,49 persen turun menjadi 15,16 persen pada Maret 2020. Masyarakat perkotaan terlihat jauh lebih sulit bertahan dari dampak pemiskinan oleh pandemi, perbedaan struktur ekonomi antara perkotaan dan pedesaan menjadi alasan kesulitan mempertahankan sumber pendapatan.
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan pemerintah juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2019-Maret 2020, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 ) pada Maret 2019 sebesar 2,48 dan pada Maret 2020 sebesar 2,40. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 ) mengalami penurunan dari 0,58 menjadi 0,56 pada periode yang sama. Kedua indeks ini juga terpantau lebih tinggi diperkotaan ketimbang di pedesaan.
Pertanyaannya, kapan pandemi berakhir? Kapan kita bisa hidup "normal" lagi? Pertanyaan yang wajar diajukan meskipun sebenarnya kita sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang dituntut pandemi. Menjawab petanyaan ini tidak mudah karena belum ada orang yang datang dari masa depan yang bisa kita konfirmasi. Jawaban atas pertanyaan sulit itu umumnya berupa prediksi, perkiraan dengan dasar yang tidak cukup pasti. Pilihan memang tidak mudah. Bukan lagi antara menjaga kesehatan atau melangsungkan kegiatan ekonomi. pemerintah sejak awal sudah menegaskan posisi untuk "berdamai" dengan Covid-19. Sayangnya, pelonggaran aktivitas ekonomi sebagai bentuk "berdamai" dengan Covid-19 tidak disertai pengetatan disiplin akan protokol kesehatan.
Terkadang kita ingin melakukan banyak hal, namun yang terjadi adalah apa yang memang seharusnya demikian. Meski semakin sulit ditengah pandemi covid, kemiskinan turun walau sedikit.


Jumat, 10 Juli 2020

Menggelontorkan Belanja Menyiasati Pandemi; Mendongkrak Ekonomi ?


Pada pembukaan rapat terbatas di Istana Negara beberapa hari yang lalu, Presiden meminta para menteri-nya membelanjakan anggaran kementerian dengan cepat agar perekonomian masyarakat bisa “hidup” kembali. Memang dalam situasi seperti sekarang ini tidak ada hal lain yang bisa menggerakkan ekonomi kecuali belanja pemerintah. Para birokrat harus memiliki sense of crisis yang sama, serta berupaya menyederhanakan regulasi dan SOP penggunaan anggaran.
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat, sebagaimana biasa dituliskan dalam formulasi persamaan makro dalam perhitungan pendapatan nasional; dimana Y=C+I+G+NX. Formulasi ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, variabel Y melambangkan pendapatan nasional sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat yang terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), investas (I), belanja pemerintah (G) dan ekspor netto (NX). Seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional dapat diketahui dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu.
Struktur pendapatan nasional dari sisi permintaan agregat memperlihatkan proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total permintaan pada kisaran 9 persen. Proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi relatif beragam. Rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah di kawasan timur Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan barat. Jika dikawasan barat proporsinya rata-rata sekitar 8 persen, di kawasan timur rata-rata proporsinya mendekati angka 13 persen. Sebagaimana diketahui 80 persen pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang oleh wilayah Sumatera (21%) dan Jawa (59%).
Provinsi Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur dari utara ke selatan, di antara Bukit Barisan di sebelah timur dan Samudera Indonesia di sebelah barat dengan luas wilayah lebih kurang 21.089,38 km2 dan jumlah penduduk mendekati 2 juta jiwa. Meski terletak di kawasan barat Indonesia, persentase pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB (Rp.72,14 triliun) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berada pada kisaran 20 persen. Pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh pada kisaran 3-4 persen pertahunnya. Tak pelak lagi maka stimulus perekonomian sangat diharapkan lewat penggelontoran pengeluaran konsumsi pemerintah. Untuk dapat optimal mendongkrak pertumbuhan ekonomi tentu saja harus melalui pengalokasian belanja anggaran yang tepat.
APBD sudah seharusnya menjadi alat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Dengan pelemahan ekonomi nasional, APBD punya peran penting agar daerah tidak semakin terpuruk pertumbuhannya. Ketika siklus turun seperti saat ini, APBD men-support supaya tidak turun terlampau dalam meski terkadang langkah tersebut akan berdampak pada aspek penerimaan. Berbeda dengan kondisi krisis ekonomi beberapa tahun sebelumnya, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang pangsanya mencapai kisaran 65 persen relatif sulit diharapkan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal saat ini. Pembatasan sosial dalam berbagai skala yang diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran covid-19 terasa memberatkan ruang gerak perekonomian. Persentase pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB jika dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu berada pada kisaran 13-26 persen, dimana terdapat 3 wilayah dengan persentase dibawah 15 persen dan 4 wilayah diatas 20 persen.
Pemerintah daerah tentulah lebih paham apa yang bisa diperbuat dalam setengah perjalanan tahun anggran untuk berakselerasi dengan program nasional. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan dananya, mendorong peningkatan efisiensi belanja. Bukan saatnya berpola kepemimpinan transaksional yang hanya berorientasi pada kompensasi dan sejenisnya. Optimalisasi kinerja dimungkinkan muncul dengan pola kepemimpinan transformasional dengan kemampuan menginspirasi dan memotivasi pencapaian transedental daripada kepentingan pribadi jangka pendek.
Tanpa terasa, Juli sebagai awal semester kedua tahun ini sedang kita masuki. Pergantian waktu, pergantian bulan dan perubahan semester tidak lagi ditandai karena semua terasa datar bahkan hambar saat pandemi. Mengambil langkah-langkah luar biasa atau extraordinary seperti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan tidak bisa diperbaiki, menata kembali atau mengubah kembali harapan disesuaikan dengan realita adalah jalan terbaiknya. Perumusan kebijakan pembangunan yang selalu memiliki “mindset” dampak ekonomi dari suatu kebijakan seyogya-nya mengambil lesson learned dari kebijakan terdahulu serta mempelajari resiko yang diambil dari setiap kebijakan, sehingga dapat mengantisipasi resiko yang mungkin/pasti terjadi di masa yang akan datang.
Langkah-langkah pemberian stimulus bertujuan untuk membantu pelaku ekonomi bertahan menghadapi dampak covid-19, menjaga daya beli masyarakat, memberikan kemudahan ekspor-impor, meminimalisir jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), membantu perbankan memberikan relaksasi dan likuiditas, dan mencegah terjadinya krisis ekonomi dan keuangan. Namun demikian, efektivitas stimulus tersebut akan sangat tergantung pada efektivitas kebijakan pencegahan dan penanganan kasus covid-19. Tidak hanya sangat tergantung dari skenario efektivitas penanganan covid-19, proyeksi pertumbuhan perekonomian juga akan tergantung pada unsur ketidakpastian atas gangguan di sisi penawaran, pengetatan di pasar keuangan, perubahan pola belanja masyarakat, dan fluktuasi harga komoditas global.
Ketika ternyata pandemi masif dan berkala datang dan dipastikan mengganggu kegiatan ekonomi, setidaknya meruntuhkan pandangan sebagian ekonom yang sebelumnya menyatakan bahwa fondasi ekonomi masih cukup kuat, namun ternyata sebagian besar kegiatan ekonomi kita lebih bersifat informal dan goyah. Akibatnya, tidak bisa dihindari lagi efek berikutnya adalah ke sektor pemerintahan sebagai satu-satunya sebagai lender of last demand. Outlook memperlihatkan dampak pertama kepada politik ekonomi yaitu banyak perencanaan pembangunan menjadi tertunda dan terjadi pergeseran fokus orientasi pembangunan menjadi penyelamatan. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan kebijakan fiskal yang efektif.
Apakah semua kebijakan yang telah diambil dalam menyikapi pandemi, terutama kebijakan fiskal ini bisa menyelamatkan permintaan tanpa mengorbankan ekonomi jangka panjang sehingga ekonomi tetap sustain ? Instrumen fiskal dan moneter sudah banyak dibatasi oleh parameter endogen, sedangkan krisis yang sekarang dihadapi bersifat eksogen di luar sirkuit ekonomi. Adalah salah besar menganggap ekonomi akan normal dengan sendirinya.
Upaya untuk berdamai dengan covid-19 disambut dengan antusiasme tinggi. Warga kembali menjalankan aktivitas ekonomi dengan kesadaran masih tingginya ancaman untuk kesehatan. Keduanya diupayakan berjalan beriringan, tidak dipertentangkan, meskipun aktivitas ekonomi dan aktivitas lain terlihat sangat agresif dilakukan. Menjalankan aktivitas ekonomi dengan protokol kesehatan yang ketat bukan upaya satu pihak saja, tetapi semua pihak. Atas rendahnya kesadaran, lemahnya disiplin, dan lengahnya petugas, semoga kita tetap dilindungi dari bahaya yang besar.

