Kekhawatiran akan berkepanjangannya masa pandemi covid-19 yang berdampak
pada perekonomian riil semakin terlihat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
berita resmi adanya kenaikan angka kemiskinan untuk periode Maret 2020, saat
dimana covid-19 mulai menjangkiti seantero negeri. Persentase penduduk miskin
secara nasional pada periode Maret 2020 diperkirakan mencapai 9,78 persen dari
total penduduk. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar 9,41 persen. Peningkatan persentase penduduk
miskin pada Maret 2020 justru terlihat lebih cepat jika dibandingkan dengan
persentase pada periode September 2019 yang juga pernah dirilis oleh BPS dimana
angkanya sebesar 9,22 persen. Kondisi ini setidaknya memperlihatkan bagaimana
pandemi covid-19 seolah menumbuhsuburkan kemiskinan, ataukah memang demikian ?
Fenomena di level nasional belum tentu berlaku sama antar daerah di
nusantara. Cerita berbeda datang dari Bengkulu, dalam rilis disaat yang sama,
kemiskinan di wilayah ini justru terlihat menurun. Persentase penduduk miskin turun sebesar 0,2 persen dari 15,23 persen
pada Maret 2019 menjadi 15,03 persen pada Maret tahun ini. Lantas apakah
pandemi covid-19 tidak berdampak pada tingkat kesejahteraan di wilayah ini ?
Menurunnya persentase jumlah penduduk miskin sebenarnya bersifat relatif, pada
kenyataannya secara absolut jumlah penduduk miskin meningkat dari 302.302 jiwa menjadi 302.579 orang. Jika dibandingkan dengan
periode September 2019 persentase penduduk miskin juga terlihat meningkat dari 14,91 persen.
Bahwa sebenarnya tidaklah terlihat perbedaan nyata (significant) antar
kedua fenomena diatas jika dilihat dari kekhawatiran terhadap dampak covid-19
bagi kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan yang terjadi adalah sama, bahwa
pandemi memang memberi dampak buruk terhadap upaya pengentasan kemiskinan.
Pemahaman kewilayahan menjadikan upaya pemerintah daerah seharusnya lebih
efektif dibandingkan upaya pemerintah pusat yang lebih bersifat makro. Dalam
hal ini pemerintah daerah Provinsi Bengkulu terlihat lebih bisa menjaga
penduduk disekitar garis kemiskinan untuk tetap mampu bertahan dan tidak jatuh
ke dalam jurang kemiskinan.
Tingkat kemiskinan yang dikatakan mengalami penurunan sebagaimana
disebutkan sebelumnya merupakan sebuah angka/besaran yang lebih bersifat
relatif. Sehingga terlihat seolah sulit dipahami ketika bersanding dengan
sebuah angka absolut. Persentase penduduk miskin turun tetapi jumlah penduduk
miskin bertambah ? Memang demikian adanya, bahwa persentase penduduk miskin
adalah perbandingan antara jumlah “penduduk miskin” dibandingkan dengan jumlah
“penduduk” (selanjutnya dinyatakan dalam bentuk persentase). Dalam bahasa
matematis ibarat bilangan pecahan, ada “penyebut” dan “pembilang”. Beberapa
operasi matematika antar bilangan pecahan bahkan mensyaratkan pentingnya untuk
menyamakan “penyebut”. Seyogyanya membahasakan naik-turun-nya kemiskinan pun
perlu menyamakan “penyebut”nya.
Ilustrasi sederhana nya kurang lebih begini; pada kondisi awal misalnya
tercatat bahwa 10 dari 20 orang penduduk suatu RT dinyatakan miskin, atau
secara persentase dikatakan terdapat 50 persen “penduduk miskin”. Beberapa
waktu kemudian ketika dilakukan perhitungan kembali terjadi perubahan, “jumlah
penduduk” RT tersebut bertambah menjadi 50 orang sementara “penduduk miskin”
nya berjumlah 20 orang. Jika dihitung secara persentase maka tingkat kemiskinan
turun menjadi 40 persen walaupun jumlah penduduk miskin naik sebanyak 10 orang. Ilustrasi ini memperlihatkan
bahwa ada terminology “jumlah penduduk” yang harus disebutkan sebagai
“penyebut” dalam membahasakan tingkat kemiskinan.
Dengan demikian maka yang terjadi sesungguhnya bisa ditengarai,
pertambahan penduduk provinsi Bengkulu jauh lebih cepat daripada laju
pertumbuhan penduduk miskin. Dalam periode yang relatif singkat maka jika
pertambahan penduduk tersebut merupakan pertambahan secara alami, kemungkinan
terjadi pada rumah tangga yang memang memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan
minimum. Jika pertambahan penduduk tersebut merupakan hasil migrasi, maka
kemungkinan yang masuk merupakan orang-orang yang juga mampu memenuhi kebutuhan
minimumnya.
Upaya mengentaskan kemiskinan menjadi semakin sulit ditengah pandemi
covid. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2019 sebesar
14,70 persen naik menjadi 14,77 persen pada Maret 2020. Sementara persentase
penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2019 sebesar 15,49 persen turun
menjadi 15,16 persen pada Maret 2020. Masyarakat perkotaan terlihat jauh lebih
sulit bertahan dari dampak pemiskinan oleh pandemi, perbedaan struktur ekonomi
antara perkotaan dan pedesaan menjadi alasan kesulitan mempertahankan sumber
pendapatan.
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase
penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman
dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk
miskin, kebijakan pemerintah juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat
kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2019-Maret 2020,
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 )
mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 ) pada Maret 2019 sebesar
2,48 dan pada Maret 2020 sebesar 2,40. Demikian juga dengan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2 ) mengalami penurunan dari 0,58 menjadi 0,56 pada periode yang
sama. Kedua indeks ini juga terpantau lebih tinggi diperkotaan ketimbang di
pedesaan.
Pertanyaannya, kapan pandemi berakhir? Kapan kita bisa hidup
"normal" lagi? Pertanyaan yang
wajar diajukan meskipun sebenarnya kita sudah terbiasa dengan
kebiasaan-kebiasaan baru yang dituntut pandemi. Menjawab
petanyaan ini tidak mudah karena belum ada orang yang datang dari masa depan
yang bisa kita konfirmasi. Jawaban atas pertanyaan sulit itu umumnya berupa
prediksi, perkiraan dengan dasar yang tidak cukup pasti. Pilihan
memang tidak mudah. Bukan lagi antara menjaga kesehatan atau melangsungkan
kegiatan ekonomi. pemerintah sejak awal sudah
menegaskan posisi untuk "berdamai" dengan Covid-19. Sayangnya, pelonggaran
aktivitas ekonomi sebagai bentuk "berdamai" dengan Covid-19 tidak
disertai pengetatan disiplin akan protokol kesehatan.
Terkadang kita ingin
melakukan banyak hal, namun yang terjadi adalah apa yang memang seharusnya
demikian. Meski semakin sulit ditengah pandemi covid, kemiskinan turun walau
sedikit.