Kamis, 30 April 2020

Mencukupkan yang Dianjurkan

Saat pasien positif pertama didapati dinegeri ini, kurva penambahan jumlah pasien positif covid-19 belum juga turun. Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, atas persetujuan pemerintah pusat, beberapa daerah memberlakukan berbagai upaya pembatasan sosial bahkan sampai pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebagai bentuk tanggung jawab atas pembatasan sosial ini, pemerintah memberi bantuan sosial. Terlepas dari ada atau tidak “niat lain” yang tersembunyi, pemberian bantuan sosial sedianya bermaksud mencukupkan kebutuhan minimal masyarakat ditengah kesulitan pemenuhan kebutuhan secara mandiri. Pembatasan sosial pun berdampak pada sempitnya ruang gerak aktivitas perekonomian.
Perlahan-lahan daya beli masyarakat yang terdampak oleh menurunnya pendapatan dalam masa pembatasan sosial memengaruhi pemenuhan kebutuhan minimum, terutama pangan. Asupan pangan yang dikonsumsi menentukan status gizi masyarakat dan sangat erat kaitannya dengan menjaga kualitas sumberdaya manusia kedepan. Pangan yang dikonsumsi haruslah dalam jumlah yang cukup, bermutu dan beragam untuk memenuhi berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh guna mencapai status gizi yang baik. Jumlah, mutu dan ragam pangan yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada pendapatan yang menentukan daya beli masyarakat. Semakin tinggi daya beli masyarakat, maka semakin tinggi pula peluang bagi masyarakat untuk memilih pangan yang baik dari sisi jumlah maupun jenisnya.
Tingkat kecukupan gizi merupakan salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk, biasanya dapat dihitung dari besaran kalori dan protein yang dikonsumsi oleh penduduk. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2013 menganjurkan angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.150 kkal dan 57 gr protein. Secara rata-rata konsumsi kalori perkapita penduduk Provinsi Bengkulu pada tahun 2019 mencapai 2.086,11 kkal. Angka ini lebih rendah dibandingkan angka tahun sebelumnya yang mencapai 2.162,35 kkal. Demikian pula halnya dengan konsumsi protein yang juga mengalami penurunan dari 59,37 gr pada tahun 2018 menjadi 58,28 gr perkapita perhari pada 2019. Konsumsi perkapita untuk kedua jenis asupan sebagaimana disebutkan adalah kondisi sebelum pandemi Covid-19, yang terlihat sudah mulai terkoreksi, bahkan untuk konsumsi kalori berada sedikit dibawah standard kecukupan yang dianjurkan. Hal yang berbeda terlihat antara pola konsumsi di pedesaan (urban) dibandingkan dengan perkotaan (rural). Rata-rata konsumsi kalori di pedesaan tercatat lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, masyarakat pedesaan mengkonsumsi 2.111,75 kkal perkapita sedangkan perkotaan hanya sebesar 2.034,22 kkal setiap harinya. Sedangkan untuk konsumsi protein terlihat bahwa masyarakat perkotaan lebih tinggi daripada konsumsi protein pedesaan, dimana perkotaan mengkonsumsi 60,80 gr perkapita sementara masyarakat pedesaan hanya mengkonsumsi 57,04 gr. Perbedaan pola konsumsi perkotaan dan pedesaan serta perubahan pola konsumsi masyrakat yang mengakibatkan perubahan besaran angka dari periode sebelumnya, ditengarai sebagai akibat kecederungan peningkatan konsumsi makanan/minuman jadi dan menurunnya konsumsi komoditi padi-padian.
Pada awal pandemi negara hadir memastikan nadi perekonomian terus berdenyut, kini negara pun harus hadir mencukupkan kebutuhan masyarakat agar nadi kehidupan terus berlanjut. Beberapa yang sudah terlihat lewat geliat aparat, menjanjikan kepastian hadirnya negara dalam niat yang kuat. Sebagai umat yang percaya akan munculnya perbuatan karena adanya niat, maka berprasangka baik akan ketulusan niat adalah hal yang mutlak. Bukan cerita baru kalo sebagian orang percaya bahwa bukan cuma karena ada niat maka sesuatu itu terjadi, melainkan bisa jadi karena ada kesempatan. Namun alangkah “terlalu” jika ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sepakatlah untuk meyakini bahwa yang melakukan hal seperti itu bukanlah apa yang kita yakini sebagai apa yang kita sebut sebagai negara. Negara lah yang akan mencukupkan karena negara lah yang menganjurkan.
Selama lebih dari sebulan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah, kita yakin, banyak perubahan telah kita lakukan. Berubah adalah cara alamiah setiap makhuk beradaptasi untuk bertahan hidup. Ketika keinginan keluar tidak dimungkinkan karena upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, maka melihat ke dalam menjadi lebih relevan. Dalam ruang-ruang sempit yang membatasi, keluasan jelajah ke dalam masih sangat dimungkinkan. Sebulan terakhir, pengenalan kita pada hal-hal yang dekat yang selama ini kita abaikan justru makin baik. Kita makin mengenal lingkungan sekitar, makin mengenal sudut-sudut tempat tinggal, makin mengenal anggota keluarga, makin mengenal anak-anak atau pasangan, dan makin mengenal diri kita sendiri. Mendapati semua ini, mungkin kita teringat "kemewahan" yang dirancang mereka yang sehari-hari sibuk untuk retret atau menarik diri dari keramaian beberapa hari untuk lebih mengenali diri sendiri. Aktivitas yang belakangan terkenal dengan mindfulness juga berpotensi menaikkan imunitas tubuh. Karena situasi pandemi yang memaksa, sebagian dari kita mendapatkan "kemewahan" mindfulness ini secara massal (editorial kompas).
Jangka waktu yang panjang dan nyaris tanpa kepastian terkait pandemi ini menjadi tantangan yang tidak mudah. Bagaimana bersiasat dengan bosan ? Pertanyaan ini mewakili pertanyaan semua orang. Beruntung kita dan terutama anak-anak kita mendapati pengalaman ini: Pengalaman bosan yang panjang dalam situasi tidak pasti. Secara mental, situasi ini akan membentuk siasat yang baik untuk bekal kehidupan mendatang. Dalam situasi apa pun, bahkan dalam situasi ideal sekali pun, kita akan menghadapi rasa bosan. Kemampaun mengelola kebosanan yang dilatihkan oleh pengalaman hidup akan menjadi kecakapan hidup yang bermanfaat. Kecakapan atau kemampuan mengelola kebosanan yang kerap disertai kekecewaan adalah awal dari tumbuhnya benih-benih kesetiaan. Sebuah nilai yang sangat dibutuhkan dalam hidup, meskipun kerap jadi bahan tertawaan. Apa jadinya kalau kita cepat bosan dan tidak memiliki kecakapan merawat kesetiaan? Terhadap janji-janji, terhadap ritual keagamaan, terhadap pekerjaan, terhadap persahabatan, atau bahkan terhadap pasangan. Di ruang-ruang sempit, di dalam diri kita, selama lebih dari sebulan ini, kecakapan ini tengah dilatihkan oleh semesta.
Semoga negara pun tidak bosan mencukupkan apa yang kita perlukan, tidak lelah menyediakan kebutuhan, dan tidak lalai menepati janji pada negeri.


Senin, 06 April 2020

Menepis Dampak, Menjaga Detak


Serangkaian kebijakan terkait penanggulangan dampak corona virus disease (covid19) coba diterapkan oleh pemerintah dalam beberapa hari terakhir. Kebijakan utama tentu pada sisi yang berkaitan langsung dengan sumber masalah, yaitu kesiapan sarana dan prasarana kesehatan serta segala sesuatunya. Karantina wilayah, social distancing, lockdown city, work from home (WFH) dan atau yang sejenis dengan itu, pun ikut diterapkan. Alih-alih memberi dampak pada pencegahan perluasan penularan, beberapa waktu kedepan juga harus dicermati pengaruhnya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Mobilitas penduduk dipastikan akan cenderung menurun, dan bisa berakibat pada perlambatan kinerja perekonomian. Saat ini memang belum terlihat secara jelas besaran nilai perlambatan ekonomi di tingkat regional, nyaris tak terlihat seperti halnya pergerakan covid19 yang terkadang masih sulit dilacak. Bengkulu bahkan menjadi wilayah terakhir yg terkategori terpapar wabah ini.
Rilis Berita Resmi Statistik (BRS) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) awal bulan ini menyebutkan bahwa Bengkulu tercatat justru mengalami deflasi sebesar 0,02 persen pada Maret 2020, berbeda dengan angka nasional yang mengalami inflasi 0,76 persen. Komoditas utama dalam andil deflasi Bengkulu bulan ini disumbang oleh “angkutan udara” sebesar 0,1145 persen. Hal ini disebabkan oleh penurunan tiket angkutan udara, namun demikian arus lalu lintas udara malah terkesan cenderung mengalami penurunan. Jumlah penumpang pesawat mengalami penurunan sekitar 1,5 persen dari 66.477 orang pada januari turun menjadi 65.481 orang pada februari. Frekwensi penerbangan turun sekitar 3,57 persen, sementara jumlah barang yang diangkut juga turun 16,25 persen. Penurunan harga (tiket) tidak terlihat memberikan efek peningkatan permintaan, fenomena yang tidak biasa dalam mekanisme pasar. Memang masih terlalu dini untuk menjustifikasi ini sebagai dampak dari terapan berbagai kebijakan sebagaimana disebutkan diatas. Konsumen seolah menahan diri atau tertahan untuk tidak meningkatkan permintaan atas barang/jasa (baca:tiket) yang dijual lebih murah dari biasanya.
Satu lagi catatan menarik dari BRS yang juga dirilis BPS, dimana disebutkan masih meningkatnya tingkat penghunian kamar (TPK) hotel di Bengkulu. Peningkatan terjadi 15,3 persen poin dari 43,11 persen pada januari menjadi 58,41 persen pada februari. Dalam hal ini apakah merebaknya covid19 belum/tidak memberi pengaruh pada tingkat hunian hotel ? Jika dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya ( year on year) sebenarnya akan terlihat adanya penurunan. TPK pada februari 2019 tercatat sebesar 68,27 persen, artinya ada penurunan tingkat hunian hotel bulan ini sebesar 9,86 persen dibandingkan bulan fenruari tahun lalu. Sekali lagi, ini juga masih terlalu dini untuk menganggapnya sebagai dampak tidak langsung dari covid19. Neraca perdagangan luar negeri juga masih terlihat surplus dalam dua bulan terakhir, walaupun juga terukur nilai surplus februari tidak lebih besar daripada nilai surplus bulan januari.
Tanpa mengesampingkan keseriusan Gugus Tugas penanggulangan covid19 dengan berbagai kesiapsiagaannya menghalau perluasan penularan wabah, kiranya sisi sosial ekonomi pun patut disiagakan. Sektor perdagangan dan jasa yang bisa jadi akan terpapar lebih dulu, selanjutnya akan memberikan multiplier effect kedalam keseluruhan model keseimbangan umum perekonomian. Sisi penawaran secara agregat harus mampu mengatasi sisi permintaan agregat. Momentum untuk menjaga stabilitas neraca keseimbangan umum sepertinya sudah sangat dekat. Mungkin sudah saatnya pemerintah mengambil bagian besar peran tersebut.
Negara hadir dan menenangkan adalah harapan besar masyarakat, terlebih lagi jika mampu menyenangkan. Apapun yang terjadi, negeri ini harus tetap bergerak. Nafas perekonomian harus tetap berdetak. Bangsa ini harus menepis keraguan akan kemampuan dan kesiapsiagaan melawan wabah. Kebertuhanan yang melandasi ideologi merupakan kekuatan besar bangsa ini untuk keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski masih berupa bayang-bayang, ilusi dampak sosio ekonomi harus bisa ditepis. Kali ini biarkan pemerintah mengambil peran lebih, demi menjaga detak.

https://www.wordpers.id/menepis-dampak-di-tengah-wabah-covid-19/


Kamis, 26 Maret 2020

Tren Peningkatan Produksi Padi Sawah, ditengah Wabah; menguji ketahanan pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. World Health Organization (WHO) mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. Food and Agriculture Organization (FAO) menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.
Merebaknya covid19 mewarnai berbagai pemberitaan berbagai media, tak kecuali media sosial. Tak sedikit yang menyikapinya dengan kepanikan walaupun berbagai kalangan intelektual juga mencoba meredam kepanikan dengan pemberitaan berimbang yang lebih rasional. Berawal dari upaya membatasi penularan dengan berbagai kebijakan yang mengurangi frekwensi temu muka secara langsung, bahkan menuju lockdown city, maka kekhawatiran akan melambatnya kinerja perekonomian pun mulai diantisipasi oleh pasar. Kemungkinan akan menurunnya tingkat produktivitas, bisa saja berdampak pada penurunan penyediaan agregat (supply) baik barang atau jasa. Wabah yang mendunia secara global juga akan berdampak pada pola perdagangan internasional, sehingga kekurangan supply untuk memenuhi permintaan agregat (demand) belum tentu dapat dipenuhi dari impor.
Sebagai kebutuhan paling mendasar, maka ketahanaan pangan adalah hal krusial yang patut mendapat perhatian ditengah wabah. Pada masa perang dunia, bahan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan logistik militer. Ketahanan pangan pada masa itu (dan harusnya sepanjang masa) sangat erat kaitannya dengan ketahanan negara. Perang dalam arti sebenarnya memang tidak sedang terjadi di negeri ini. Memerangi virus yang mewabah, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama warga bangsa, dan bukan lagi menjadi tanggung jawab semata mata dari Gugus Tugas yang dibentuk.
Bicara data pangan untuk Provinsi Bengkulu, terutama komoditas pangan pokok, tentu tidak akan terlepas dari data padi, seperti halnya di sebagian besar wilayah republik ini. Ketidakakuratan data produksi padi telah diduga oleh banyak pihak sejak 1997. Walaupun sudah diduga sejak lama, upaya untuk memperbaiki metodologi perhitungan produksi padi baru dilakukan pada tahun 2015. Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) berupaya memperbaiki metodologi perhitungan luas panen dengan menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
KSA memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR/BPN untuk mengestimasi luas panen padi. Penyempurnaan dalam berbagai tahapan perhitungan produksi beras telah dilakukan secara komprehensif mulai dari perhitungan luas lahan baku sawah hingga perbaikan perhitungan konversi gabah kering menjadi beras. Berdasarkan hasil Survei KSA, pola panen padi di Provinsi Bengkulu pada periode Januari sampai dengan Desember tahun 2019 relatif sama dengan pola panen tahun 2018. Jika dibandingkan dengan total luas panen padi pada 2018, luas panen padi pada 2019 mengalami penurunan sebesar 1.484 hektar (2,25 persen).
Kecenderungan menurunnya luas panen memang terlihat agak mengkhawatirkan dari sisi ketahanan pangan. Namun data lain menunjukkan kondisi yang cukup melegakan. Total produksi padi di Porvinsi Bengkulu pada 2019 sekitar 296.472 ton GKG, atau mengalami peningkatan sebanyak 7.662 ton (2,65 persen) dibandingkan tahun 2018. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi padi pada 2018 setara dengan 165.488 ton beras. Sementara itu, produksi pada 2019 sebesar 169.878 ton beras, atau mengalami peningkatan sebesar 4.390 ton (2,65 persen) dibandingkan dengan produksi tahun 2018.
Tren peningkatan produksi padi pada saat luas panen justru menurun memang dapat saja  terjadi jika pola intensifikasi berhasil diterapkan dalam proses produksi atau bisa juga melalui penerapan teknologi (pertanian padi) terkini yang jauh lebih efektif. Sementara penurunan luas panen, kedepan seharusnya bisa lebih diantisipasi dengan penyiapan sarana prasarana (saprodi) yang lebih baik. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun sebesar 1,63 persen, maka tren peningkatan produksi beras sebagaimana terjadi pada tahun lalu setidaknya memberikan gambaran bahwa ketahanan pangan lokal untuk komoditi ini relatif akan lebih baik. Kondisi ini menuntut asumsi adanya ketidakpanikan akan isu kekurangan ketersediaan, dan tentu saja situasi pasar yang normal sebagaimana biasa. Jangan ada yang bermain dengan aksi ambil untung untuk kepentingan pribadi. Dan satu hal lagi, semoga wabah ini segera berlalu karena wabah menjadi komponen yang tidak bisa diperhitungkan dalam model analisa runtun waktu (time series analysis), berbeda dengan faktor musiman (seasonal) dan siklus (cyclical).
Data produksi pangan yang akurat tentu menjawab data konsumsi disisi lain. Keduanya saling mengisi dan menghiasi catatan tentang pola distribusi pangan. Data produksi padi sebagaimana telah disebutkan, terus mengalami penyempurnaan. Demikian halnya data konsumsi yang berawal dari data jumlah penduduk. Sensus Penduduk 2020 pun bertujuan menyempurnakan data, menuju satu data kependudukan Indonesia. Mencatat Bengkulu, Mencatat Indonesia.


Bisakah Bengkulu Lebih Baik (lagi) ?!

Pengalaman menunjukkan bahwa mempertahankan suatu prestasi jauh lebih sulit ketimbang meraihnya. Bertahan pada kisaran 5 persen selama kurun waktu lebih dari 5 tahun terakhir dalam hal kinerja positif perekonomian yang direpresentasikan oleh laju pertumbuhan ekonomi, menjadikan Bengkulu seolah “tumbuh seiring” dengan kinerja perekonomian nasional. Tentu saja terdapat perbedaan antar keduanya, setidaknya jika dilihat dari struktur komponen penyusunnya. Riap tumbuh masing masing sektor yang juga beragam, memperlihatkan sumber pertumbuhan (source of growth) perekonomian Bengkulu relatif berbeda dengan perekonomian nasional. Perdagangan (besar, eceran dan reparasi kendaraan) merupakan sumber pertumbuhan utama, selain sektor Pertanian (include; Perikanan & Kehutanan) dan sektor Administrasi Pemerintahan, ini jika dilihat dari sisi produksi (production approach). Sementara jika dilihat dari sisi pengeluaran (expenditure approach), Konsumsi (terutama rumahtangga) merupakan sumber pertumbuhan utama. Sedangkan perekonomian nasional didorong oleh Industri Manufaktur sebagai mesin pertumbuhan sisi produksi dan Pembentukan Modal Tetap Bruto di sisi pengeluaran.
Skema tujuan pembangunan berkelanjutan (social development goal’s) setidaknya memposisikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai sebuah “syarat cukup” keberlangsungan pembangunan. Mesin pertumbuhan (engine of growth) yang menjamin keberlanjutan setidaknya harus berdampak ganda (multiplier effect), menyerap output sektor lain sebagai input (backward) sekaligus menjadi input bagi sektor lain (forward). Tumbuhnya perekonomian yang bukan sekedar tumbuh, butuh semaian bibit unggul perencanaan, pupuk penganggaran yang pas, siraman air akuntabilitas dan curahan sinar mentari pengawasan.
Kinerja positif perekonomian Bengkulu setidaknya juga didukung oleh terkendalinya inflasi, tingkat pengangguran yang rendah, nilai tukar petani yang membaik serta tren kemisikinan yang cenderung terus menurun. Indikator tersebut menggambarkan kondisi makro ekonomi yang relatif baik. Jika hal ini terkategori baik, apakah mungkin bisa menjadi lebih baik (lagi) ? Data history dalam sebuah “sistem” yang sedang terjadi, dapat digunakan untuk membangun sebuah model matematis dalam menyederhanakan permasalahan. Model tersebut akan menjawab keraguan pernyatan ilmiah (hypothesis) bahwa “Bengkulu bisa lebih baik lagi”.
Statistisi mengukur tingkat kepercayaan untuk menjawab keragu-raguan hypothesis dalam sebuah selang kepercayaan (confidence interval) mendekati nilai 100 persen. Pada akhirnya dalam pengambilan keputusan terhadap keraguan akan sebuah hypothesis tetap akan mengandung unsur kesalahan. Kesalahan yang mungkin dapat terjadi terbagi kedalam dua type kesalahan. Kesalahan jenis pertama adalah ketika ternyata keputusan yang diambil adalah “menolak pernyataan yang benar”. Misal dinyatakan bahwa Bengkulu bisa lebih baik lagi, tapi kita menolak pernyataan tersebut (base on data history) padahal memang seharusnya bisa lebih baik. Kesalahan jenis yang lain adalah ketika keputusan yang diambil adalah menerima pernyataan yang salah. Dalam hal ini dapat dimisalkan bahwa pernyataan Bengkulu bisa lebih baik lagi, kita terima (base on data history) padahal ternyata tidak bisa lebih baik. Menolak sebuah kebenaran dan atau menerima suatu ketidakbenaran, sama-sama merupakan sebuah kesalahan. Dalam keseharian, kita tentu tahu mana yang lebih sering terjadi.
Data dengan series yang panjang sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah model ekonomi, menyusun strategi, merekayasa struktur perekonomian dalam pencapaian tujuan. Mencatat apapun, menumbuhkembangkan bank data, merepresentasikan keutuhan perubahan dari masa ke masa. Data yang mencerdaskan bangsa mengedepankan kejujuran sebagai panglima, mengakui kemungkinan kesalahan untuk menjadi koreksi. Sekali lagi mari mencermati tanya, “bisakah Bengkulu lebih baik (lagi) ?” Jika kita punya data akurat, tentu jawabnya kita dapat. Mari membiasakan diri untuk mencatat. Bengkulu adalah bagian penting sejarah Indonesia. Mencatat Bengkulu, Mencatat Indonesia.


Menakar Kepercayaan, Menuju INDONESIA MAJU

Tujuh dekade republik yang sama kita cintai ini, terus berbenah diri dalam proses perencanaan pencapaian tujuan berbangsa. Sebuah proses perencanaan dalam konteks pencapaian tujuan setidaknya diawali sebuah kerangka pikir teoritis yang akan melahirkan pilihan kebijakan terukur, di dalam nya tentu menuntut ketersediaan Data sebagai indikator, baik sebagai indikator masukan, indikator proses ataupun indikator keluaran, bahkan bisa jadi sebagai indikator outcome. Sebuah bangsa yang menyebut diri sebagai suatu negara, setidaknya mensyaratkan penguasaan wilayah yg diakui dunia internasional dengan sejumlah penduduk sebagai warganya.
Dasar hitung paling sederhana untuk pendekatan penghitungan sistem neraca nasional (system national account) dari berbagai pendekatan (produksi, pengeluaran dan pendapatan) mengacu pada besaran jumlah penduduk sebagai indikator. Pencatatan lengkap nya menjadi sangat krusial dan direkomendasikan oleh PBB untuk diselenggarakan setidaknya dalam sepuluh tahun sekali. Sesuatu yang berbeda akan coba diterapkan dalam pelaksanaan pencatatan tahun ini, sebagai apa yang disebut SENSUS PENDUDUK 2020. Sebelum ini, sensus dilakukan dengan langsung mencacah door to door pada seluruh wilayah dengan tidak membiarkan seorangpun terlewat cacah (metode tradisional). Negara negara maju dengan pencatatan sipil yang relatif bagus, telah meninggalkan metode tradisional dalam pelaksanaan sensus penduduk, dan beralih pada metode registrasi.
Berbekal pencatatan sipil yang sudah ada, maka sensus penduduk kali ini akan mencoba mengkombinasikan data dasar dari Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan, Kementerian Dalam Negeri dengan verifikasi dan pencacahan lapangan. Metode ini diharapkan mengantarkan proses transisi menuju metode pelaksanaan sensus penduduk sebagaimana di negara maju.
Tidak hanya mengkombinasikan metode sensus nya, pengumpulan data lapangan akan menerapkan multimode data collection. Masyarakat diharapkan untuk berpartisipasi secara mandiri untuk mengupdate data diri beserta anggota keluarganya melalui sensus penduduk online pada tahap pertama pelaksanaan (15 februari s/d 31 maret), baru kemudian akan di lanjutkan sensus penduduk wawancara pada tahap berikutnya (1-31 juli) untuk yang belum melakukan sensus penduduk online.
Tingkat partisipasi dalam sensus penduduk online sedianya akan mengindikasikan besaran modal sosial dari sisi kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah, percaya akan pentingnya data yang akurat dan terkini akan termanfaatkan dengan baik. Kepastian perlindungan keamanan data pribadi tentu harus dijamin oleh undang-undang dan didukung oleh penerapan teknologi informasi termutakhir.
Kejujuran menjadi sangat penting dalam menjamin kualitas data yang kelak akan dimanfaatkan dalam proses perencanaan pencapaian tujuan nasional. Partisipasi jujur, menakar modal sosial, menuju Indonesia Maju. Mari bersama Mencatat Indonesia.

Modal Sosial ; Tipis dan Kian Tergerus

Berbagai strategi pembangunan yang dilakukan membutuhkan faktor kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi dasar dalam menentukan perkembangan dan keberlanjutan pembangunan. Suatu besaran indeks yang pernah diukur menunjukkan masih tipisnya akumulasi modal sosial bahkan dengan kecenderungan yang semakin menipis di beberapa wilayah. Nilai indeks modal sosial Indonesia yang terakhir di publikasikan oleh BPS hanya sebesar 49,45; sebuah nilai yang belum bisa dikategorikan baik (skala indeks 0-100). Nilai indeks tertinggi dimiliki oleh Jawa Tengah (55,62) sementara yang terendah adalah Kepulauan Riau (38,00). Kecenderungan menipisnya modal sosial setidaknya terlihat dari menurunnya angka Indeks Modal Sosial dari angka sebelumnya sebesar 59,34 walaupun BPS menerapkan sedikit perubahan metodode dan variabel dalam pengukuran indeks. (BPS:statistik modal sosial)
Kepercayaan (trust), timbal balik (reciprocal) dan interaksi sosial merupakan tiga unsur utama dalam modal sosial. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama, 2002). Trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas. Adanya high-trust akan melahirkan solidaritas kuat yang mampu membuat masing-masing individu bersedia mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Bagi masyarakat low-trust dianggap lebih inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya. Jika low-trust terjadi dalam suatu masyarakat, maka campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan bimbingan.
Unsur penting kedua dari modal sosial adalah timbal balik (reciprocal), dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu yang dapat muncul dari interaksi sosial. Unsur yang selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup kepercayaan dan lingkup hubungan timbal balik. Jaringan sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Modal sosial dapat bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga ekonomi.
Modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khususnya peranan, aturan, precedent dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutnya dikembangkan dalam usaha penigkatan taraf hidup dan kesejahteraan.
Level mekanisme modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri merupakan upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh seseorang atau kelompok lain. Ciri penting modal sosial sebagai sebuah capital dibandingkan dengan bentuk capital lainnya adalah asal-usulnya yang bersifat sosial. Relasi sosial bisa berdampak negatif ataupun positif terhadap pembentukan modal sosial tergantung apakah relasi sosial itu dianggap sinergi atau kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicapai diatas kekalahan orang lain (zero-sum game).
Persentase rumah tangga yang memiliki rasa percaya terhadap aparatur pemerintah hanya sebesar 81,73 persen. Lebih rendah daripada tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat (88,17%) maupun tokoh agama (92,02%). Demikian pula halnya dengan jumlah rumah tangga yang percaya terhadap tetangganya, dimana rasa percaya untuk menitipkan rumah sebesar 82,28%, bahkan rasa percaya menitipkan anak jauh lebih kecil (64,37%).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh suku bangsa ataupun agama lain dilingkungan tempat tinggal terkadang disikapi dengan rasa tidak/kurang senang. Hasil survey menunjukkan hanya 67,70 persen rumah tangga yang senang jika kegiatan diselenggarakan oleh suku bangsa lain dan jika diselenggarakan oleh agama lain hanya 42,81 persen yang merasa senang.
Lingkungan tempat tinggal yang mengadakan pertemuan warga masih cukup banyak. Lebih dari separuh rumah tangga (59,13%) menyatakan di lingkungannya masih terdapat pertemuan warga berupa rapat, baik yang dilakukan secara rutin sekali dalam seminggu, sekali dalam sebulan maupun sekali dalam beberapa bulan. Sementara, sekitar 19,28 persen rumah tangga menyatakan tidak ada pertemuan warga di lingkungan tempat tinggalnya, dan 21,59 persen rumah tangga menyatakan tidak tahu mengenai ada tidaknya pertemuan warga tersebut.
Persentase rumah tangga menurut tingkat partisipasi mengikuti pertemuan warga di lingkungan tempat tinggal dalam setahun terakhir (tidak termasuk sekitar 40 persen rumah tangga yang menyatakan tidak tahu/tidak ada pertemuan warga di lingkungan tempat tinggalnya) masih cukup tinggi. Lebih dari separuh rumah tangga (84,96%) masih mau berpartisipasi dalam pertemuan warga di lingkungan tempat tinggalnya, walaupun mayoritas rumah tangga berpartisipasi dengan intensitas jarang (40,21%). Cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal dapat berbeda-beda sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Data menunjukkan sekitar 52,34 persen rumah tangga menyatakan musyawarah sebagai cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan di lingkungan tempat tinggalnya. Namun masih terdapat 36,15 persen rumah tangga yang menyatakan tidak mengetahui cara pengambilan keputusan yang sering dilakukan di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut kurang menaruh perhatian pada permasalahan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
Partisipasi dalam kegiatan sosial keagamaan setidaknya sering diikuti oleh 60,28 persen rumah tangga. Sedangkan kegiatan sosial kemasyarakatan diikuti oleh 29,46 persen rumah tangga. 76,33 persen rumah tangga sering berpartisipasi dalam kegiatan bersama membantu warga yang terkena musibah dan persentase rumah tangga yang berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk kepentingan umum sebanyak 42,36 persen.
Menjadikan modal sosial sebagai modal pembangunan bukanlah perkara mudah. Namun jika modal sosial terus menipis maka bukan tidak mungkin pembangunan yang telah dilakukan akan menggerus nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara. Dapatkah kita bayangkan jika masyarakat tidak lagi percaya kepada aparatur pemerintah, tidak lagi hormat pada tokoh masyarakat ataupun tokoh agama ? Sementara tidak lagi ada yang peduli terhadap lingkungannya, tidak ada lagi toleransi dan rasa percaya terhadap tetangga. Pastilah semua mengantarkan kita ke ambang kehancuran.
Modal sosial merupakan sumberdaya yang melekat pada hubungan sosial. Modal sosial tidak akan langgeng tanpa kehadiran kelompok atau organisasi yang menopangnya. Sebaliknya keberadaan kelompok atau organisasi dalam masyarakat tidak dapat terbangun dengan kuat tanpa modal sosial. Masih adakah teladan yang bisa kita harapkan mampu merekatkan hubungan sosial antar masyarakat ? Tidak seharusnya republik ini mengalami penipisan modal sosial secepat ini. Pertumbuhan ekonomi kah yang salah, atau pemanfaatannya yang kurang pas ? Paradigma pembangunan semestinya meletakkan manusia (mahluk sosial) bukan sebagai obyek melainkan menjadi subyek dari pembangunan itu sendiri. Mari berkaca pada diri kita masing-masing, berapa besar modal sosial yang bisa kita sumbangkan untuk negeri yang (katanya) sama kita cintai ini. Negeri yang katanya ber Bhineka Tunggal Ika
#MencatatIndonesia

Memintal Benang Merah Perstatistikan

Betapa repotnya negara mengurusi berita “hoax” akhir akhir ini. Media yang paling sulit untuk bisa dikendalikan dalam masifnya penyebaran “hoax” adalah media sosial. Para penyebar (sumber awal) berita hoax berupaya membentuk ataupun menggiring opini masyarakat secara lebih luas dengan sangat tendensius. Masing-masing berita hoax memiliki arah tujuan pembentukan opini dengan motif tertentu. Yang paling sering mengemuka adalah tujuan politis tentunya, walaupun banyak juga tertuju pada pembentukan opini lain. Sumber awal sebuah berita hoax lah yang paham betul apa dan kearah mana sebenarnya sebuah opini akan diarahkan oleh suatu yang disebar, sementara penyebar penyebar berikut (re-share) kebanyakan tidak paham secara utuh maksud tersebut.
Menulis opini disebuah media cetak, pun sebenarnya hendak bermaksud membentuk dan menggiring opini pembaca. Dampaknya sangat bergantung pada gaya dan konten dari tulisan tersebut. Tulisan yang didasarkan pada data dan informasi yang terpercaya tentu akan memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini di ujung tulisan. Data dan informasi bisa jadi berasal dari penulis sendiri, atau institusi maupun berupa kajian literature. Jika penulis menggunakan data dan informasi hasil observasi sendiri tentu tingkat kepercayaan pembaca akan sangat bergantung pada kapabilitas sipenulis pada pokok bahasan yang ditulisnya menurut ukuran pembaca secara subjektif. Penggunaan data yang berasal dari sumber lain diluar si penulis lebih sering di gunakan. Ini tentunya diharapkan dapat lebih meyakinkan pembaca ketika disebutkan bahwa sumber informasi dari bahan tulisan adalah institusi terpercaya.
Jelang Pilkada, jelang PEMILU dan jelang Pilpres; perang opini pun terjadi didasarkan data sebagai amunisi. Data yang sama bahkan dari sumber informasi yang sama terkadang berupaya menggiring opini kearah yang berseberangan. Kenapa bisa begitu ? Data bisa mencerdaskan bangsa, tapi juga bisa digunakan untuk mem-bodohi adak bangsa. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sebuah institusi penghasil data yang sudah terlanjur dilabeli sebagai pelopor data statistik terpercaya di negeri ini sering dijadikan sebagai sumber data oleh beberapa penyebar opini. Seolah mirip MUI yang berhak dan dipercaya melabeli produk halal, ketika sebuah data disebutkan berasal dari BPS maka label valid pun seakan melabeli data tersebut. Padahal ada juga konsumen yang tidak memerhatikan apakah ada label halal MUI pada suatu produk sebelum dikonsumsinya.
Beberapa opini yang termuat di media cetak lokal maupun nasional se-nusantara dipenuhi oleh tulisan yang menggunakan data BPS dan bahkan ditulis oleh “orang dalam” BPS. Label “halal” seolah menjamin tulisan tersebut hampir pasti dimuat oleh redaksi. Kali ini BPS berhasil memotivasi “orang dalam” nya untuk mendiseminasikan output institusinya ke publik melalui media cetak. Kolom opini pun jadi ajang perlombaan tampil para penulis baru dari BPS. Yang menarik untuk dicermati adalah apakah ada tendensi dari tulisan mereka ? Niat mencerdaskan bangsa tentu ya, tapi menggiring opini, sepertinya tidak. Sebagai orang dalam dari sebuah institusi penghasil data, mereka sebenarnya lebih memahami proses bagaimana data itu dihasilkan, tidak pada menggiring opini dengan data tersebut. Ketika tanpa sengaja atau pun disengaja ternyata tulisan mereka mampu menggiring opini pembaca, tentu lebih pada kemampuan atau maksud pribadi masing-masing penulis dan bukan pada kapabilitasnya sebagai warga BPS. Satu hal lagi yang bisa dipastikan adalah tulisan opini tersebut tentu bukan hoax. Lantas jika tulisan itu dimunculkan dalam kolom opini oleh redaksi media cetak, mungkin redaksi bermaksud memancing pembaca lain untuk beropini setelah membaca tulisan tersebut.
Menjelang Hari Statistik Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 26 September, setidaknya mengingatkan kita pada pentingnya meningkatkan literasi statistik di kalangan masyarakat luas. Setidaknya ini bisa menangkal bahaya laten penggiringan opini akibat pemberitaan hoax yang cenderung semakin masif. Data yang mencerdaskan bangsa, tentu berawal dari kerja statistik yang terukur, mulai dari proses pengumpulan, pengolahan, penyajian maupun analisanya. Proses tersebut patut didukung oleh kaidah dan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kaidah ilmiah menuntut kejujuran walaupun tidak juga bisa luput dari kesalahan. Mereka yang berkutat dibidang statistik atau bisa disebut sebagai seorang statistisi sangat paham bagaimana cara menangkal hoax dengan pencarian fakta dan data yang benar. Namun terkadang, mencari benang merah antara “pintalan interpretasi” berbagai data yang berserak menjadi kendala bagi seorang statistisi murni.
Akademisi dengan berbagai kajian keilmuan yang lain diluar statistik lah yang diharapkan mampu menghasilkan pintalan benang merah tersebut, lalu secara bersama menenun nya menjadi “kain analisis” dalam sebuah forum kajian. Apakah kelak kain itu bermotif tertentu sangatlah bergantung pada objektifitas dan fokus kajian. Sekali lagi dituntut keseriusan me-literasi statistik dalam rangka mencerdaskan bangsa. Jikalau subjektivitas kembali melandasi tenunan “kain analisis” yang dipublis dimuka umum, apatah bedanya dengan hoax. Ini mungkin yang bisa disebut melacur kan keilmuan, dan semua jenis pelacuran sangatlah menjijikkan. Lantas sesiapa yang kemudian menggunakan kain tersebut menjadi pakaian berjahit akan tampak menjijikkan pula, walau model nya dirancang desainer terkenal sekalipun.
Kapas yang berkualitas, dipintal menjadi benang, dirajut menjadi kain, dijahit menjadi pakaian, didesain secara apik, serasi dipakai dibadan, tampil anggun dimuka umum, dipandang elok oleh khalayak. Data berkualitas, interpretasi tepat, analisa mendalam, kebijakan tepat dan terukur, program aksi menyentuh, birokrasi visioner dan bermartabat. Milenial terkadang tidak paham majas hyperbola, budaya timur yang membedakan kita dengan barat. Perlu berulang membaca untuk memahaminya. Tidak cukup dengan “skimming”. Pasat jalan karena ditempuh, hafal kaji karena diulang.
Semua berawal dari pencatatan. Catatan yang sesuai dengan realita. Catatan yang merangkum semua. Catatan yang bersih. Catatan yang lengkap. Catatan tentang Kita, tentang semua catatan yang kita punya. Tentang Indonesia, karena Kita lah Indonesia. Sensus Penduduk 2020; Mencatat Indonesia. Dirgahayu perstatistikan Indonesia.

Statistik dalam Gulai Tempoyak; the power of Emak Emak

Statistik sebagai suatu ilmu biasa disebut statistika, setidaknya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana melakukan proses pengumpulan data, pengolahan, penyajian dan analisanya. Kata statistik sendiri merujuk pada ukuran-ukuran yang didapatkan dari sebagian populasi (sampel) biasanya digunakan untuk melakukan pendugaan (estimate) parameter. Sebagai cabang ilmu matematika, tidak banyak orang yang berusaha menyenangi ilmu ini, walupun sejatinya tidak ada yang bisa lepas dari keilmuan ini. Statistika hadir dalam berbagai kegiatan sehari hari tanpa disadari.
Ketika emak memasak gulai tempoyak misalnya, tidakkah kita ingat betapa beraninya si emak menarik kesimpulan tentang jaminan rasa yang mantap hanya dengan mencicipi sebagian kecil tetes kuah gulai saja. Kuah gulai yang diteteskan di telapak tangan, disentuh dengan ujung jari kemudian dicecap seujung lidah, wow … pas katanya. Itu statistik, tidak perlu mencicipi bermangkok gulai untuk memastikan rasa yang pas. Yakin akan kelengkapan bumbu, durasi memasak, suhu api tungku, adukan yang merata, dan sebagainya, telah menjamin teknik pengambilan sampel acak akan tetap menghasilkan rasa yang relatif sama dan pas.
Metodologi yang teruji setidaknya akan memberikan jaminan kualitas data statistik yang baik, setidaknya berkaca dari keberanian si Emak memastikan rasa gulai tempoyak, itu lah “the power of Emak emak” dan semua percaya akan rasanya yang memang “maknyus”.
Sebagai sebuah organisasi, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengusung visi menjadi “pelopor data statistik terpercaya untuk semua” memiliki tanggung jawab untuk berupaya memuaskan semua pihak akan data yang terpercaya. Sebagai institusi pemerintah maka BPS mengutamakan institusi pemerintah lain sebagai konsumen utama yang lebih dulu percaya akan kualitas data BPS. Sepertinya untuk poin ini, BPS sudah cukup berhasil mendapatkannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan lembaga kepresidenan yang dengan tegas mengatakan bahwa satu satunya data yang dipakai menjadi acuan adalah data BPS. Namun apakah “semua” sudah percaya ?
Tahun politik telah membawa “produk” lembaga ini menjadi bahan baku perdebatan antar kubu yang berseberangan. Bagai bubuk mesiu yang siap disulut, atau bola panas yang menggelinding liar; dua gajah bertarung, akankah pelanduk yang mati ditengah keduanya ? Ketika sebuah karya yang dihasilkan dipertanyakan oleh publik tentang validitasnya, (sebagai contoh kasus viralnya penurunan angka kemiskinan), maka sebagai suatu organisasi setidaknya segenap unsur akan merasa terusik. Keterusikan tidak harus menjadikan gerah dan merasa dipersalahkan. Bukankah semua telah dilakukan sesuai SOP ? Berpikir jernih mungkin akan membawa lembaga ini kembali melihat kedalam diri, dan bukan sebuah aib untuk mengatakan mungkin ada kekurangan atau suatu kesalahan dalam berbagai sisi. Anggaplah ini sebagai suatu ujian untuk mempertahankan kepercayaan konsumen akan apa yang selama ini dihasilkan organisasi.
Meskipun tidak semua data harus disajikan oleh lembaga ini, namun mempelopori berbagai elemen yang terkait dengan kegiatan  pengumpulan dan penyajian data berkualitas baik oleh perorangan maupun institusi menjadi visi besar BPS. Peningkatan kualitas data akan memunculkan tingkat kepercayaan konsumen pada sebuah institusi seperti BPS. Kejujuran ilmiah telah membawa organisasi BPS menjadi sebuah lembaga penyedia data yang terpercaya dinegeri ini. Membawa sebuah kajian ilmiah kedalam ranah politik (dengan tendensius) tentu tidak akan bertemu ujung pangkalnya. Jika dikembalikan ke visi organisasi , maka memang tidak hanya untuk pemerintah saja kepercayaan itu harus di dapat. Semua penikmat karya BPS pun harus percaya, atau setidaknya dipelopori untuk percaya. Media sosial yang begitu masif mengabarkan sesuatu terkadang memposisikan sebuah berita terombang ambing tak bertepi.
Mendiseminasikan hasil dalam bentuk publikasi diberbagai media, termasuk media sosial terbukti berhasil mengedepankan BPS sebagai sebuah organisasi penyedia data yang sering diacu. Independensi BPS dimata dunia pun termasuk diakui, bahkan oleh lembaga-lembaga dibawah naungan United Nation (UN). Berbagai institusi justru mengacu data BPS sebagai alat untuk mendukung analisa atas bermacam kepentingan. Statistik sebagai sebuah indikator  memang hanyalah alat, dan baru dapat dibunyikan dengan cabang keilmuwan yang lain. Seorang filsuf bahkan berkata bahwa ilmu dipengaruhi kekuasan pada zamannya, maka jika ada yang menganjurkan untuk “how to lie with statistic ?” bisa jadi itu atas kepentingan tertentu dan bisa jadi atas pengaruh (ambisi) kekuasaan.
Jejaring kerja BPS yang menyebar keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan komando vertikal dari pusat sampai dengan tingkat kecamatan (Koordinator Statistik Kecamatan) ditambah tenaga kontrak (Mitra Statistik) yang direkrut saat pelaksanaan sensus/survei tertentu memungkinkan terjaganya keterbandingan data antar wilayah. Keterbandingan data antar wilayah menjadi lebih bermakna ketika kualitas data pun memiliki kesamaan level akurasi maupun tingkat kekinian-nya (up to date). Jikalah pelayanan prima merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi yang paling sering didengungkan oleh berbagai institusi pemerintah, maka BPS memandang perlu untuk menambahkan upaya peningkatan kualitas data sebagai satu lagi tujuan reformasi birokrasi di dalam institusi tersebut.
Salah satu nilai inti (core values) BPS adalah “Amanah”, sebuah nilai yang patut dicermati dengan sangat hati-hati. Menjadikan sebuah organisasi terpercaya bukanlah perkara mudah, bahkan kalaupun sudah meraih kepercayaan tinggi pun, jauh lenih sulit untuk mempertahankannya. Kejujuran ilmiah menjadi dasar utama untuk tetap dipercaya bagi sebuah organisasi penyedia data seperti BPS. Suatu kesalahan mungkin saja dilakukan dalam sebuah proses pada serangkai kegiatan BPS, namun kebohongan tidak boleh terjadi. Ini yang akan membentuk paradigma tingkat kepercayaan terhadap organisasi. Ditarik kedalam dimensi ibadah sebagai seorang warga negara berideologi Pancasila, serangkaian kegiatan yang mengusung amanah sepatutnya dilakukan dengan penuh ketulusan.
Profesional, Integritas dan Amanah (core values BPS) semestinya bukan nilai-nilai yang berdiri sendiri dan atau harus diberi skala prioritas tertentu. Semua harus berjalan paralel dan sinergis menuju visi organisasi. Apalah jadinya seseorang yang professional tapi tidak amanah berada dalam suatu organisasi ? atau sebaliknya amanah tapi tidak profesional, atau mungkin profesional tapi integritasnya diragukan ? Kepemilikan nilai-nilai inti BPS oleh segenap unsur organisasi BPS baik di pusat maupun di daerah mestinya memang berjalan paralel. Tidak boleh ada unsur yang tidak professional, tidak berintegritas dan tidak amanah. Merasa satu tubuh dari sabang sampai Merauke, pun Miangas sampai Pulau Rote memberi energi tambahan untuk membangun organisasi yang berkemampuan sama, berpeluang sama untuk dipercaya oleh “SEMUA”.
The power of emak emak, belakangan semakin viral menyusul kenekatan emak emak jaman now berpolitik. Insan statistik semestinya meneladani emak emak dalam membumikan statistik, tidak dengan kerumitan perhitungan matematisnya, melainkan dengan ke-simple-lan penggambaran nya. Keep it so simple. Maka statistik akan senikmat gulai tempoyak, bikinan emak.
Menjelang gelaran rutin sepuluh tahunan, Sensus Penduduk yang akan dihelat pada tahun 2020, BPS menggaungkan sebuah “narasi besar”. Indonesia yang sama kita cintai, bukan hanya pulau pulaunya, pun bukan sekedar gambar diatas peta. Indonesia adalah sebuah cerita, yang ditulis berbagai suku bangsa sebagai kalimat, dan setiap penduduk sebagai hurufnya. Tugas BPS adalah mengabadikan, mencatat itu semua, sebagai bekal untuk kemajuan negara, yang sama sama kita cintai (@provetic). SP2020, Mencatat Indonesia

Membumikan Visi Mereformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi menjadi sebuah keniscayaan bagi suatu organisasi untuk terus menjadi suatu institusi yang dipercaya seiring kemajuan teknologi informasi yang terus bergerak. Tuntutan utama dari publik akan adanya pelayanan prima mengharuskan organisasi menempuh berbagai inovasi dan mengadopsi teknologi terkini. Beberapa tahun belakangan, reformasi birokrasi terdengar nyaring digaungkan, mengiringi gempita nawacita dari istana. Mimpi-mimpi organisasi mengemuka dalam balutan apa yang mereka sebut sebagai “visi” dan berusaha digapai lewat berbagai “misi” yang diemban.
Aneka aksi yang mewarnai berbagai rangkaian kegiatan program pencapaian visi harus dipantau dengan indikator pencapaian sebagai monitoring evaluasi. Alih-alih menjadi dasar acuan pemberian reward bagi institusi pemerintah yang berhasil mereformasi birokrasi. Kementerian PAN-RB menentukan kenaikan Tunjangan Kinerja aparatur pemerintah didasarkan pada keberhasilan proses reformasi birokrasi masing-masing institusi. Membumikan visi organisasi dalam proses reformasi birokrasi sepertinya menjadi sebuah hal yang patut dikedepankan. Beberapa waktu berselang, sebuah institusi penyedia data seolah dipertanyakan oleh publik tentang ke-independensi-an-nya. Mari kita lihat, apa visi organisasi ini, dan hubungannya dengan pemenuhan tuntutan publik.
Sebagai sebuah organisasi, Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengusung visi menjadi “pelopor data statistik terpercaya untuk semua” memiliki tanggung jawab untuk berupaya memuaskan semua pihak akan data yang terpercaya. Sebagai institusi pemerintah maka BPS mengutamakan institusi pemerintah lain sebagai konsumen utama yang lebih dulu percaya akan kualitas data BPS. Sepertinya untuk poin ini, BPS sudah cukup berhasil mendapatkannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan lembaga kepresidenan yang dengan tegas mengatakan bahwa satu satunya data yang dipakai menjadi acuan adalah data BPS. Namun apakah “semua” sudah percaya ?
Tahun politik telah membawa “produk” lembaga ini menjadi bahan baku perdebatan antar kubu yang berseberangan. Bagai bubuk mesiu yang siap disulut, atau bola panas yang menggelinding liar; dua gajah bertarung, akankah pelanduk yang mati ditengah keduanya ? Ketika sebuah karya yang dihasilkan dipertanyakan oleh publik tentang validitasnya, (sebagai contoh kasus viralnya penurunan angka kemiskinan), maka sebagai suatu organisasi setidaknya segenap unsur akan merasa terusik. Keterusikan tidak harus menjadikan gerah dan merasa dipersalahkan. Bukankah semua telah dilakukan sesuai SOP ? Berpikir jernih mungkin akan membawa lembaga ini kembali melihat kedalam diri, dan bukan sebuah aib untuk mengatakan mungkin ada kekurangan atau suatu kesalahan dalam berbagai sisi. Anggaplah ini sebagai suatu ujian untuk mempertahankan kepercayaan konsumen akan apa yang selama ini dihasilkan organisasi.
Meskipun tidak semua data harus disajikan oleh lembaga ini, namun mempelopori berbagai elemen yang terkait dengan kegiatan  pengumpulan dan penyajian data berkualitas baik oleh perorangan maupun institusi menjadi visi besar BPS. Peningkatan kualitas data akan memunculkan tingkat kepercayaan konsumen pada sebuah institusi seperti BPS. Kejujuran ilmiah telah membawa organisasi BPS menjadi sebuah lembaga penyedia data yang terpercaya dinegeri ini. Membawa sebuah kajian ilmiah kedalam ranah politik (dengan tendensius) tentu tidak akan bertemu ujung pangkalnya. Jika dikembalikan ke visi organisasi , maka memang tidak hanya untuk pemerintah saja kepercayaan itu harus di dapat. Semua penikmat karya BPS pun harus percaya, atau setidaknya dipelopori untuk percaya. Media sosial yang begitu masif mengabarkan sesuatu terkadang memposisikan sebuah berita terombang ambing tak bertepi.
Mendiseminasikan hasil dalam bentuk publikasi diberbagai media, termasuk media sosial terbukti berhasil mengedepankan BPS sebagai sebuah organisasi penyedia data yang sering diacu. Independensi BPS dimata dunia pun termasuk diakui, bahkan oleh lembaga-lembaga dibawah naungan United Nation (UN). Berbagai institusi justru mengacu data BPS sebagai alat untuk mendukung analisa atas bermacam kepentingan. Statistik sebagai sebuah indikator  memang hanyalah alat, dan baru dapat dibunyikan dengan cabang keilmuwan yang lain. Seorang filsuf bahkan berkata bahwa ilmu dipengaruhi kekuasan pada zamannya, maka jika ada yang menganjurkan untuk “how to lie with statistic ?” bisa jadi itu atas kepentingan tertentu dan bisa jadi atas pengaruh (ambisi) kekuasaan.
Jejaring kerja BPS yang menyebar keseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan komando vertikal dari pusat sampai dengan tingkat kecamatan (Koordinator Statistik Kecamatan) ditambah tenaga kontrak (Mitra Statistik) yang direkrut saat pelaksanaan sensus/survei tertentu memungkinkan terjaganya keterbandingan data antar wilayah. Keterbandingan data antar wilayah menjadi lebih bermakna ketika kualitas data pun memiliki kesamaan level akurasi maupun tingkat kekinian-nya (up to date). Jikalah pelayanan prima merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi yang paling sering didengungkan oleh berbagai institusi pemerintah, maka BPS memandang perlu untuk menambahkan upaya peningkatan kualitas data sebagai satu lagi tujuan reformasi birokrasi di dalam institusi tersebut.
Salah satu nilai inti (core values) BPS adalah “Amanah”, sebuah nilai yang patut dicermati dengan sangat hati-hati. Menjadikan sebuah organisasi terpercaya bukanlah perkara mudah, bahkan kalaupun sudah meraih kepercayaan tinggi pun, jauh lenih sulit untuk mempertahankannya. Kejujuran ilmiah menjadi dasar utama untuk tetap dipercaya bagi sebuah organisasi penyedia data seperti BPS. Suatu kesalahan mungkin saja dilakukan dalam sebuah proses pada serangkai kegiatan BPS, namun kebohongan tidak boleh terjadi. Ini yang akan membentuk paradigma tingkat kepercayaan terhadap organisasi. Ditarik kedalam dimensi ibadah sebagai seorang warga negara berideologi Pancasila, serangkaian kegiatan yang mengusung amanah sepatutnya dilakukan dengan penuh ketulusan.
Profesional, Integritas dan Amanah (core values BPS) semestinya bukan nilai-nilai yang berdiri sendiri dan atau harus diberi skala prioritas tertentu. Semua harus berjalan paralel dan sinergis menuju visi organisasi. Apalah jadinya seseorang yang professional tapi tidak amanah berada dalam suatu organisasi ? atau sebaliknya amanah tapi tidak profesional, atau mungkin profesional tapi integritasnya diragukan ? Kepemilikan nilai-nilai inti BPS oleh segenap unsur organisasi BPS baik di pusat maupun di daerah mestinya memang berjalan paralel. Tidak boleh ada unsur yang tidak professional, tidak berintegritas dan tidak amanah. Merasa satu tubuh dari sabang sampai Merauke, pun Miangas sampai Pulau Rote memberi energi tambahan untuk membangun organisasi yang berkemampuan sama, berpeluang sama untuk dipercaya oleh “SEMUA”.
Presiden RI, Joko Widodo dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019 mengatakan, “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita. Kini data lebih berharga dari minyak. Oleh karena itu, kedaulatan data harus diwujudkan. Hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan, tidak boleh ada kompromi”. Resolusi United Nation 2020 (world population and housing census programme) menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi pelaksanaan Sensus Penduduk 2020 (SP2020) di Indonesia. Sensus Penduduk dan Perumahan Dunia 2020 disetujui pada saat Sidang ke-46 Statistical Commission dan diadopsi oleh United Nations Economic and Social CouncilIni. Hasilnya antara lain akan menjadi sumber data utama untuk merumuskan, melaksanakan, dan memantau kebijakan maupun program pengembangan sosial ekonomi inklusif dan kelestarian lingkungan. Pengukuran kemajuan Agenda 2030 untuk Sustainable Development Goals dapat terlihat dari hasil sensus tersebut.
Metode yang akan digunakan dalam pelaksanaan SP2020 mengharapkan peran aktif sebagian besar masyarakat untuk dapat berpartisipasi melalui sensus penduduk online yang merupakan salah satu moda pengumpulan data. Sensusu penduduk online akan dilakukan pada periode februari sampai dengan maret 2020. Tiap tiap jiwa, de facto atau pun de jure, sangatlah berarti. Bagaikan kepingan puzzle penggambaran keelokan alam nusantara. Tidaklah boleh ada yang terlewat. Tidak lah boleh ada yang tak tercatat. Mari bersama kita bantu BPS dalam Mencatat Indonesia.


buku ketiga

Analisi model Input Output (IO) memusatkan perhatian pada perekonomian dalam sebuah kondisi ekuilibirium dan model ini merupakan varian terb...